MALANG POSCO MEDIA-Bahaya fenomena tanah gerak yang terjadi di Kabupaten Malang tak bisa diprediksi. Tanah gerak di wilayah Desa Tulungrejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang baru-baru ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Patahan yang terjadi semakin melebar menyebabkan bangunan rusak bertambah. Diduga fenomena ini disebabkan kandungan lempung yang memiliki kejenuhan air di bawah tanah hingga mengakibatkan pergerakan tanah. Menurut ahli juga berpotensi longsor.
Kondisi terkini tanah gerak di Tulungrejo Ngantang Senin (6/3) kemarin masih bertambah lebar. Penata Penanggulangan Bencana Ahli Pertama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang, Isa Ansori mengatakan, dari 16 rumah rusak kini bertambah empat bangunan. Yakni tiga rumah dan satu bangunan musala. Totalnya kini terdapat 20 bangunan rusak akibat tanah gerak.
“Sebanyak tiga rumah sudah dirobohkan, terbaru rumah warga bernama Supii yang dirobohkan karena berbahaya,” kata Isa kepada Malang Posco Media, kemarin.
Sementara itu, warga mengungsi juga bertambah. Dari dua KK yang mengungsi sebelumnya, kini ada dua KK lagi yang memilih mengungsi ke rumah sanak saudaranya. Sebab retakam kembali melebar. Meski tidak terlalu besar, apa yang terjadi menambah patahan dan retakan pada lantai dan jalan perkampungan.
“Warga sudah antisipasi dan mengetahui jika ada retakan. Mereka lalu mengungsi. Beberapa ke keluarganya. Namun yang lain masih bertahan,” tuturnya.
Mengenai kerugian materil akibat kejadian tanah gerak sepekan ini, Isa mengatakan sampai sekarang belum diketahui. Perkembangan kerusakan masih terus didata.
Penanganan yang masih terus dilakukan yakni melakukan identifikasi dan pendataan. Asesmen dilakukan pada bangunan rusak yang terindikasi mulai parah. Bantuan terus disalurkan berupa sembako dan kebutuhan rumah tangga.
Sembari melakukan pemantauan, juga memastikan alat deteksi berupa Early Warning System (EWS) tetap berfungsi. “Sejauh ini sudah terdeteksi dan diantisipasi warga,” kata Isa.
Wilayah lain yang berpotensi terjadi tanah gerak yakni di Desa Srimulyo Kecamatan Dampit. Desa-desa di sekitar dua desa tersebut memiliki kecenderungan yang sama. Namun tidak terlalu signifikan. “Dua desa itu Srimulyo dan Tulungrejo yang potensi. Kerap kali terjadi patahan seperti tahun-tahun sebelumnya saat musim hujan,” katanya.
Menurut catatannya, tahun 2021 lalu terakhir yang pernah terjadi fenomena serupa di Tulungrejo. Hanya saja kejadian pergerakan tanah tidak separah yang terjadi seminggu lalu.
“Dulu 14 rumah rusak. Kejadiannya mulai retakan halus sampai patahan yang lebar berlangsung selama sekitar sebulan. Itu baru terlihat cukup parah. Setelah itu menunjukkan mulai berhenti tidak ada gerakan tanah lagi,” tambahnya.
Terpisah Ketua Pusat Studi Kebumian dan Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya, Prof Adi Susilo mengatakan tanah gerak merupakan fenomena yang dipicu kejenuhan air dalam tanah. Sehingga tanah yang mengandung lempung yang licin menyebabkan gerakan tanah. Struktur tanah di wilayah yang mengalami gerakan tanah berupa tanah lempung. Bukan bebatuan keras yang mampu menyangga beban di atasnya.
“Daerah tersebut merupakan karakter tanah yang di bawahnya ada kandungan lempung. Dulu di Desa Srimulyo pernah terjadi. Temuan kami karena struktur tanah di bawah permukaan berupa tanah lempung, bukan bebatuan keras,” ujar Adi.
Kecenderungan retakan yang dialami membentuk garis yang berhubungan. Disusul retakan pada dinding rumah yang tak kuat menahan karena pondasi goyah. “Mulai dari garis memotong, bangunan retak dan miring hingga pintu tidak bisa dibuka atau ditutup. Tembok retak, lalu aliran listrik yang mengendur atau mengencang,” tuturnya.
Salah satu yang harus dilakukan yakni menutup titik patahan. Kata Adi, jangan sampai air masuk karena nanti menambah resapan ke tanah lempung. Sehingga jenuh air bertambah dan berpotensi geseran. “Apalagi, struktur tanah kita temukan adalah tanah lempung yang memiliki sifat licin. Ketika ada bangunan atau beban di atasnya maka rentan terjadi pergeseran. Seperti kejadian di Baturetno itu,” paparnya.
Menurut Adi, wilayah yang rawan longsor maupun tanah gerak mestinya tidak menjadi lokasi bangunan. Jika terlanjur, maka pemerintah daerah wajib membangun titik kumpul untuk antisipasi apabila terjadi bencana. “Sebagai tempat warga berlindung diri saat terjadi bencana,” kata Adi.
Menurutnya, jika patahan semakin lebar dan kejenuhan air tinggi bukan tidak mungkin terjadi longsor. “Masyarakat harus waspada. Karena memindah juga sulit. Sehingga jika tinggal di wilayah rawan, harus diwaspadai. Terlabih jika hujan lebih dari tiga jam berturut-turut maka mulai waspada,” tukasnya.(tyo/van)