“Pendidikan sejatinya adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat anak menuju kemerdekaan, keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”
—Ki Hajar Dewantara—
Kita yang berkutat dalam domain pendidikan tentunya sudah tidak asing dengan salah satu dari sekian banyak konsepsi Ki Hajar Dewantara (KHD) di atas. Saat ini konsepsi-konsepsi KHD kembali marak didengungkan terutama sejak Mas Nadiem, Menteri Pendidikan RI meluncurkan paradigma kurikulum Merdeka Belajar.
Kurikulum yang diharapkan menjadi aksi nyata untuk reformasi pendidikan sekaligus solusi pemulihan sistem pendidikan pasca Pandemi Covid 19. Kurikulum ini pada dasarnya memiliki tiga esensi utama yaitu penyederhanaan pada konten pembelajaran yang lebih esensial (simple content based learning), pembelajaran berbasis proyek kolaboratif, aplikatif dan multidisipliner (project based learning) serta adanya fleksibilitas dan penyelarasan dalam penetapan Capaian Pembelajaran (CP) dan pengaturan jam pelajaran melalui Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) yang mengangkat Profil Pelajar Pancasila dan pengenalan karakter pribadi peserta didik (Makarim, 2021).
Dari esensi ini tersirat pesan bahwa pendidikan melalui IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka) diarahkan untuk bermuara pada kebutuhan peserta didik, agar peserta didik tidak terbebani dengan konten pembelajaran yang terlalu padat namun tidak bermakna yang justru acapkali menciptakan kondisi academic distress.
Pembelajaran berfokus pada aktivitas dan kreativitas yang memungkinkan peserta didik memiliki ruang seluas-luasnya untuk berfikir kritis melalui proyek-proyek menantang yang bersifat kolaboratif sembari terus menerus menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter kebajikan pada diri peserta didik agar mereka dapat bermetamorfosa menjadi pribadi unggul yang berprofil Pancasila.
Lantas apa dan bagaimana peran guru untuk mengawal terwujudnya misi IKM ini? Dalam kurikulum paradigma baru ini, guru memegang peranan strategis mentor/coach sekaligus fasilitator yang dituntut mampu menciptakan kepemimpinan pembelajaran berpusat pada siswa.
Jika pada kurikulum terdahulu di pundak guru disematkan serangkaian tugas mulai dari menuntun, mengajar, melatih, membimbing, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi maka di IKM ini selain serangkaian tugas mulia tersebut, guru juga harus lebih “menghamba” pada siswa, lebih peka menangkap dan menggali potensi, bakat, minat serta kebutuhan siswa yang beraneka ragam yang kesemuanya tidak lain untuk mewujudkan misi pendidikan yang lebih bermakna. Yaitu membangun sumber daya unggul yang memiliki daya lenting dan resiliensi tinggi, berkompetensi global serta berkarakter Pancasila.
Peran guru dalam IKM mutlak diperlukan dan tidak tergantikan, untuk itu diperlukan profil guru yang “tidak biasa” tidak sekadar menjadi “guru baik” yang sukses mengajar di kelas dengan kreatif, sukses mengantar prestasi akademik siswa dan sukses mengembangkan diri.
Namun dibutuhkan profil guru penggerak yang memiliki lompatan jauh ke depan, dimana kehadirannya memberikan dampak luas bagi kemajuan ekosistem pendidikan, mendorong tumbuh kembang peserta didik secara holistik serta menjadi agen perubahan, baik bagi sesama rekan sejawatnya maupun bagi unit satuan pendidikannya.
Bukan hal yang mudah untuk mewujudkan itu semua. Dan tentunya ini menjadi tantangan yang harus ditaklukkan oleh guru penggerak. Mengingat hampir dua tahun peserta didik ternina bobok dengan dalih kondisi pandemi yang menyebabkan mereka berada pada fase kritis (learning loss). Ditandai dengan rendahnya semangat belajar peserta didik, rendahnya performansi akademik dan karakter peserta didik serta meningkatnya angka peserta didik yang putus sekolah. Kondisi ini tentu saja memerlukan upaya mitigasi agar learning loss tidak semakin menciptakan ceruk yang dalam, dan guru penggerak sebagai salah satu agen transformasi diharapkan banyak berperan sebagai role model yang menjalankan fungsi teladan sekaligus fungsi transformasi nilai terutama bagi siswanya, bagi sesama rekan sejawat dan syukur-syukur jika dapat menciptakan perubahan mindset yang lebih luas bagi seluruh pengampu pendidikan.
Sudah saatnya pendidikan tidak hanya berkutat pada domain kognitif, sehingga tantangan guru penggerak ke depan adalah bagaimana mengantarkan peserta didik untuk selamat dan bahagia melampaui kodrat zamannya. Melalui serangkaian upaya menemukenali potensi cipta, rasa dan karsa peserta didik agar pendidikan tidak sekadar melakukan transfer knowledge melainkan lebih pada upaya mentransformasi nilai-nilai kebajikan sebagai pengejawantahan profil pelajar Pancasila.
Mengawali dengan perubahan kecil dalam lingkup yang terjangkau tangan (misalnya dengan memetakan kesiapan belajar peserta didik, membiasakan praktik baik di kelas, membuat kesepakatan dan kontrak belajar yang melibatkan siswa sebelum memulai pembelajaran) adalah langkah utama bagi guru penggerak sebelum berlanjut pada fungsi fasilitator dan mentor yang memberikan dampak luas, dalam dan lebih bermakna bagi ekosistem pendidikan.(*)