Dalam kurun waktu setahun setelah intervensi militer yang dilakukan Vladimir Putin terhadap Ukraina semakin memanas hingga sekarang, perang tidak diduga yang terjadi pada tanggal 24 Februari 2022 sangat jauh dari transformasi konflik. Berdasarkan kronologi yang terjadi, konflik Rusia berawal dari adanya pergolakan geopolitik dan geoekonomi yang besar oleh Uni Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Hubungan kedua rezim tersebut menguat sehingga menyebabkan ancaman bagi Rusia.
Rusia memang ingin Ukraina menjadi negara yang netral, tentu saja hal ini dapat dilihat dari faktor historis bagaimana negara – negara barat yang semakin terpengaruh oleh NATO dan Uni Eropa merambat sampai Ukraina. Perlu diketahui dari analisis kebijakan Rusia hanya ingin Ukraina menjadi negara yang tidak memihak (netral) atau pro terhadap Rusia sebagaimana dulu Uni Soviet dalam masa kejayaannya.
Upaya diplomasi sudah dilakukan oleh beberapa negara di sidang umum PBB, namun tidak ada jalan keluar. Hal ini pula terus diupayakan negara-negara barat di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali, tidak ada kesepakatan penuh kedua negara ini untuk melakukan gencatan senjata. Jalan terjal masih dialami oleh Ukraina, operasi militer khusus Rusia terus mencegah negara-negara Eropa barat untuk ikut campur urusan Rusia.
Rusia sudah meminta agar NATO menarik pasukannya dari Ukraina. Tujuan Rusia secara geopolitik jika Ukraina bergabung dengan NATO, maka Ukraina akan menjadi lokasi baru bagi NATO untuk melatih militernya. Dalam analisa Outward Looking, hal ini menjadi ancaman bagi Rusia. Karena tujuan utama Putin di kancah internasional adalah mengembalikan kejayaan Rusia ketika saat Uni Soviet berjaya.
Di lain sisi, efek yang diterima Rusia sangat besar. Akibatnya Rusia harus menanggung sanksi ekonomi khususnya dari negara-negara barat dan Uni Eropa. Banyak sekali pemimpin dunia yang mengutuk tindakan Vladimir Putin. Sanksi ekonomi oleh Uni Eropa membuat akses Rusia tercabut, sanksi-sanksi larangan penjualan, transfer, dan ekspor minyak serta teknologi. Uni Eropa memiliki tujuan diberlakukannya sanksi ini agar Rusia berhenti melakukan operasi militer di Ukraina.
Rusia adalah negara pemasok gas besar keberlangsungan sumber energi barat tentu juga ada ketergantungan terhadap Rusia. Dikutip dari berita CNN, Jalur pipa Nord Stream 1 dan 2 menjadi strategi geopolitik Rusia. Beberapa bulan setelah operasi militer Rusia berjalan, Rusia memotong pasokan gas ke Eropa sebagai bentuk ancaman balik terhadap sanksi yang diberlakukan Barat kepada Rusia.
Rusia tidak memiliki visi yang sama dengan Uni Eropa maupun negara-negara Barat, Uni Eropa ingin semua negara Eropa Bersatu menjadi sekutu internasional. Sedangkan Putin menganggap itu sebagai ancaman bagi Rusia, Putin akan menganggap hal itu menjadi embargo secara ekonomi dan teknologi bagi Rusia.
Hubungan Erat Rusia dan China
Setelah banyak sanksi yang diterima Rusia, Putin tidak tinggal diam menghadapi situasi internasional yang sulit ini. Hubungan Rusia dan China sudah berlangsung dari masa kejayaan Uni Soviet, sejauh ini China selalu menjadi sahabat bagi Rusia. Tidak hanya dalam persamaan ideologi, namun juga dalam hubungan secara diplomatik kedua negara ini.
Hubungan ini terus menguat, BRICS merupakan koalisi dari Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan. Mengetahui negara-negara tersebut mendukung Rusia, hal ini terbilang wajar dengan adanya perimbangan kekuatan koalisi terutama bagi Rusia dan China dalam hubungan diplomatik. Putin menegaskan pada pidatonya, “Hubungan antara Rusia dan China adalah yang terbaik dalam sejarah, mereka bertahan dari semua ujian.”
Putin sangat mengapresiasi kerja sama militer Rusia-China, bagi pihak timur kerja sama antara Rusia dan China di kancah internasional bertujuan untuk membentuk tatanan dunia yang adil. Kedua negara ini saling memberi peluang terbuka untuk pembangunan, dua negara besar yang siap meningkatkan kerja sama strategis untuk menghadapi dampak serta tekanan dari sanksi Barat.
Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Nikolai Patrushev menegaskan “penguatan kemitraan komphrehensif” dan kerja sama strategis dengan Beijing sebagai prioritas tanpa syarat dari kebijakan luar negeri Rusia. Memang Xi Jinping lebih menjanjikan adanya dukungan kuat untuk kepentingan inti Rusia daripada Ukraina. Sesuai dengan persamaan ideologi, China semakin meningkatkan impor minyak dan gas Rusia. Pemerintah Xi membantu Moskow mengimbangi sanksi Barat yang dijatuhkan kepada Rusia.
Sebagai negara yang besar, China berpotensi menciptakan risiko keamanan agar anggota aliansi Barat melemah. Strategi defensif Rusia “tanpa batas” dengan China dikarenakan kedua sekutu ini berpendirian untuk menolak barat. Rusia memang tidak menerima pasokan dari China, namun Xi Jinping telah memberikan sebuah dukungan kepada Putin bahwa operasi militer tersebut tidak disalahkan.
Ada alasan lain mengapa Putin melakukan operasi militer tersebut, di tahun 2024 akan ada perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemerintahan Vladimir Putin. Permainan Putin mungkin sama, setelah amandemen konstitusi Putin berpotensi untuk naik kembali sebagai Presiden Rusia di 2030. Dalam hal ini, hipotesa dalam Inward Looking mengatakan bahwa Putin sudah memperhitungkan operasi militer yang dia inginkan. Hipotesa kedua, operasi militer ini dapat bertahan lama karena ancaman dari Barat beserta sekutunya.
Strategi defensif Rusia terhadap China tentu semakin jelas bahwa putin sudah mendapatkan dua hal. Pertama, Putin berupaya untuk meraih kepercayaan nasionalisme masyarakat Rusia. Kedua, dia mendapat kekuasaan untuk Menyusun bagaimana cara menghadapi dampak buruk yang dialami Rusia. Di sisi lain negara netral seperti Indonesia turut prihatin dengan Operasi Militer oleh Rusia.
Kunjungan diplomatik Presiden Joko Widodo di Rusia dalam rangka meluruskan konflik ini belum bisa memadamkan kebijakan koersif Vladimir Putin. Transformasi konflik masih belum terlihat jelas ke depannya, spekulasi serta upaya perdamaian operasi militer Rusia-Ukraina masih buntu. Apakah Putin memiliki rencana besar di balik semua tindakan ini?(*)