Pokja Peningkatan Status Kota Batu
MALANG POSCO MEDIA – Konsep ‘Batu Kota Bernuansa Desa’ yang digagas oleh Kelompok Kerja (Pokja) Peningkatan Status Kota Batu menghadirkan pendekatan baru dalam pembangunan kota yang berkelanjutan tepat di usia 24 tahu Kota Batu. Gagasan ini tidak berupaya membangun desa di tengah kota, melainkan menggabungkan nilai-nilai terbaik dari kehidupan perkotaan dan pedesaan untuk menciptakan ekosistem yang manusiawi dan berkelanjutan.
Ketua Presidium Pokja Kota Batu Andrek Prana menjelaskan bahwa filosofi ini menitikberatkan pada harmoni antara efisiensi dan kemajuan kota dengan kesederhanaan serta kearifan lokal khas pedesaan. “Kota Bernuansa Desa bukan tentang memilih antara kota atau desa, melainkan memadukan keduanya. Dari kota kita ambil inovasi, aksesibilitas, fasilitas modern, keragaman dan dinamika ekonomi. Sementara dari desa kita pelajari ketenangan, solidaritas, ketahanan pangan, kearifan lokal, kesederhanaan dan kedekatan dengan alam,” ujar Andrek kepada Malang Posco Media.
Menurutnya, kota yang baik adalah kota yang manusiawi. Batu diharapkan mampu menjadi contoh bagaimana kemajuan teknologi dan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan harmoni lingkungan serta karakter sosial masyarakat.
Filosofi ‘Kota Bernuansa Desa’ berpijak pada prinsip kota dalam taman. Di sini, ruang hijau tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika, tetapi menjadi bagian dari sistem kehidupan. Kota Batu ingin membuktikan bahwa kemakmuran tidak selalu berarti memperluas beton, melainkan menjaga keseimbangan ekologis yang justru menjadi daya tarik utama kota wisata ini.
“Alam bukan musuh pembangunan. Ia adalah mitra yang harus diajak berdialog. Batu tidak ingin menjadi kota yang membunuh pesonanya sendiri,” beber Andrek.
Pendekatan tersebut menantang tren umum pembangunan kota-kota di Indonesia yang sering mengorbankan ruang hijau demi ekspansi ekonomi. Batu memilih jalur berbeda dengan menegakkan prinsip konservasi dan kearifan lokal.
Pokja Peningkatan status Kota Batu merumuskan tiga pilar utama sebagai dasar arah kebijakan. Pertama, proteksi berbasis ekosistem. Kebijakan tata ruang Batu tidak hanya melindungi kawasan tertentu, tetapi seluruh jaringan alam yang saling terhubung.
Pemerintah menetapkan larangan membangun di lereng dengan kemiringan lebih dari 30 persen, serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan. Langkah ini menjaga air tanah, mencegah longsor, dan mempertahankan keindahan lanskap alami.
Kedua, integrasi sebagai seni membangun. Di Batu, pembangunan tidak bertujuan menaklukkan alam, tetapi menyesuaikan diri dengannya. Banyak arsitek dan pengembang menyesuaikan desain bangunan agar selaras dengan kontur tanah dan vegetasi. “Kami mendorong agar pembangunan di Batu tidak merusak, tetapi mendengar. Arsitektur di sini harus menjadi bagian dari lanskap, bukan ancaman bagi alam,” kata Andrek.
Ketiga, ekonomi sirkular sebagai jiwa kota. Batu mengembangkan sistem ekonomi yang berpihak pada alam. Sampah organik hotel diolah menjadi kompos untuk pertanian lokal, air hujan dimanfaatkan untuk irigasi, dan hasil pemangkasan pohon digunakan sebagai bahan kerajinan. Dengan demikian, konservasi menjadi sumber kesejahteraan, bukan hambatan.
Perjalanan menjaga konsep ‘Kota Bernuansa Desa’ tentu tidak mudah. Batu kerap dihadapkan pada tekanan dari investor besar yang ingin membangun proyek masif. Konflik kepentingan antara perlindungan alam dan kebutuhan ekonomi menjadi tantangan nyata. “Tidak semua investasi harus diterima. Batu punya batas, dan batas itu adalah keseimbangan alam. Kalau kita kehilangan itu, kita kehilangan segalanya,” tegas Andrek.
Namun semangat mempertahankan visi tetap kuat karena Pemerintah Kota Batu menyadari nilai strategis alam sebagai modal utama. Komitmen jangka panjang ini menjadi alasan mengapa Batu tetap konsisten menolak proyek yang berpotensi merusak ekosistem.
“Untuk penerapan filosofi di Berbagai sektor dimulai dari Sektor Perencanaan Kota dan Infrastruktur Batu yang menerapkan konsep mixed-use development, yaitu perancangan kawasan yang menggabungkan hunian, pusat bisnis, dan ruang terbuka publik dalam jarak berjalan kaki. Langkah ini menciptakan nuansa ‘kampung di tengah kota. Infrastruktur hijau seperti taman, jalur sepeda, dan sungai alami juga menjadi prioritas,” urainya.
“Pemerintah Kota Batu harus mengintegrasikan filosofi Kota Bernuansa Desa ke seluruh sektor pemerintahan. Dalam tata ruang dan pertanahan, RDTR menetapkan proporsi ruang hijau tinggi dan pembatasan pembangunan di lahan kritis,” tutur Andrek.
Konsep ‘Batu Kota Bernuansa Desa’ bukan hanya strategi pembangunan, tetapi juga gerakan budaya yang menegaskan jati diri kota ini. Batu membuktikan bahwa kemajuan tidak harus berarti meninggalkan akar sosial dan ekologisnya. “Kami ingin Batu menjadi kota yang maju tanpa kehilangan jiwa. Di sini, manusia, alam, dan teknologi harus tumbuh bersama,” pungkasnya.(eri/lim)