“Kalau aku tiba-tiba hilang, kamu bakal apa?”
Aku tahu pertanyaan itu, bagi kalian hanyalah perandaian yang mustahil. Tidak mungkin kita yang menjalankan aktifitas, lalu di tengah kegiatan puff! Hilang. Kalau aku hilang karena disihir oleh dukun ataupun salah satu dari teman dekatku ternyata lulusan Hogwarts yang tidak sengaja mengayunkan tongkat ajaibnya dan membuatku menghilang, itu bisa saja terjadi dan mungkin mereka akan memindahkanku ke belahan bumi yang lain.
Waktu itu aku selesai membaca salah satu novel yang baru aku beli, ceritanya tentang sekolah sihir kebaikan dan kejahatan. Jadi maklum kalau pernyataanku barusan cuma perandaian yang memang mustahil terjadi. Novel itu lebih banyak menceritakan adegan penyihir yang memantrai barang ataupun orang agar menghilang dari hadapan mereka. Jadi, kata ‘hilang’ selalu menghantui pikiranku saban hari.
Waktu itu juga, di hari yang sama dengan hari ini, di tanggal yang sama dengan tanggal hari ini, pada malam hari aku dan Daru ngedate untuk yang kesekian kalinya juga di sini, di tempat yang sama seperti yang aku datangi malam ini. Dua bulan lalu.
Kami hanyalan dua mahasiswa krisis identitas. Entah itu urusan mata kuliah yang membuatku hampir jungkir balik, tugas-tugas yang membentuk kantung mataku yang lebar, atau presentasi yang selalu membuatku kepingin kentut dan ngacir ke toilet kampus.
“Melow banget. Lagi banyak tugas ya?”
Pacarku—ekhemm—itu masih mengelus pelan surai lebatku. Malam itu kami menghabiskan waktu dengan memandangi kapal-kapal besar yang mengangkut berton-ton batu bara, dan beberapa kapal kecil dengan suara mesin berbunyi cempreng yang untungnya tidak pernah mengganggu pendengaran semua pengunjung di sini.
“Ck! Bukan masalah itu. Akhir-akhir ini perasaanku kayak aneh gitu, tapi nggak tau kenapa”
“Terus kenapa?”
“Pertanyaanku yang tadi. Aku dari kemarin kepikiran soal itu”
Daru hanya membalas dengan tawa kecilnya. Cowok ini, ketika aku mau membahas hal yang sedikit serius saja, dia pasti mengalihkan di tengah pembicaraan. Entah itu dengan jokesnya yang memang lucu ataupun mengganti topik lain seperti restoran baru yang buka di daerah Sirad Salman, ataupun kafe Central yang selalu ramai para anak muda, bapak-bapak yang meeting mendadak, atau segerombolan anak SMP kebelet gaul yang hampir memenuhi ruangan bagian dalam kafe.
“Kan sudah aku jawab tadi. Sa, udah ya? Kayaknya kamu puasa novel dulu, tugas kuliahmu lebih penting sekarang”
“Mending kamu berkaca deh, yang kerjain tugas selalu dekat tenggat waktu”
Daru hanya tertawa.
“Harisa, baik kamu atau aku, nggak ada yang bakal hilang. Entah itu mengilang karena emang udah mati ataupun diculik”
“Hush! Kok jadi serem kamu ngomongnya? Jangan gitu, ah!”
“Makanya, jangan terlalu banyak pikiran. Aku sudah sering kasih tau kamu. Hal-hal kecil jangan terlalu dibawa pikiran apalagi sampai dijadikan beban”
“Tapi kan dari hal-hal kecil itu, bisa aja ada kemungkinan lain yang bakalan terjadi”
“Contohnya?”
Aku ribut kecil dengan Daru. Hanya karena aku yang selalu kepikiran yang seharusnya tidak aku pikirkan. Hal yang seharusnya tidak aku pikirkan, tetap aku pikirkan. Seakan-akan isi otakku akan keluar berbagai runtutan kalimat yang selalu aku pendam.
Di umurku yang sudah kepala dua awal, saat aku semakin tumbuh dewasa. Bukan hanya tinggi badan ataupun usiaku, tetapi segala pemikiran yang sebelumnya tidak pernah terlintas tahu-tahu saja sudah harus aku hadapi bagaimana caranya. Meski aku masih seorang mahasiswa, hal yang seharusnya aku pikirkan seperti belajar dan lulus dengan cepat, meski aku tahu seiring berjalannya waktu hal baru perlahan akan masuk dalam hidupku. Aku takut kemungkinan yang aku harapkan tidak sesuai dengan apa yang aku mau.
Seperti saat itu, aku selalu takut tiba-tiba pergi. Aku tidak bisa meninggalkan Daru sendiri. Aku selalu bilang pada Daru jika aku takut hilang dengan tiba-tiba. Entah hilang karena apa. Ini bukan khayalanku akibat terlalu banyak frasa maupun diksi yang aku dapat dari semua novelku. Beberapa hari yang lalu firasatku selalu berkata akan terjadi sesuatu yang buruk dan aku masih belum tahu apa itu. Namun, aku tahu semua pemikiranku ada kaitannya dengan Daru.
Akhir-akhir Daru memang tidak seperti biasanya. Entah karena insting seorang perempuan yang sangat peka, tapi aku tahu ada yang cowok itu sembuyikan dariku.
“Nanti, seandainya masih dikasih izin, kalau kita masih sama-sama …” mata Daru menatapku teduh, “… mungkin aku punya rencana lain buat cari kamu. Atau mungkin aja, aku yang harus hilang di sini”
***
Seminggu setelah acara date kami dengan percekcokan kecil, Daru tiba-tiba saja menghilangkan diri. Waktu itu aku tidak ada kepikiran sama sekali dengan percakapan terakhir kami—atau lebih tepatnya aku—tentang pembahasan ‘bagaimana jika aku hilang’. Aku mengirim banyak sekali chat WhatsApp, selalu centang satu yang aku dapat. Aku berjalan kaki dari gedung fakultasku menuju gedung Fakultas Hukum untuk menemui beberapa teman dekatnya yang aku kenal.
“Serius? Dia nggak ada kabari kamu juga?”
Cowok berambut cepak yang bernama Adnan itu mengerutkan kedua alisnya. Dia sama kaget dan heran dengan keberadaan Daru yang masih dipertanyakan. Aku mengucapkan terima kasih dan berpisah dengan Adnan di lobi, sebelumnya dia menyuruhku untuk datang ke kostan Daru.
Aku sudah ada rencana untuk pergi ke sana. Namun aku tahu diri posisiku sebagai perempuan yang tidak bisa sembarang mendatangi kost khusus cowok, setidaknya aku butuh satu orang temanku dan satu orang teman Daru untuk menemani dan memeriksa bersama. Mungkin besok atau lusa, aku bisa meminta bantuan Adnan dan Kanaya.
Lalu tiba di hari aku pergi mengunjungi kost Daru, ditemani dengan Adnan dan Kanaya. Lokasinya masih satu area dengan tempat perkuliahan kami, tepatnya di gang Pramuka IV. Kostnya berada hampir di ujung gang, dekat dengan pertigaan jalan. Bangunan tingkat dua beton dan berpagar hitam. Setelah ini aku harus berterima kasih kepada mereka berdua karena mau kurepotkan. Kami masuk ke dalam dan meminta izin kepada ibu pemilik kost, untungnya beliau mengizinkan, lalu naik tangga menuju lantai dua. Kamarnya terletak tepat di sebelah kiri tangga. Adnan maju lebih dulu dan langsung membuka pintu tanpa aba-aba. Cowok itu diam beberapa detik sebelum tatapannya tertuju padaku. Aku bingung bagaimana membaca ekspresi Adnan.
Begitu aku melihat isi kamar Daru, dengan panjang empat meter dan lebar tiga meter, pemandangan kamar yang tidak bisa dibilang rapih atau berantakan. Ciri khas kamar anak cowok pada umumnya. Ada lemari pakaian tepat di samping kanan pintu masuk, bilik kamar mandi yang tertutup, kasur tebal berukuran single, kipas angin, dan meja belajar. Kamar ini seperti kebanyakan kamar kost kebanyakan.
Kami bertiga masuk ke dalam, aroma parfum kesukaan Daru menyeruak hidungku. Seakan sadar jika aku tidak bertemu dengan Daru selama seminggu lebih membuatku rindu, aku mengedipkan mata beberapa kali ketika pelupuk mataku terasa basah. Aku tidak boleh menangis sekarang. Bisa saja Daru sedang pergi berlibur dengan kawanannya yang lain, lalu dia lupa mengabariku.
Karena tidak ada petunjuk berarti yang ditemukan selama hampir setengah jam, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum aku meninggalkan kamar Daru, jaket coklat yang selalu dipakainya menggantung di dinding kamar, aku meminta izin kepada Adnan untuk membawa jaket itu dan mengucapkan terima kasih lagi karena sudah diperbolehkan. Kuhirup sesaat aroma jaket milik Daru. Semula napasku yang menggebu-gebu langsung terasa ringan, tidak sadar jika aku khawatir setangah mampus dengan Daru.
Lalu semuanya berjalan seperti sedia kala. Aku masih menjalani tugasku sebagai mahasiswa, mengerjakan tugas, presentasi yang semakin membuat perutku mulas, dan kegiatan sehari-hari masih aku lalui. Beberapa kali aku menemui Adnan untuk menanyakan kabar Daru, walau aku tahu hanya gelengan kepala yang selalu aku dapat darinya.
Jaket coklat Daru masih kusimpan dengan baik, jika aku rindu dengannya, maka akan kujadikan selimut tidur. Berharap Daru muncul di mimpiku dan memberitahu dimana dia berada. Bukannya bermimpi tentang pacarku, malah sungai di Tepian yang selalu aku mimpikan. Aku selalu bermimpi duduk sendirian di pagar beton pembatas sungai Mahakam, hanya menatap sungai, sungai, dan sungai.
***
“Masih belum ada kabar?”
Aku lagi-lagi menggeleng lesu. Seketika rasa laparku hilang dan ayam geprek milikku masih tersisa banyak. Pelan-pelan aku kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut, satu gerakkan ini terasa lelah kulakukan. Kanaya menatapku prihatin. Aku tidak kesal ataupun marah padanya karena kasihan padaku. Aku bingung harus berekspresi bagaimana. Sudah seminggu lebih pencarianku yang masih belum ada titik temu.
Aku ingat Daru yang bercerita tentang keluarganya. Dia tinggal bersama dengan neneknya. Dia seorang yatim-piatu. Tak banyak memori yang ia ingat tentang kedua orangtuanya, dia menghabiskan masa kecil bersama sang nenek. Pernah dia bercerita tentang salah satu keputusan terberat ketika lulus SMA. Dia ingin berkuliah di ibukota, tetapi di sisi lain ia tidak tega meninggalkan neneknya sendiri. Neneknya paham dengan cita-cita Daru dan mendugkunya, beliau bilang tidak perlu menghawatirkan itu karena ada tetangga sekitar yang mau mengurus dan menjaga sang nenek.
Aku ingat juga Daru yang selalu suka bermain di sungai bersama teman-temannya dulu. Saat ia masih kanak-kanak. Ketika matahari terik siang hari tidak membuatnya berhenti untuk berenang menyusuri sungai di belakang rumahnya.
“Kamu udah denger berita belum? Katanya ada orang yang tenggelam di Mahakam, gosipnya sih bunuh diri. Udah seminggu lebih”
“Berita sekarang serem-serem ya. Terus korbannya udah ketemu belum?” aku merasa iba mendengar cerita dari Kanaya, kepalanya menggeleng sebagai jawaban.
“Polisi masih selidiki kasusnya, aku udah beberapa kali lewat jalan raya di Tepian, terus lihat tim pencarian masih berkeliaran di sungai”
Nasi ayam geprek milikku sudah licin tandas. Hmmm. Baru sadar selama aku makan, Kanaya menceritakan tentang berita si korban bunuh diri yang menenggelamkan diri di sungai besar itu. Rasa bersalahku mulai muncul ketika di sini aku bisa makan enak, sementara korban belum juga ditemukan.
“Masih mau cari dia lagi?”
Aku mengangguk, “Adnan juga mau bantuin kok. Beruntung banget Daru punya teman sebaik dia. Kayaknya aku harus kasih dia sesuatu nanti sebagai ucapan terima kasih karena udah mau aku repotin” kekehku di akhir.
***
Dua bulan aku lewati, dan aku di sini. Duduk sendirian di pagar beton pembatas sungai. Rasanya agak merinding aku bisa memimpikan apa yang akan aku lakukan kedepannya. Di hari yang sama, tanggal yang sama, jam yang sama. Kilas balik saat aku terakhir kali bertemu dan berbicara dengan Daru. Lalu tentang firasatku yang semakin tidak karuan rasanya. Angin sepoi malam ini terasa lembab, mungkin sedari tadi siang hujan deras.
“Harisa, kamu di mana sekarang?”
Adnan menelponku. Aku mendengar suara napasnya yang memburu dan sedikit bergetar. Aku bilang padanya jika aku berada di Tepian, tanpa salam penutup dia langsung mematikan ponselnya. Oh iya, sedari tadi aku mendengar suara sirene mobil polisi dan ambulance. Entah sudah berapa kali kendaraan itu lewat. Aku tidak sadar dengan keadaan sekitarku. Aku masih diam menikmati pemandangan malam ini.
Aku mendengar langkah kaki yang terburu-buru dari belakang juga suara memanggil namaku, aku menoleh dan melihat Adnan yang berlari ke arahku. Cowok itu tiba di hadapanku, napasnya tersengal, kedua matanya sembab, keringat membasahi seluruh wajahnya. Dia terlihat seperti pelaku pencurian yang tertangkap basah.
“Ikut aku, kita ke sana. Cepat!”
Adnan menarik tanganku dan kami berlari menuju kerumuman orang yang terlihat lumayan jauh dari tempatku. Ternyata di situ mobil polisi dan ambulance berhenti. Aku melihat banyak petugas tim pencarian orang hilang sedang menelusuri sungai, berbagai senter dan lampu penerangan membantu mereka di bawah sana. Ada apa ini? Siapa yang berada di sungai?
“Kamu udah denger berita belum? Katanya ada orang yang tenggelam di Mahakam, gosipnya sih bunuh diri. Udah seminggu lebih”
Percakapan itu tepat dua bulan yang lalu.
Aku berteriak histeris ketika mereka mengangkat sebuah tubuh yang sudah membusuk dari sungai. Aku berlari menerobos kerumunan orang, Adnan berkali-kali memanggilku dan ikut menyusul di belakang. Air mataku merembes deras, aku berteriak memanggil nama yang selama ini aku cari, yang selama ini hilang. Baju, celana, sepatu, aku tau itu milik siapa. Milik yang selama ini hilang.
Hilang.
Adnan menangkap diriku yang hampir ambruk, dia berusaha menyadarkanku sambil menangis. Aku masih berteriak, menarik rasa iba masyarakat sekitar yang melihat. Sekelabat ingatanku tentang firasatku, mimpiku, obrolan terakhir kami yang membuatku tidak tenang. Semuanya berjalan seperti film di otakku, aku yang saat ini semakin meraung pilu melihat tubuh Daru, orang yang aku sayang sudah tidak jelas bentuknya, sudah tidak ada nyawanya. “… mungkin aku punya rencana lain buat cari kamu. Atau mungkin aja, aku yang harus hilang di sini”. (*/cerpenku/bua)