MALANG POSCO MEDIA – Gelombang demonstrasi yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia pada akhir bulan Agustus lalu memang menyisakan citra yang tidak menyenangkan bagi publik internasional.
Sejumlah peristiwa seperti pembakaran dan penjarahan di Jakarta, perusakan fasilitas umum serta gedung DPRD di Makassar, pembakaran Gedung DPR NTB, bentrokan antara massa dan aparat di Surabaya, hingga insiden tragis tewasnya seorang pengemudi ojek daring karena terlindas kendaraan taktis Brimob, sempat menjadi sorotan media asing.
Tak ayal, sejumlah negara mengeluarkan peringatan perjalanan (travel warning) bagi warganya yang tinggal di Indonesia atau hendak berkunjung, mulai dari Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Prancis, Jepang, Filipina, Inggris, hingga Kanada.
Travel warning pada dasarnya merupakan instrumen kewaspadaan standar yang dikeluarkan pemerintah suatu negara untuk melindungi warganya di luar negeri. Travel warning lebih bersifat imbauan ketimbang larangan (travel ban), sebuah langkah antisipasi atas potensi kerawanan yang bisa saja terjadi. Namun, dalam praktiknya, label travel warning seringkali menimbulkan efek psikologis yang jauh lebih besar daripada substansinya.
Bagi publik internasional, kata-kata itu menghadirkan bayangan menakutkan tentang Indonesia: sebuah negeri yang sedang bergolak, penuh ancaman, dan seakan tidak aman untuk didatangi wisatawan. Padahal, realitas di lapangan tidaklah seseram narasi yang dibayangkan.
Kehidupan masyarakat tetap berjalan, pusat-pusat wisata tetap ramai, dan harmoni sosial masih terjaga di banyak daerah. Kontradiksi inilah yang kerap menjadi tantangan: bagaimana menepis stigma global akibat “travel warning”, sembari menunjukkan wajah Indonesia yang sesungguhnya—aman, ramah, dan selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai penjuru dunia.
Salah satu contoh nyata datang dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski tak terlepas dari pemberitaan nasional yang menyoroti eskalasi demonstrasi, daerah ini tetap mampu menampilkan wajah ramah dan kondusif sebagai destinasi wisata.
Di saat sebagian media internasional menggambarkan Indonesia dengan nuansa penuh kegaduhan, NTB justru hadir sebagai oase ketenangan. Kawasan wisata seperti Mandalika, Sembalun, hingga Gili Trawangan tetap berdenyut normal dengan geliat aktivitas pariwisata, seolah tak terpengaruh riak politik yang menghangat di pusat-pusat kota.
Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menegaskan bahwa masyarakat di daerahnya telah cukup matang dalam menyikapi dinamika politik nasional. Kultur dialogis dan sikap gotong royong yang kuat membuat potensi gesekan bisa dikelola dengan baik. Dalam pandangannya, travel warning yang dikeluarkan sejumlah negara tidak perlu dimaknai berlebihan.
Ia bahkan menganalogikannya seperti pesan seorang orang tua kepada anaknya sebelum bepergian: sekadar pengingat agar berhati-hati di jalan, bukan larangan untuk melangkah.
Pesan ini menjadi cerminan bahwa NTB tidak hanya sekadar aman, tetapi juga siap menyambut tamu dari berbagai belahan dunia. Ramahnya masyarakat, kesiapan infrastruktur pariwisata, serta dukungan penuh pemerintah daerah menjadi kombinasi yang memperkuat daya tawar NTB di mata wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dengan cara itu, NTB ingin menegaskan bahwa wajah Indonesia tidak tunggal, dan justru dari daerah-daerah seperti inilah lahir gambaran tentang bangsa yang tetap stabil, terbuka, dan bersahabat di tengah dinamika global.
Memaknai travel warning
Travel warning seringkali dipersepsi berlebihan. Sebenarnya, level peringatan ini berbeda jauh dari travel ban yang bersifat larangan keras. Dalam konteks diplomasi, Travel warning lebih tepat dipahami sebagai “peringatan dini” agar wisatawan berhati-hati dan mengikuti perkembangan informasi di negara tujuan.
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia bukan sekadar teknis keamanan, melainkan persepsi global. Setiap kerusuhan atau aksi massa yang viral di media asing segera menempelkan stigma bahwa Indonesia tidak aman.
Padahal, aksi massa adalah bagian dari dinamika demokrasi. Amerika Serikat atau Prancis pun mengalami demonstrasi besar yang kadang diwarnai kekerasan, tetapi tidak otomatis membuat negaranya dipandang tidak aman oleh wisatawan internasional.
Di sinilah pentingnya strategi komunikasi publik. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu menghadirkan narasi tandingan yang menekankan bahwa kerusuhan hanyalah insiden sporadis, sementara kehidupan masyarakat tetap berjalan normal.
NTB telah mempraktikkan strategi ini dengan cara sederhana dengan cara menunjukkan video turis asing yang tetap bebas berjalan santai di Kota Mataram. Langkah itu efektif untuk mengikis ketakutan yang dibangun dari berita-berita global yang cenderung menekankan sisi dramatis.
NTB adalah contoh konkret bagaimana sebuah daerah dapat tampil sebagai wajah teduh Indonesia. Meski sempat terjadi pembakaran gedung DPRD, kondisi cepat terkendali. Tidak ada gangguan serius terhadap aktivitas pariwisata di Lombok maupun Sumbawa. Hotel tetap beroperasi, penerbangan berjalan normal, dan destinasi wisata ramai dikunjungi.
Kekuatan utama NTB terletak pada masyarakatnya yang terbiasa menerima tamu. Budaya lokal seperti begawe (kebersamaan) dan merariq (tradisi pernikahan) selalu ditampilkan dengan penuh keramahan. Karakter sosial ini menjadi modal sosial yang penting: wisatawan merasa diterima, bukan dicurigai.
Dalam jangka panjang, NTB dapat dijadikan etalase bagaimana daerah lain di Indonesia mengelola wajah publiknya di tengah badai citra negatif. Pesannya jelas, kerusuhan bisa terjadi di mana saja, tetapi itu tidak berarti destinasi wisata menjadi berbahaya.
Strategi tiga lapisan
Bagaimana agar “travel warning” tidak terus membayangi citra Indonesia? Ada tiga lapisan solusi yang bisa ditawarkan:
Pertama, lapisan komunikasi krisis. Pemerintah pusat dan daerah perlu membangun crisis communication center yang responsif. Setiap kali muncul “travel warning” harus segera ada klarifikasi resmi yang menekankan situasi terkini dan fakta lapangan. Klarifikasi ini tidak cukup hanya berupa teks, melainkan juga visual, seperti video aktivitas wisatawan yang tetap normal.
Kedua, lapisan diplomasi pariwisata. Kedutaan Besar RI di negara-negara pemberi “travel warning” perlu lebih aktif mengomunikasikan kondisi riil di lapangan. Diplomasi pariwisata bisa dilakukan melalui dialog langsung dengan asosiasi wisata, travel agent, maupun media asing. NTB dapat dijadikan case study untuk menunjukkan bahwa destinasi di Indonesia tetap aman.
Ketiga, lapisan pemberdayaan masyarakat. Pada level lokal, masyarakat harus terus diberdayakan sebagai duta keramahan. Setiap warga NTB yang melayani wisatawan, mulai dari pengemudi taksi, pedagang kecil, hingga pengelola hotel, adalah wajah Indonesia di mata turis. Semakin ramah pelayanan publik, semakin cepat pula citra negatif memudar.
Setiap travel warning sejatinya adalah ujian kepercayaan. Jika Indonesia gagal merespons dengan tepat, maka peringatan itu bisa berubah menjadi travel ban, yang jelas merugikan. Namun, jika ditangani dengan baik, travel warning justru bisa menjadi momentum untuk memperlihatkan kesiapan Indonesia NTB menjaga keamanan dan kenyamanan wisatawan.
NTB telah memberikan contoh awal. Meski sempat dilanda aksi massa, pemerintah daerah mampu menjaga kendali, masyarakat tetap tenang, dan wisatawan tetap merasa aman. Citra positif ini harus diperluas ke daerah lain.
Dalam perspektif kebangsaan, menghadirkan wajah ramah kepada dunia adalah bagian dari tugas menjaga marwah Indonesia. Setiap wisatawan yang pulang dengan kesan positif akan menjadi duta kecil yang membawa cerita baik tentang negeri ini.
Travel warning hanyalah bayangan, bukan kenyataan. NTB telah membuktikan bahwa di tengah gejolak politik, pariwisata tetap bisa berjalan aman dengan wajah ramah masyarakat. Tantangan berikutnya adalah memastikan seluruh daerah di Indonesia mampu menampilkan wajah serupa yakni ramah, aman, dan terpercaya.
Indonesia tidak boleh terus-menerus dibayang-bayangi stigma menakutkan. Dengan komunikasi publik yang cerdas, diplomasi pariwisata yang aktif, dan pemberdayaan masyarakat yang konsisten, bayangan itu akan sirna.
Dunia pun akan kembali melihat Indonesia sebagaimana mestinya yakni negeri dengan sejuta senyum, tempat di mana wisatawan bisa menemukan keindahan alam sekaligus keramahan manusia. (ntr/nug)