Oleh: Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Pada 20 Oktober besok, Indonesia akan memasuki era baru kepemimpinan nasional, seiring dengan transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Jokowi telah menjadi pusat dari berbagai narasi yang menggambarkan transformasi bangsa ini.
Di satu sisi, keberhasilan dan capaian besar yang ditorehkan selama sepuluh tahun meninggalkan jejak penting pada lanskap politik, ekonomi, dan sosial Indonesia. Sejarah akan mencatat bahwa Jokowi berhasil menciptakan perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Tetapi di sisi lain, kepemimpinannya juga menyisakan sederet catatan kelam yang menimbulkan polemik.
Oleh karena itu, ungkapan “terima kasih” yang menjadi judul tulisan ini punya dua makna. Pertama, terima kasih sebagai penghargaan atas beragam pencapaian yang signifikan bagi kemajuan bangsa. Kedua, terima kasih sebagai bahasa satire, dalam arti sebagai evaluasi kritis terhadap berbagai persoalan dan kelemahan dalam beberapa aspek pemerintahan dan kebijakannya.
Capaian Keberhasilan
Tidak bisa dipungkiri, bahwa Jokowi telah membawa sejumlah perubahan signifikan dalam berbagai aspek. Salah satu hal yang paling sering disebut sebagai pencapaian utamanya adalah pembangunan infrastruktur masif di seluruh penjuru. Jalan tol, rel kereta, jembatan, bandara, pelabuhan, hingga bendungan dibangun dalam rangka mempercepat konektivitas dan pemerataan ekonomi antar daerah. Proyek-proyek tersebut, di bawah konsep Indonesia Sentris, dimaksudkan agar terjadi pemerataan pembangunan di berbagai daerah, tidak hanya berfokus di pulau Jawa.
Pembangunan fisik ini telah berhasil menciptakan akses yang lebih baik bagi masyarakat pedesaan dan wilayah terisolasi. Hadirnya infrastruktur yang memadai, terutama di sektor transportasi melalui jalan tol, bandara, rel kereta api, dan tol laut, menjadikan distribusi barang dan jasa menjadi lebih cepat dan efisien serta mobilitas manusia yang lebih mudah. Muaranya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat, meski ada harga yang harus dibayar yakni peningkatan utang negara.
Di sektor energi, program elektrifikasi di seluruh wilayah Indonesia patut diapresiasi. Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Dalam Rangka HUT RI ke-79 lalu, Jokowi melaporkan bahwa rasio elektrifikasi masyarakat yang sudah menikmati akses listrik mencapai 99 persen hingga 2024. Hal ini merupakan capaian besar, terutama jika mengingat banyaknya desa-desa terpencil yang dulu sulit terjangkau listrik.
Demikian pula, cakupan internet di berbagai wilayah terpencil berhasil digenjot. Hingga 2024, tercatat cakupan internet di Indonesia telah mencapai 79 persen. Wilayah-wilayah yang dulu tidak bisa dijangkau oleh jaringan internet kini bisa menikmati akses internet yang mendorong digitalisasi di berbagai sektor, seperti pelayanan publik dan ekonomi rakyat.
Di kancah internasional, Jokowi berhasil membawa Indonesia pada posisi yang lebih aktif dalam diplomasi global. Sebagai tuan rumah G20 pada tahun 2022 lalu, Jokowi menunjukkan kepemimpinan di tengah situasi geopolitik dunia yang semakin kompleks. Jokowi juga menekankan pentingnya kerja sama multilateral dalam mengatasi berbagai tantangan global. Langkah-langkah diplomatik tersebut menjadikan Indonesia sebagai pemain yang semakin diperhitungkan di panggung dunia.
Tentu, ada banyak capaian keberhasilan dalam sepuluh tahun ini yang tidak mungkin diurai satu per satu. Namun satu hal yang pasti, bahwa Jokowi telah berhasil mengantarkan bangsa ini melalui transformasi multisektoral sebagai legasi bagi para generasi penerus. Salah satunya, adalah agenda pemindahan ibukota ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Catatan Kelam
Namun, dalam narasi keberhasilan tersebut, tentu ada sisi gelap yang harus menjadi pelajaran bagi perjalanan kebangsaan kita di masa mendatang. Salah satu isu yang paling kontroversial adalah melemahnya demokrasi dan supremasi hukum, terutama dalam tahun-tahun terakhir ini.
Berbagai laporan dari lembaga internasional menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat dan pers mengalami penurunan yang signifikan. Di tengah penguatan narasi pembangunan, ruang kritik terhadap pemerintah kerap kali dibatasi, baik melalui penggunaan pasal-pasal yang dianggap represif maupun tindakan fisik untuk membungkam kritik. Dalam kaitannya dengan HAM, Jokowi kerap dianggap gagal menuntaskan janji-janji penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Korupsi juga menjadi isu yang menonjol. Meskipun di awal sempat dipuji atas komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, tetapi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 dianggap sebagai pukulan telak bagi lembaga antirasuah tersebut. Kepercayaan publik terhadap lembaga ini terus mengalami penurunan drastis seiring berbagai skandal dan permasalahan yang menggerogotinya.
Dalam konteks demokrasi, menjelang Pemilu dan Pilpres lalu, kita dipertontonkan dengan berbagai polemik kebijakan politik dan hukum yang memecah bangsa dalam situasi konfliktual. Berbagai pandangan menyebut Jokowi telah menghempaskan prinsip-prinsip demokrasi hingga ke titik nadir. Segala sumpah-serapah dilayangkan ke Jokowi atas berbagai kebijakan dan tindakan kontroversial yang dibuatnya dalam setahun terakhir.
Refleksi
Sebagai retrospeksi, sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi adalah periode yang penuh warna dan dinamika. Dari seorang yang tampil sebagai sosok yang sederhana dan merakyat, Jokowi membawa harapan besar bagi perubahan. Namun, segala prestasi tersebut harus dibayar mahal dengan berbagai kontroversi.
Oleh karena itu, terima kasih kepada Jokowi tidak hanya berarti mengapresiasi pencapaiannya, tetapi juga sebuah ajakan reflektif bagi kita semua untuk belajar dari berbagai warisan kontroversi yang ditinggalkan. Kita semua berharap, penerusnya, Prabowo Subianto, belajar dari keberhasilan dan kekurangan Jokowi, menuju terwujudnya Indonesia Maju.(*)