Malang Posco Media – Tepat pada 21 Januari 2022, Partai Mahasiswa Indonesia (PMI) resmi berdiri. Partai ini mendapatkan legalitasnya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-5.AH.11.01 Tahun 2022 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kristen Indonesia 1945 menjadi Partai Mahasiswa Indonesia.
Sebagai kaum elit pada generasinya, mahasiswa kini patut berbangga. Kini, mahasiswa memiliki semacam badan resmi yang dapat mewakili independensi maupun idealismenya di kancah perpolitikan nasional (harapannya).
Partai ini dikomandoi oleh Eko Pratama sebagai Ketua Umum, Mohammad Al Hafiz sebagai Sekretaris Jendral (Sekjend), dan Muhammad Akmal Mauludin sebagai Bendahara Umum. Ketua Mahkamah ditempati oleh Teguh Stiawan, serta anggota mahkamah yang diisi oleh Devistha dan Rican.
Menyematkan nama ‘mahasiswa’ tentunya merupakan beban besar yang dipikul oleh fungsionaris partai ini. Bukan tidak mungkin, setiap langkah yang diambil oleh partai ini akan dicap mewakili mahasiswa Indonesia secara universal. Padahal, sejak awal pendiriannya, partai ini mengalami pecahan dari mahasiswa itu sendiri.
Berawal dari perpecahan pada internal BEM Nusantara, Eko Pratama dan Dimas Prayoga sama-sama mengklaim diri sebagai koordinator BEM Nusantara. Dualisme dimulai pasca Temu Nasional ke-XII yang diselenggarakan pada Maret 2021.
Kubu Dimas Prayoga menolak secara terang-terangan pembentukan partai politik, sebab dinilai melenceng dari nilai-nilai mahasiswa. Selain itu, BEM SI (Seluruh Indonesia) turut menolak Partai Mahasiswa Indonesia sebagai representasi gerakan mahasiswa.
Pemilu kini tinggal menghitung waktu. Kurang dari dua tahun, Indonesia akan kembali menggelar hajat besar demokrasi. Calon-calon lintas generasi yang memutuskan untuk bertarung mulai dari Kabupaten, Kota, hingga Nasional mulai bermunculan.
Kampanye demi kampanye, pendekatan demi pendekatan mulai digempur dari sekarang. Semuanya demi menggalang dukungan sebanyak-banyaknya pada kontestasi Pemilu 2024.
Belum juga melangkahkan kaki dalam pertarungan politik 2024, partai ini sudah digeluti permasalahan. Sejumlah Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945 pada April lalu mengunjungi kantor Kemenkumham dengan tujuan untuk melayangkan protes terkait pendirian PMI. Menurut mereka, PMI cacat hukum dan tidak jelas sebab perubahan nama partai terjadi secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan.
Tak hanya berdiri, Partai Mahasiswa Indonesia juga dinyatakan legal untuk ‘bertarung’ di Pemilu 2024. Langkah yang baik untuk perjuangan mahasiswa? Sepertinya tidak juga. Hal ini bergantung pada ke mana arah gerak partai ini.
Pertanyaannya adalah, ke mana arah gerak Partai Mahasiswa Indonesia? Di mana standing position partai ini? Bagaimana partai ini menyikapi dinamika Pemilu? Kemudian yang paling terpenting, sejauh mana Partai ini dapat menjaga independensi dan idealisme mahasiswa dan jauh dari lobi-lobi kepentingan?
Tampaknya sulit membayangkan sebuah partai politik independen dalam proses politik praktis. Seperti yang diketahui, partai politik memiliki dua pilihan dalam kancah politik nasional. Menjadi oposisi, atau turut terlibat dalam koalisi.
Mungkin PMI gagal dalam membedakan politik di dalam dan di luar kampus. Padahal, politik di dalam kampus masih bernuansa idealis, sedangkan politik dalam skala nasional cenderung pragmatis.
Di tengah gempuran politik praktis dan pragmatis, gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral tentu akan sangat riskan untuk digoyahkan. Kepentingan-kepentingan oposisi dan tuntutan-tuntutan koalisi akan selalu membayangi partai ini dimanapun ia berdiri.
Dengan gelar mahasiswa yang disematkan pada nama partainya, bukan tidak mungkin partai ini akan dimanfaatkan, entah mobilisasi massa mahasiswa atau proyek-proyek ‘nakal’ di lingkungan kampus.
Namun, dari sudut pandang seorang mahasiswa, kita harus fairdan turut melihat kemungkinan baik dari pembentukan partai ini, atau istilah lainnya husnudzon. Dalam doktrin perjuangan mahasiswa, kita mengenal dua jalur perjuangan, yakni jalur kultural dan struktural.
Jalur kultural adalah perjuangan menegakkan keadilan sosial maupun ekonomi dari luar arena politik praktis demi menjaga stabilitas demokrasi. Salah satu contohnya adalah aksi demonstrasi. Melalui jalur kultural, mahasiswa memposisikan diri sebagai pressure groupatau grup penekan. Di posisi ini, mahasiswa bergerak secara independen di luar kepentingan-kepentingan politik praktis dan murni bergerak atas nama kepentingan rakyat.
Sedangkan melalui jalur struktural, mahasiswa dapat masuk ke dalam lingkaran para pemangku kebijakan dan membuat/ merubah kebijakan sesuai nilai-nilai mahasiswa. Untuk melakukan hal tersebut, maka mahasiswa harus berani ‘menerobos’ masuk ke dalam struktural aktor politik (Suprastruktur politik dan Infrastruktur politik) seperti DPR, DPRD, atau partai politik.
Jika diizinkan sedikit berhusnudzon, maka penulis berasumsi bahwa PMI ‘muak’ dengan jalur kultural yang selalu dihentikan di depan pagar kantor pemerintahan. Mungkin mereka berpikir bahwa inilah saatnya memulai jalur struktural dengan aksi yang lebih konkrit.
Mungkin mereka ingin mematahkan segala stigma buruk tentang politik Indonesia dan membuka lebar-lebar mata kita semua tentang politik praktis yang penuh dengan nilai.
Lagi pula, jika dibandingkan suprastruktur politik, mahasiswa memang idealnya bermain di arena infrastruktur politik. Infrastruktur politik memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan pendidikan politik kepada masyarakat secara umum. Tujuannya jelas, agar masyarakat tidak buta akan politik dan dapat berpartisipasi dalam momentum maupun sistem politik.
Selain itu, infrastruktur politik juga memiliki fungsi untuk menghubungkan kepentingan yang beraneka ragam dalam lingkup masyarakat, menyalurkan keinginan, ide, gagasan, dan pendapat dari masyarakat kepada pemangku kekuasaan, serta mengadakan pemilihan calon pemimpin untuk masyarakat.
Melihat tugas dari insfrastruktur politik, maka yang paling ideal untuk menjalankannya adalah mahasiswa dan partai politik. Mahasiswa, seperti yang kita ketahui, merupakan benteng pertama dan pertahanan terakhir bagi keadilan di negeri ini.
Mahasiswa merupakan elemen terdekat dengan masyarakat yang dapat mensosialisasikan pendidikan politik maupun menampung aspirasi dari rakyat itu sendiri. Sedangkan partai politik merupakan institusi paling ideal untuk menyalurkan aspirasi tersebut kepada kader-kader mereka yang duduk di bangku legislatif maupun eksekutif.
Nah, hari ini ada partai politik yang diisi oleh mahasiswa dan dapat bertarung di kontestasi Pemilu 2024. Mungkin partai ini bisa dijadikan pilihan alternatif (bagi yang mau).(*)