Kisah Heroik Pejuang Kota Batu, Abdul Gani dan Abdul Manan
Banyak pejuang Kota Batu. Mereka gagah berani bertaruh nyawa mengusir kolonial. Saat perang paling berani. Di antaranya Abdul Gani dan Abdul Manan.
MALANG POSCO MEDIA– Ketua LVRI Kota Batu, Handri Israwan menceritakan berbagai penggalan singkat tentang para pejuang yang bertempur dan gerilya di Kota Batu. Cerita tersebut ia dapatkan dari buku yang dirangkum Andrek Prana yang merupakan Ketua Pokja Kota Batu.
Selain itu, cerita para pejuang ia dapatkan dari para veteran di Kota Batu yang saat ini berusia diatas 90 tahun. Pasalnya diungkap Handri bahwa para veteran yang saat ini berusia 90 tahun keatas merupakan pelaku sejarah yang bergulat langsung dan mengangkat senjata mengusir penjajahan Belanda dan Jepang.
“Kota Batu menjadi salah satu daerah yang menjadi incaran Belanda. Sehingga ada banyak pejuang yang gerilya mempertahankan kemerdekaan hingga gugur di medan perang,” ujar Handri saat ditemui Malang Posco Media di rumahnya Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji Kota Batu Minggu (18/8) kemarin.
Handri merupakan bagian dari Batalion Infanteri 512 ini menceritakan bahwa salah satu pahlawan yang gugur di Kota Batu adalah Abdul Gani.
“Dari cerita yang digali dari Ibu Sukin, istri dari Abdul Gani mengatakan Abdul Gani yang lahir di Pasuruan adalah pria pendiam tapi tegas dan tegar dalam pendirian. Sejak bayi sampai akhir hayat Abdul Gani berada di Batu,” ungkapnya.
Abdul Gani, sejarahnya pernah berjuang dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ia sempat mondok di sebuah pesantren memperdalam ilmu agama. Sehingga tidak heran kalau ia taat beribadah.
“Dari berbekal ilmu agama itulah Abdul Gani bergabung dan berjuang memanggul senjata melawan Belanda di masa perjuangan. Abdul Gani adalah teman akrab Munif, yang selain pejuang juga menjadi guru madrasah, yang sekarang lebih dikenal MI Miftahul Ulum,” bebernya.
Diterangkan kakak sepupunya, Sumiati, bahwa Abdul Gani gugur saat berusia 37 tahun. Jenazahnya ditemukan di Punden Kaliputih dalam keadaan mengenaskan, yakni dengan kondisi fisik terluka parah akibat siksaan tentara Belanda. Abdul Gani diseret mobil jip sampai berapa pilih meter.
“Gugurnya Abdul Gani dibenarkan Bu Sukin. Yang saat itu suaminya (Bu Sukin) berhasil ditangkap Belanda dalam keadaan hidup. Lalu ditembak dan disiksa di luar batas kemanusiaan,” terang Hendri sembari membacakan buku sejarah singkat tentang para pejuang di Kota Batu dan sekitarnya.
Tidak hanya di Kota Batu, Abbul Gani pernah bergerilya di daerah Pujon di bawah komando Mulyo Santoso. Dalam perjalanan sempat dicegah oleh rekannya lain agar tidak berangkat dulu. Karena waktu itu hari Jumat, yang menurut mereka hari tersebut kurang baik dan kurang tepat untuk bertindak.
“Tapi yang namanya Abdul Gani memiliki semangat yang tinggi dan bertekad bulat. Bahkan setiap mau bertindak Abdul Gani mengumandangkan takbir tiga kali,” ucapnya.
Tidak sendiri, Abdul Gani berangkat ke Pujon bersama 13 orang temannya sudah tidak sabar lagi ingin segera memanggul senjata untuk bergabung dengan pejuang yang lain.
“Tapi Tuhan menghendaki lain. Ia harus berpisah dengan suaminya. Karena beberapa hari kemudian Bu Sukin mendapat kabar suaminya dibunuh tentara Belanda. Sedangkan rekan-rekan lainnya berhasil menyelamatkan diri,” cerita Handri.
Jenazah Abdul Gani dimakamkan di pemakaman umum di Ngaglik. Saat ini sudah disemayamkan di TMP Batu. Nama Abdul Gani kini diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Ngaglik.
Berbeda dengan Mayor Abdul Manan. Yang saat ini nama tersebut dijadikan nama jalan Brigjen Abdul Manan di Pandesari, Pujon. Dari buku dan cerita para veteran yang masih hidup, sejarah Mayor Abdul Manan dimulai pada 5 Oktober 1945. Ketika itu Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pemerintah. Maklumat pendek terdiri tiga baris itu berisi pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Saat maklumat penting itu dikeluarkan, lanjut veteran yang pernah diberangkatkan ke Timor Timur ini bahwa saat itu Abdul Manan sudah tergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA). Abdul Manan menjadi komandan kompi V di Divisi I Suropati. Mayor Abdul Manan juga menjabat sebagai Komandan Sektor II Malang Barat di daerah Pujon, Kabupaten Malang.
“Sebagai komandan, Abdul Manan bukan hanya disegani oleh anggotanya. Tetapi juga ditakuti Belanda yang pada 1947-1949 melakukan aksi agresi militer di Batu dan wilayah sekitarnya,” ungkapnya.
Diketahui Mayor Abdul Manan pada 1945 bersama keluarganya tinggal di Sombro Inn dan detasemen markas di Jambe Dawe yang saat ini merupakan El Hotel Kartika Wijaya. Ketika pasukan Belanda hendak merebut Batu, akhirnya dilakukan gerakan bumi hangus dengan menghancurkan gedung-gedung dan bangunan agar tidak ditempati musuh.
Dengan kedatangan Belanda tersebut, komandan pasukan Malang – Barat yang pernah menjadi guru ini bergerilya di wilayah Pujon. Mayor Abdul Manan juga bertugas menjaga status quo di Pandesari.
“Namun ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan secara provokatif oleh patroli Belanda. Mayor Abdul Manan juga bertindak tegas dengan melakukan perlawanan,” terangnya.
Setelah penyerahan kedaulatan ke pangkuan negara RI, karir militer Mayor Abdul Manan terus meningkat. Bahkan pernah menjadi Ketua Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Jawa Timur pada 1959-1963, pembantu Menteri Agama pada 1963-1966, Sekretaris Jenderal Departemen Agama pada 1969-1969.
Serta bertugas di Markas Besar TNI Angkatan Darat sebagai sekretaris pribadi Pangad /Sospol pada 1969-1970 dan sebagai pembantu Menteri Kesra dan anggota Dewan Hankamnas.
Brigadir Jenderal Purnawiran – Abdul Manan meninggal dunia pada 9 Agustus 1983. Dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Sisir, Batu. (eri/van)