MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU – Tiga desa di Kota Batu terbelit konflik tenurial (berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dan lahan serta sumberdaya alam lainnya.red). Diantaranya Desa Tulungrejo, Desa Sumbergondo dan Desa Sumberbrantas.
Tiga desa tersebut terbelit konflik tenurial lantaran wilayah mereka bersinggungan langsung dengan hutan. Selain itu sekian lama warga menempati lahan hutan yang diklaim milik penguasaan Perhutani.
Contohnya di Dusun Lemah Putih, Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji ada 300 warga menempati lahan kawasan hutan seluas 9,79 hektar. Mereka memanfaatkan lahan yang diklaim milik Perhutani itu, untuk pertanian maupun permukiman.
Permohonan telah diajukan warga sejak 2001 lalu. Namun belum ada titik temu antara warga dan Perhutani yang mengklaim lahan itu merupakan kawasan hutan penyangga. Sehingga pada 2018 lalu, sulit ditindaklanjuti sebagai tanah objek reformasi agraria (TORA).
“Permasalahan konflik agraria di kawasan hutan ada mekanisme untuk penyelesaiannya. Yakni butuh rekomendasi dari Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Karena nanti rekomendasi dari tim tersebut akan dijadikan dasar penerbitan sertifikat tanah oleh BPN,” ujar Kepala BPN Kota Batu, Haris Suharto kepada Malang Posco Media.
Contoh konflik agraria juga terjadi di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji. Salah satunya konflik agraria di Dusun Junggo di lahan seluas 126,61 hektar difungsikan sebagai areal pertanian oleh 309 warga. Pihak Perhutani mengklaim, bahwa lahan itu masuk kawasan hutan hasil tukar guling dengan AURI di Desa Dengkol, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Dari permasalahan itu reforma agraria ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan. Regulasi Perpres nomor 86 tahun 2018 menjadi instrumen untuk merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah lebih berkeadilan. Melalui penataan aset dan akses menuju kemakmuran rakyat.
Dalam regulasi tersebut memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Pembentukan GTRA Kota Batu ditetapkan pada Keputusan Wali Kota Batu nomor 188.45/79/KEP/422.012/2022. Tim ini berperan untuk menuntaskan konflik tenurial di kawasan hutan.
“Dengan adanya Tim Gugus Tugas kami berharap permasalahan ini teratasi seperti di Dusun Kekep, Desa Tulungrejo. Yang mana 112 KK di kawasan hutan mendapat redistribusi sertifikat,” imbuh Haris.
Diketahui bahwa percepatan konflik agraria di kawasan hutan juga masuk dalam UU nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Dimana lahan pertanian hingga fasos-fasum permukiman yang terlanjur berada di kawasan hutan akan ditata sesuai prinsip tata kelola kehutanan. Hal tersebut sejalan dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan (PPTPKH).
Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Yogyakarta juga menyajikan data bahwa usulan indikatif PPTPKH di Kota Batu seluas 281,95 hektar. Luasan tersebut ditujukan untuk fasos-fasum permukiman dan lahan garapan.
Untuk rinciannya di hutan konservasi untuk fasus-fasos permukiman seluas 2,63 hektar dan lahan garapan seluas 49,84 hektar. Selanjutnya, fasos-fasum permukiman di hutan lindung seluas 9,79 hektar dan lahan garapan seluas 0,45 hektar. Pada hutan produksi untuk fasos-fasum permukiman seluas 43,67 hektar dan lahan garapan seluas 175,57 hektar.
“Karena itu kami meminta Pemda serius menginventarisir fasos-fasum permukiman dan lahan pertanian di dalam kawasan hutan,” ujar Kepala BPKH Wilayah XI Yogyakarta, Suhendro A Basori saat menghadiri rakor penyelenggaraan reforma agraria di Kota Batu.
Lebih lanjut, Ia menerangkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk dikonversi menjadi permukiman maupun lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan ruang bisa saja. Namun untuk mendapatkan sertifikat penguasaan tanah harus melalui kajian Tim Terpadu KLHK yang dipimpin LIPI
“Contohnya hutan konservasi arahnya untuk konsep kemitraan masyarakat. Hutan lindung bisa diterbitkan sertifikat, tapi jika dinilai rawan, maka tetap dijadikan kawasan hutan. Masyarakat hanya bisa menempati saja,” pungkasnya. (eri)