MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Salah satu fenomena yang banyak ditemui di media sosial saat ini adalah konten-konten cross-dresser. Cukup banyak dijumpai, konten kreator cross-dresser memiliki banyak followers atau pengikut. Bahkan banyak konten kreator laki-laki yang memiliki ciri khas memainkan karakter ‘Emak-emak’ dalam media sosialnya.
Berangkat dari fenomena tersebut, tiga mahasiswa dan satu dosen pembimbing dari Program Studi Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Universitas Insan Budi Utomo (UIBU) atau yang dulu dikenal dengan IKIP Budi Utomo (IBU) mengangkat sebuah riset sosial dengan judul : Representasi Stereotip Emak-emak pada Konten Media Sosial Cross-dressing.
Tim peneliti terdiri dari Devy Adillia Maharani sebagai ketua, Fani Irma Firnanda, Kawit Puji Rahayu, dan Winin Maulidya Saffanah, S.Pd., M.Si sebagai dosen pembimbing. Riset ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) melalui Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Riset Sosial dan Humaniora (PKM RSH).
“Banyaknya konten-konten unik di media sosial terutama karakter Emak-emak yang diperankan oleh laki-laki membuat kami tertarik menelitinya. Karakter Emak-emak yang digambarkan saat ini seperti julid, rempong, cerewet, suka bergosip, dan mau menang sendiri diperankan dengan unsur komedi menjadi latar belakang kami melakukan penelitian,” ujar Ketua Tim Peneliti Devy Adillia Maharani.
Menurut Devy, stigma masyarakat terhadap karakter Ibu-ibu atau yang biasa disebut Emak-emak yang banyak tergambarkan pada tayangan video di Youtube, reels di Instagram, TikTok, maupun Facebook dapat memperkuat stigma karakter perempuan dewasa. Fenomena berperan sebagai crossdresser yang kini sering dijumpai saat ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu di Indonesia dengan nama kesenian Ludruk dan sebuah kebudayaan Yunani Kuno. Budaya ini kemudian terus berkembang di masyarakat dengan mengikuti perkembangan zaman.
“Stigma perempuan dewasa atau Emak-emak saat ini semakin diperkuat melalui konten-konten di media sosial dan tak jarang karena stigma tersebut perempuan juga mendapatkan pandangan negatif. Oleh sebab itu kami ingin meneliti lebih lanjut bagaimana masyarakat melihat konten tersebut apakah menjadi hal yang biasa atau memiliki sisi yang lain,” kata Winin Maulidya Saffanah, S.Pd., M.Si, dosen pembimbing.
Dari hasil penelitian ini, pada pertanyaan yang diberikan penulis kepada 100 responden, 47 persen responden menyukai konten emak-emak dengan alasan karakternya yang rempong sedangkan 39 persen dengan alasan emak-emak julid. Sementara sisanya memiliki alasan lain. Meskipun demikian, 50 persen responden menganggap bahwa konten yang memerankan peran emak-emak merupakan sebuah diskriminasi terhadap perempuan di era perkembangan teknologi saat ini. “Data menyebutkan bahwa dengan adanya pelaku crossdressing, maka citra perempuan di masyarakat seakan-akan negatif,” kata Devy. (sir/imm)