Kata “tolol” seolah menjadi bagian dari kamus harian dan kerap terdengar dalam komunikasi sehari-hari, terutama di media sosial. Namun, seiring dengan popularitasnya, kata “tolol” juga memiliki makna tersembunyi yang perlu dimaklumi.
Kata “tolol” umumnya digunakan untuk menyatakan ketidaktahuan atau kebodohan seseorang dalam konteks tertentu. Pemakaian kata “tolol” telah meluas dan mengalami pergeseran makna yang mengundang perhatian banyak orang.
Belakangan kata “tolol” sering digunakan dalam konteks guyon atau sindiran ringan antar teman. Banyak pengguna media sosial yang menggunakan kata ini untuk menyindir tindakan konyol seseorang tanpa bermaksud buruk. Dalam konteks itulah yang bersangkutan ingin mencairkan suasana dan menghadirkan tawa.
Adalah Nasruddin Hoja, yang juga dikenal sebagai Mullah Nasruddin, menjadi salah satu tokoh “tolol” dalam kisah anekdot sufi dan cerita rakyat Timur Tengah. Namun demikian, kisah tentang Nasruddin menguar nilai-nilai kebijaksanaan yang dibalut dengan kekonyolan dan kejenakaan.
Tolol yang Bijak
Sebagaimana terekam dalam buku “Shalat Jumat di Hari Kamis: 101 Kisah Jenaka Nasruddin Hoja” karya Muhibin (2012:40-41), sosok Nasruddin dikisahkan semasa masih remaja, ia terkenal sebagai orang yang unik dan suka melawan arus. Contoh gampangnya, ketika orang menasihati Nasruddin agar ke kiri, maka ia justru akan melangkah ke kanan.
Keluarganya pun hafal betul dengan karakter Nasruddin yang unik itu, sehingga mereka mencari cara agar setiap nasihat yang mereka katakan bisa dilakukannya seperti yang mereka inginkan. Akhirnya, mereka sering memberikan nasihat atau perintah yang berkebalikan.
Suatu hari, Nasruddin pergi bersama ayahnya dengan membawa seekor keledai yang dimuati beberapa karung tepung untuk dijual ke pasar. Perjalanan menuju ke pasar itu harus melewati sebuah sungai yang tak terlalu dalam.
Ketika mereka tengah menyeberang di sungai itu bersama keledai mereka, sebuah karung tampak merosot ke bawah. Ayah Nasruddin yang melihat itu segera berteriak memerintahkan kepada Nasruddin agar secepatnya menarik karung yang merosot itu. Tentu saja, ayah Nasruddin memerintah dengan caranya yang khas, “Nasruddin, cepat turunkan karung tepung itu agar masuk ke air!” ujarnya.
Tanpa diduga bukannya melakukan yang berkebalikan dengan perintah itu, Nasruddin justru melakukan tepat seperti yang diperintahkan oleh ayahnya. Dia menekan karung yang telah merosot itu ke bawah hingga akhirnya jatuh dan tenggelam di dalam air. Seketika tepung di dalamnya pun segera ludes oleh arus sungai yang deras.
Melihat itu, ayah Nasruddin pun naik pitam, “Woy Nasruddin, bagaimana kau ini!” teriaknya dengan marah. “Biasanya kau kan selalu bertingkah berlawanan dengan yang dikatakan orang?!”
“Iya ayah,” jawab Nasruddin dengan entengnya. “Tetapi kali ini aku mematuhi perintahmu dan mengerjakan nasihatmu hanya untuk membuktikan betapa tololnya perintah dan nasihatmu,” kata Nasruddin.
Kendati Nasruddin kadang dianggap menjengkelkan, tetapi ia juga dianggap orang yang serba tahu dan karenanya sering ditanya oleh banyak orang. Pertanyaan itu adakalanya sungguh-sungguh ditanyakan sebab mereka menganggap Nasruddin orang berilmu, dan terkadang juga ditanyakan sekadar menguji saja karena jengah dengan Nasruddin yang sok tahu. Tidak jarang pula Nasruddin dicecar berbagai pertanyaan seperti pesakitan.
Untuk jenis pertanyaan terakhir, Nasruddin suka menjawab seenaknya, dan makin melekatlah “ketololan” Nasruddin bagi mereka yang benar-benar sok tahu ini. Suatu hari, tetangganya bertanya pada Nasruddin. “Nasruddin, menurutmu, siapakah yang lebih utama, orang yang berjalan di depan jenazah atau di belakangnya?” Nasruddin tidak ambil pusing dan menjawabnya, “Janganlah kau ikut mengantarkan jenazah dan berjalanlah sesukamu!”
Kali lain ia ditanya, “Jika sedang berada di tepi sungai, lalu seseorang tergoda untuk mandi di sungai itu, ke manakah ia sebaiknya menghadap ketika berada di dalam sungai; ke arah kiblat, membelakanginya, atau bagaimana?” Jawab Nasruddin, “Ia sebaiknya menghadap ke arah mana pakaiannya diletakkan.”
Nasruddin begitu populer di kalangan penikmat literatur Islam, namun tak sedikit pula yang membayangkan bahwa Nasruddin Hoja adalah tokoh fiktif belaka. Faktanya, kisah-kisah yang sampai di telinga kita, orang Indonesia, hanyalah cerita-cerita lucunya.
Pada suatu hari, seorang raja bertanya bagaimana Nasruddin mengajari keledai membaca. Nasruddin bercerita, ia biasanya menghadapkan keledai dengan lembaran besar yang mirip buku, dan ia sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Akhirnya keledai terbiasa membalikkan lembaran-lembaran tersebut, demi mendapatkan biji gandum untuk dimakan.
Sang raja protes mendengar jawaban Nasruddin, berarti keledai itu tidak bisa membaca. “Memang demikian cara keledai membaca, Tuan Raja. Hanya membalik-balik halaman buku, tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka buku-buku tanpa mengerti isinya, bukankah kita (bisa) disebut setolol keledai?Raja pun mengangguk dan tertawa mendengar jawaban “tolol” Nasruddin Hoja.
Cerita-cerita di atas adalah salah satu cara bijak Nasruddin dalam memberi petuah. Ia tak terkesan buru-buru dan ia menunggu momen yang tepat agar petuahnya bisa diterima dan dipahami. Metodenya juga jauh dari menggurui. Ia mengajak berpikir dan mengajak menemukan serta merasakan kebenaran bersama.
Metode Nasruddin yang begitu rileks dalam memberi petuah, mengingatkan kepada Al-Ghazali yang dalam upaya memperingatkan kemungkaran hendaknya dilakukan dengan cara yang halus dengan harapan dapat diterima oleh semua pihak. Bukankah nasihat yang disampaikan dengan cara yang tidak tepat, selain tidak diterima, justru memicu permusuhan?
Tolol Betulan
Dalam hidup keseharian, kita terkadang bertemu dengan orang-orang yang memang tolol betulan. Ciri-ciri orang tolol betulan umumnya menganggap dirinya paling cerdas. Anehnya, orang tolol model begini justru suka menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri, merasa dirinya paling benar, cenderung mengabaikan parasaan orang lain, dan merasa lebih baik dari lainnya.
Berhadapan dengan orang-orang tolol betulan sangat boleh jadi menyebalkan dan sayangnya kita tidak bisa melakukan apapun untuk menghadapi mereka. Sebagai makhluk sosial, adakalanya kita terpaksa hidup berdampingan dengan orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda.
Menghadapi orang-orang tolol betulan tentu menuntut kesabaran tingkat dewa karena tak jarang mereka membuat sesuatu di luar nalar dan nilai kebijaksanaan, sehingga memancing emosi. Tersebab oleh ketidaktahuan akan sesuatu yang benar dan salah, orang-orang tolol betulan kerap terlihat tidak tahu malu melakukan sesuatu di luar norma bahkan di luar ajaran agama sekalipun.
Itu sebabnya, ulama sekelas Imam Syafi’i dengan segala kecerdasannya dapat dikalahkan oleh orang tolol betulan dalam berdebat. Tentu saja, hal itu bukan karena ilmunya orang tolol memenangkan perdebatan, namun karena ketololan mereka tentunya. Kata beliau, “Setiap aku berdebat dengan orang berilmu aku selalu menang, namun setiap kali aku berdebat dengan orang tolol aku selalu kalah.”
Bagaimanapun, penting untuk diingat bahwa penggunaan kata “tolol” kepada siapa pun tetap memiliki potensi untuk menyinggung perasaan orang lain. Meskipun dimaksudkan sebagai lelucon atau sindiran ringan, kata tersebut dapat melukai hati orang yang menjadi sasaran.
Penting kiranya bagi pengguna kata “tolol” untuk mengingat sensitivitas orang lain dan memastikan bahwa tidak ada niat jahat atau penghinaan dalam penggunaannya. Mengutip penulis Amerika Serikat J.D. Salinger (1919-2010), “Semua orang tolol tidak suka ketika Anda menyebutnya mereka tolol.”
Sementara ketololan model Nasruddin Hoja yang selalu menyelipkan nilai-nilai kebijaksanaan di dalamnya, merupakan sebuah refleksi yang mampu menawar dan mewarnai kehidupan. Kehidupan ini sudah penuh sesak dengan berbagai persoalan, mulai dari lingkup terkecil di dalam diri, keluarga, hingga skala yang lebih luas.
Perilaku “tolol” yang diselingi dengan sikap jenaka ala Nasruddin Hoja malah perlu dihadirkan sebagai obat penawar atas segala silang sengkarut kehidupan. Canda dan derai tawa yang lahir dari kejenakaan orang-orang “tolol” akan menjadi pangkal keceriaan dan kebijaksanaan.
Ketololan yang dikemas dalam cerita-certia konyol dapat pula diartikan sebagai penangkal atas kekeliruan lelaku sebagian orang tolol betulan, lalu diolah menjadi humor satir yang segar. Bagi orang yang tersindir, humor-humor semacam itu bisa dijadikan penuntun kebijaksanaan agar kembali ke jalan yang benar.(*)
-Advertisement-.