spot_img
Wednesday, February 5, 2025
spot_img

Tomi Adi Winarko Perajin  Kampung Rejoso; Rangkul Akamsi Berkarya Sekaligus Lestarikan Ciri Khas Kampung

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Memberdayakan anak kampung sekaligus melestarikan citra kampung kerajinan. Itu yang dilakukan Tomi Adi Winarko di  Dusun Rejoso Junrejo Kota Batu.

Suatu siang, dua orang sibuk bekerja. Satunya mengukir kayu sepanjang sekitar 1 meter. Ukiran kayu tersebut belum sempurna. Tapi sudah berbentuk. Satunya, yang lebih muda tengah memahat ringan.

-Advertisement-

Begitulah suasana di sebuah rumah di Jalan Trunojoyo Dusun Rejoso Desa/Kecamatan Junrejo Kota Batu. Tergeletak limbah kayu, bata ringan dan peralatan tukang.  

Rido Ikank salah satu dari dua orang yang sedang beraktivitas di rumah itu. Ia sedang fokus memahat bata ringan.  Usianya 15 tahun.  Tanpa mengenakan kaos, Rido berkonsentrasi memahat bata ringan warna putih tulang.

Dia warga Dusun Rejoso. Sudah hampir setahun belajar  memahat dengan tata dan palu (peralatan tukang). Itu bagian dari cara belajar  di salah satu pemilik Handycraft Kampung Rejoso.

Rido mengaku sebelumnya tidak bisa apa-apa. Tak  punya keahlian. Kemudian diajari Tomi Adi Winarko pemilik Handycraft bernama Mosstone Garden.

“Saya diterima dan diajari kak Tomi belajar mengukir,” ujar Rido kepada Malang Posco Media.

Ia  belajar mengukir untuk mengisi waktu luang selesai pulang sekolah. Tujuannya agar waktu yang ada diisi dengan kegiatan yang produktif.

Hampir setahun belajar di Mosstone Garden, Rido telah membuat pot dan kerajinan tangan lainnya. Tidak hanya itu ketika ada banyak pesanan datang, dia juga kecipratan hasil jerih payah tersebut.

Tomi menggeluti usaha kerajinannya itu juga belum lama. Mulai tahun 2010 setelah lulus kuliah.  “Memang basic saya di interior dan desain. Kemudian saya aplikasikan dalam bentuk properti atau produk yang bisa ditempatkan di interior atau eksterior atau handycraft,” ujar Tomi.

Selama kuliah, ia juga nyambi mengajar di Taman Dewasa mulai 2008-2014. Karena jenuh dan ingin fokus usaha kerajinan tangan, Tomi memilih keluar.

“Karena memang passion saya di seni seperti jurusan kuliah S1 Seni Rupa UM akhirnya memilih untuk menekuni usaha sendiri di rumah,” ungkapnya.

Apalagi ia makin yakin membuka usaha sendiri ketika bertemu seorang sesepuh di Dusun Rejoso. Namanya Pak Raden. Diceritakannya kampung Rejoso merupakan kampung kerajinan secara turun menurun dan bertahan sejak sampai saat ini.

“Dari bertemu Pak Raden saya menggali banyak sejarah kampung Rejoso. Memang benar, hampir mayoritas di sini  menekuni usaha kerajinan tangan dan mampu bertahan dan hidup dari kerajinan yang digarap di rumah sendiri,” terangnya.

Tak hanya fokus pada peluang kerajinantangan. Pria kelahiran Pasuruan  6 September 1985 ini menerangkan keinginan membuka usaha karena ingin membuka lapangan pekerjaan.

“Usaha handicraft yang saya buka karena juga ingin membuka lapangan pekerjaan atau pemberdayaan. Terutama bagi akamsi (anak kampung sini) yang masih muda-muda di Dusun Rejoso agar ke depannya kampung kerajinan ini tetap bertahan hidup,” ungkapnya.

Selama 13 tahun membuka usaha kerajinan, sejumlah anak muda diberdayakannya. Usia mereka rata-rata 17 tahun. Latar belakangnya pun berbeda. Bahkan ada yang putus sekolah.

Mereka umumnya  belajar kerajinan  mulai dari nol.

Bahkan Tomi juga menyerahkan pekerjaan kerajinan pesanan luar negeri  kepada anak-anak yang dibinanya.   “Saya tahu mereka sangat minim pengalaman. Tapi dengan kemauan dan keyakinan mereka, saya yakin pasti bisa. Pesanan ke luar negeri mampu mereka kerjakan dengan baik,” papar Tomi.

Ia lakukan itu karena ingin ada regenerasi bagi anak-anak muda di kampungnya. “Yang utama saya ingin mencetak calon juragan. Bukan mencetak buruh. Dengan harapan ketika mereka punya rejeki dan menguasai teknik handicraft bisa buka usaha sendiri,” urainya.

Tidak hanya itu, Tomi merangkul anak-anak muda  juga karena ada alasan lain. Yakni pemerintah belum maksimal memfasilitasi generasi muda. Terutama anak muda yang tidak melanjutkan pendidikan.

“Harusnya peran pemerintah bisa memfasilitasi anak-anak yang putus sekolah. Dengan begitu mereka yang tidak melanjutkan sekolah bisa  bertahan hidup dengan membuka usaha dari kemampuan yang dimiliki,” ungkapnya.

Sementara untuk produk handycraft yang digarapnya beragam. Mulai dari wooden lamp, miniatur tebing, pot, patung, hingga lukisan 3D water colour.

Setiap karya yang produksi buatan tangan.  mereka juga mengerjakan konsep play ground Kids Soho di Bali milik WNA asal London.

Dari hasil karya kerajinan tangan miliknya pasar yang disasar tak hanya domestik. Tapi juga mancanegara seperti Swiss, Portugal, hingga Guadeloupe Pulau Karibia Prancis.

Per bulannya ia mampu mencetak sekitar 50 karya. Dengan setiap karya dijual mulai harga Rp 15 ribu seperti pot gerabah hingga Rp 8 juta untuk pilar dengan hiasan patung di atasnya. (eri/van)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img