Tone deaf itu awalnya istilah dalam dunia musik yang berarti “tuli nada.” Dalam konteks musik berarti ketidakmampuan seseorang untuk membedakan nada dan menyelaraskan suara dengan benar. Jadilah orang bernyanyi namun suaranya sumbang atau fals. Tone deaf juga dapat digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak peka pada perasaan dan situasi sosial orang lain. Tone deaf hampir mirip dengan perasaan tak berempati (nirempati).
Frase tone deaf kiranya tepat untuk mengilustrasikan sikap sejumlah politisi, wakil rakyat, dan pejabat publik yang tak peka pada kesulitan rakyat. Demonstrasi dan amuk massa yang terjadi beberapa waktu lalu bisa jadi karena sikap beberapa wakil rakyat yang tone deaf. Mereka pamer kekayaan di saat rakyat mengalami kesulitan ekonomi. Para wakil rakyat yang mestinya memperjuangkan nasib rakyatnya justru tampil berfoya-foya saat rakyat susah.
Istilah tone deaf juga tepat kiranya digunakan untuk mengilustrasikan peristiwa demonstrasi besar yang berakhir sangat rusuh yang terjadi di Nepal. Banyak Generasi Z di Nepal yang tersulut kemarahannya karena aksi sejumlah anak pejabat yang suka pamer kemewahan di media sosial (medsos). Di antara mereka tak mau peduli pada rakyat kebanyakan di Nepal yang hidup dalam kekurangan.
Tak gampang memang menjadi orang berada di posisi di atas yang serba kecukupan. Namun, situasinya lebih sulit lagi pada posisi orang yang tak berkecukupan. Untuk itu, yang di atas tak boleh lupa diri dan tak mau peduli sama yang di bawah. Aksi pamer (flexing) sejumlah pejabat publik dan keluarganya yang terjadi di sejumlah tempat terbukti dapat melukai hati dan perasaan rakyat. Aksi pamer kekayaan itu bisa jadi bahan bakar kemarahan kolektif.
Komunikasi ‘Tone Deaf’ Pejabat
Seringkali kita dengar komunikasi publik sejumlah pejabat yang tak peka situasi. Sebut saja sebagai contoh, pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru, Purbaya yang menyatakan bahwa tuntutan 17+8 bukanlah representasi keseluruhan masyarakat. Menurutnya aspirasi tersebut datang dari sejumlah kecil orang yang merasa belum puas dengan kondisi ekonomi saat ini. Pernyataan yang bernada mengecilkan tuntunan masyarakat ini memicu kemarahan publik.
Pernyataan pejabat yang mengaku bergaya koboi ini jelas kurang berhati-hati dan tak peka situasi. Pernyataan pejabat yang belum seminggu menjabat Menkeu ini pun viral dan memicu kemarahan. Komunikasi publik pejabat negara tak bisa bergaya koboian. Alih-alih menunjukkan empati masyarakat pengusung tuntutan yang ada justru seperti mengecilkan tuntutan rakyat itu. Komunikasi nirempati Menkeu yang baru ini bisa jadi blunder.
Para pejabat publik sudah semestinya belajar bagaimana merespons publik dengan lebih baik dan empatik, terutama di saat krisis. Mereka tak bisa sembrono dengan mengumbar aneka pernyataan yang bernada sumbang. Karena perilaku para pejabat publik akan selalu jadi sorotan banyak pihak. Apa yang akan disampaikan oleh seorang pejabat publik perlu dipikirkan dengan matang dampaknya.
Sikap tone deaf bisa jadi indikator keretakan hubungan emosional dan psikologis antara pejabat dan rakyatnya. Salah satu aspek penting dalam komunikasi pejabat publik yang efektif, khususnya di tengah krisis, adalah kemampuan untuk memahami konteks sosial, budaya, dan kebutuhan spesifik dari khalayaknya. Pejabat yang tone deaf tak sekadar kesalahan dalam menyampaikan informasi.
Pejabat yang komunikasinya tone deaf sejatinya telah gagal secara sistematis dalam mendengarkan suara masyarakat dan meresponnya dengan cara yang bijak. Sebenarnya dalam komunikasi publik tak hanya dituntut informatif, tetapi juga harus mampu menangkap dan merespons realitas psikologis masyarakat. Empati jadi salah satu nilai fundamental dalam komunikasi pejabat publik.
“Wisata” Kemiskinan
Sepertinya para pejabat publik, politisi, dan wakil rakyat perlu sering-sering bertemu dengan masyarakat bawah. Para pejabat publik yang tajir tersebut perlu sering-sering “wisata” kemiskinan. Mereka perlu sering melihat, bertemu, dan merasakan apa yang dialami oleh masyarakat miskin. Dengan begitu diharapkan akan tumbuh empati pada keadaan masyarakat yang diwakilinya.
Seperti halnya puasa Ramadan yang dilakukan oleh kaum Muslim. Puasa dengan tidak makan dan minum dari terbit fajar hingga waktu Magrib dilakukan salah satunya demi merasakan apa yang dialami fakir miskin. Dengan mengalami seperti yang dialami para fakir miskin maka bagi mereka yang berkecukupan bahkan berkelebihan bisa berempati dan mampu merasakan penderitaan kaum papa.
Tristia Riskawati dalam tulisannya di Kompas mengutip sebuah riset dari Lomoriello dkk (2023) menunjukkan bahwa semakin jauh jarak fisik antar individu, semakin sulit pula empati tumbuh. Jika ditarik pada konteks sosial, kehidupan mewah yang jarang bersinggungan dengan lapisan terbawah menciptakan apa yang disebut sebagai privilege bubble. Privilege bubble ini membuat seseorang hanya berinteraksi dengan kalangan serupa sehingga respons empati perlahan tumpul (Kompas, 4/9/2025). Pejabat publik yang tone deaf dapat merusak citra dirinya dan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Ketidakpekaan terhadap sentimen publik dapat mengalienasi masyarakat mengurangi dukungan dan memicu kritik luas. Penting bagi para pemimpin publik memiliki kepekaan sosial dan emosional yang baik agar dapat memahami situasi dengan benar dan meresponsnya dengan cara yang empatik.(*)