YOGYAKARTA, SLEMAN – Merapi lagi erupsi. Hampir setiap hari. Meskipun intensitasnya tidak begitu tinggi. Status siaga atau level III. Namun kondisi tersebut tak membuat saya surut langkah untuk kembali menjelajah lereng gunung yang berada di Kecamatan Sleman Yogyakarta tersebut. Pas Hari Libur Imlek.
Seperti biasa, saya bersama istri tercinta, Dany Ika Nurhayati. Tapi kami tidak berdua saja. Kali ini tour Merapi bersama ayahanda dan ibunda kami, Sudarto dan Kartini. Juga turut serta adik kami, Dany Tri Wulandari. Dan juga sang buah hati, Kirana Bintan Azkiya dan Annesa Qori Tanzila. Kami bertujuh mendekat ke Merapi yang sebenarnya sedang ‘kurang enak badan’.
Perjalanan kami ditemani tim dari Museum Gunung Merapi (MGM). Menyewa dua mobil Jeep. Setiap mobil bisa diisi empat sampai lima orang.
Tujuan pertama, ke spot wisata Bunker Kaliadem. Letaknya, sekitar 4 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sayangnya, dari spot ini si Merapi tak menampakkan wajah. Tertutup awan tebal.
Hujan menemani perjalanan wisata kami. Dari sejak berangkat pukul 06.00 WIB, cuaca Yogyakarta memang sudah mendung. Merapi tidak tampak sama sekali. Semakin ke atas semakin gelap. Kabut juga menghalangi jarak pandang.
Empat kilometer sebelum sampai Pos MGM, hujan pun turun. Lumayan lebat. Kami mampir di sebuah minimarket. Dengan harapan menyediakan mantel. Ternyata, kehabisan. Diborong oleh para wisatawan sebelumnya.
Sempat sedih. Tapi tidak ada alasan untuk itu. Karena sesungguhnya itu anugerah. Apapun kondisinya. Jangankan hujan, badai pun itu ketentuan dari Yang Punya Hak akan kehidupan semesta ini.
Spot pertama di Bunker Kaliadem, hujannya sedikit reda. Menjadi rintik-rintik. Tapi kami tetap putuskan untuk membeli mantel. Alhamdulillah di warung sekitar spot wisata menyediakan banyak. Warung-warung ini juga menyediakan aneka pernak pernik khas daerah setempat. Untuk jadi oleh-oleh wisatawan. Juga menyediakan aneka makanan dan minuman.
Berhari-hari sebelumnya, cuaca di Yogyakarta cerah. Bahkan cenderung panas. Hanya pas kami berwisata, mendung dan hujan. “Biasanya kalau libur Imlek memang begitu,” ucap Riyanto, salah satu tour guide sambil bercanda.
Ternyata berwisata alam dalam kondisi hujan ada rasa yang berbeda. Apalagi di pegunungan. Para wisatawan lain juga tampak semangat meskipun dengan menggunakan mantel. Mereka antusias melihat setiap sudut Bunker Kaliadem yang punya cerita begitu memilukan tersebut.
Peristiwa 13 tahun silam, kembali mengingatkan para wisatawan. Melalui cerita para tour guide, mereka membayangkan cerita pilu dua relawan yang terjebak di dalam bunker saat mengevakuasi warga.
Niat untuk melindungi diri dari hantaman awan panas justru membuat mereka terpanggang. Karena yang datang saat itu bukan awan panas. Tapi lahar panas. Lahar itu memasuki bunker yang membuat dua relawan yang berlindung di dalamnya meninggal.
Selain lahar juga ada batu besar muntahan merapi. Batu besar itu juga masuk bunker. Dan hingga kini batu itu masih berada di tempat. Menjadi saksi akan keganasan merapi sekaligus menjadi tersangka akan dua nyawa yang hilang di dalam bunker. “Satu meninggal terpanggang, satu lagi melepuh di bak mandi. Karena berharap bisa mendinginkan badan dengan berendam di air, tapi justru airnya mendidih karena lahar panas” ucap Riyanto.
Oke lanjut ke spot lain. Kita tinggalkan sejenak cerita sedih di balik peristiwa erupsi merapi. Selanjutnya kita menuju ke spot Batu Alien. Turun sekitar dua kilometer dari Bunker Kaliadem. Batu Alien, berasal dari kata Batu Alihan. Di spot ini ada seonggok batu besar. Alihan atau pindahan dari kawah Gunung Merapi.
Batu berton-ton itu terlempar dari perut Merapi karena letusan yang dahsyat. Jatuhkan di tempat itu. Di salah satu sudutnya menyerupai wajah manusia. Ada hidung, mulut dan mata. Maka penduduk setempat menyebut mirip alien. Alihan akhirnya menjadi alien.
Ada beberapa spot foto menarik disini. Seperti perahu layar, telapak tangan, dan lain-lain. Wisatawan juga ambil spot foto bersama Burung Hantu. Bayar seikhlasnya saja.
Di tempat ini, suasana hati kami berubah. Hujan berhenti. Dalam waktu yang cukup singkat, awan berpindah. Digerakkan oleh Yang Maha Mengatur setiap pergerakan di bumi ini. Awan pun tersingkap. Gunung Merapi menampakkan dirinya. Tampak gagah dan menakutkan. Karena gunung ini berbeda dari kebanyakan gunung pada umumnya.
Pucuknya kroak tak beraturan. Memberikan kesan yang menyeramkan. Itulah merapi. Dengan wajahnya yang menakutkan tapi memiliki pesona tersendiri. Penampakan Merapi dengan cuaca yang mulai cerah membuat perasaan kami menjadi lebih senang.
Dan satu hal yang perlu diketahui, dalam kondisi cerahpun Gunung Merapi belum tentu terlihat. Karena seringkali gunung ini tertutup oleh awan putih. Maka merapi terlihat dalam kondisi cuaca yang redup itu sebuah anugerah. Hadiah istimewa dari Sang Empunya Alam. Untuk kami yang datang jauh-jauh dari Malang. Dan tentu juga untuk wisatawan yang lain.
Apalagi tepat saat itu, kami melihat secara langsung gunung ini erupsi. Terlihat asap membumbung ke atas. Makin lama makin membesar.
Tetapi kondisi itu masih dalam kategori aman. Angin juga berhembus tidak ke arah wisatawan. Sehingga asap dan debu vulkanik ke arah yang lain. “Tenang saja, ini masih dalam kondisi aman, memang saat ini merapi sering erupsi seperti itu,” ujar Riyanto mencoba menenangkan kami yang sempat panik.
Tidak berselang lama, merapi kembali tertutup awan. Hujan kembali rintik-rintik. Kami pun turun. Menuju spot berikutnya. Apakah itu? Museum Mini Sisa Hartaku.
Lokasi Museum Sisa Hartaku terletak di Dusun Kepung Desa Kepuharjo, Cangkringan Sleman, Yogyakarta. Lokasi museum ini dekat dengan Gunung Merapi atau sekitar 20 kilometer ke arah utara dari Kota Yogyakarta.
Sesuai namanya, di museum ini terdapat sisa-sisa harta benda yang sudah rusak karena hempasan awan panas dan letusan lava Gunung Merapi. Pemiliknya bernama Sriyanto. Dia sendiri selamat dari amarah merapi saat itu. Namun harta bendanya tak sempat diselamatkan.
Rumah, kendaraan, hewan ternak dan perabotan semua kandas. Tinggal serpihan dan kerangka saja. Benda-benda dari kaca, besi dan beling semua meleleh dan kini terlihat sudah berkarat.
Sebuah jam dinding menjadi perhatian mata para pengunjung. Jam itu juga meleleh. Rusak parah. Jarumnya menunjukan pukul 01.20 WIB. Menunjukkan di waktu itu, Gunung Merapi sedang mengamuk dengan ganasnya. Ngeri dan menakutkan.
Dampak letusan yang dahsyat terekam dalam memori wisatawan. Pada hari Selasa 26 Oktober 2010 merapi erupsi, wedhus gembel dan lahar panas yang merah menghabiskan hutan pepohonan yang hijau di kaki gunung. Wedhus gembel melewati rumah penduduk desa asli Kepuharjo dan sekitarnya.
Dari perhitungan pengalaman penduduk sekitar, merapi mengalami erupsi hebat setiap lima tahun sekali. Setelah tahun 2005, gunung ini kembali erupsi hebat di Tahun 2010.
Tidak hanya rumah yang habis terbakar, namun korban jiwa yang meninggal terdapat ratusan dari berbagai kalangan usia. Letusan ini menyisakan pilu yang sangat dalam bagi penduduk kaki gunung merapi. Seluruh Indonesia juga merasakan kesedihan atas bencana alam yang melanda Yogyakarta, khususnya Sleman.
Sejak 2010 hingga saat ini, Merapi belum erupsi hebat lagi. Memasuki Tahun 2024 gunung ini hanya ‘batuk-batuk’ kecil. Karena batuknya itu, Yogyakarta dan sekitarnya sempat beberapa kali bergetar. Entah sampai kapan. Yang jelas ketakutan masyarakat Yogyakarta belum hilang akibat peristiwa yang terjadi 13 tahun silam. Semoga semua diselamatkan. (imm)