.
Wednesday, December 4, 2024

Toxic Productivity

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Diah Budiarti, M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia
SMA Islam Sabilillah Malang

Memang, di usia produktif, alangkah baiknya kita senantiasa menyibukkan diri dengan kegiatan menghasilkan sesuatu. Namun, bagaimana ketika seseorang memiliki pikiran dan perasaan harus terus-menerus produktif tanpa henti dan sering kali melampaui batas kemampuan fisik juga mental?

Meskipun di era modern kita sering kali diajarkan untuk menghargai efisiensi dan pencapaian, pola pikir ini dapat berubah menjadi beban yang merusak kesehatan mental dan emosional. Banyak orang terjebak dalam lingkaran kerja yang berlebihan, merasa bersalah saat beristirahat, dan menilai diri mereka berdasarkan seberapa banyak yang mereka selesaikan.

Ketika produktivitas yang seharusnya bermanfaat justru menekan, maka dampaknya tak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada hubungan sosial dan kualitas hidup. Sebuah obsesi produktivitas yang tidak sehat: toxic productivity.

Toxic productivity juga saling berkaitkan dengan istilah workaholic dan juga hustle culture. Workaholic sendiri merupakan individu yang memiliki kecenderungan untuk bekerja secara berlebihan dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk bekerja. Jika dijalankan tanpa keseimbangan dan perhatian pada kesehatan mental dan fisik, dapat menyebabkan burnout dan dampak negatif lainnya pada kesejahteraan individu.

Beberapa ciri seseorang yang merupakan toxic productivity dalam kehidupannya antara lain ia adalah orang-orang yang ‘’ambis’’ dengan produktivitasnya. Ia akan merasa selalu bersaing, tak kenal lelah, hingga mengabaikan hobi bahkan hubungan sosial. Sosok ini biasanya juga haus validasi. Ketika apa yang telah ia kerjakan ternyata tidak sesuai ekspektasi, dirinya akan merasa tidak pernah puas.

Hal tersebut juga lambat laun akan menyebabkan dirinya burnout. Yakni kelelahan secara fisik dan mental. Tidak hanya berhenti sampai di sini, efek burnout akan menyebabkan penambahan hormon stres kortisol dan adrenalin. Keduanya berperan penting dalam respon tubuh terhadap situasi yang menekan atau berbahaya.

Ketika seseorang menghadapi situasi stres, sistem saraf simpatik tubuhnya aktif dan memicu pelepasan hormon-hormon ini dari kelenjar adrenal. Efek fisiologis hormon stres antara lain meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, peningkatan gula darah, penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi dan mudah mengalami gangguan sistem pencernaan.

Secara psikologis, efek hormon stres bisa menyebabkan depresi, gangguan kualitas tidur dan penurunan fungsi kognitif. Hal ini tentu punya efek jangka panjang yakni risiko penyakit jantung yang merupakan kombinasi dari tekanan darah tinggi, detak jantung cepat, dan peningkatan glukosa darah karena stres berkepanjangan dapat memperbesar risiko penyakit kardiovaskular.

Kortisol dapat meningkatkan nafsu makan, terutama keinginan untuk makanan berkalori tinggi atau “makanan nyaman.” Ini bisa menyebabkan penambahan berat badan, terutama di area perut, yang terkait dengan risiko kesehatan seperti diabetes tipe 2. Skronis mengurangi kepuasan hidup dan kebahagiaan, menyebabkan seseorang merasa lelah, terisolasi, dan kurang produktif.

Dalam mengatasi toxic productivity membutuhkan perubahan pola pikir, batasan yang sehat, dan kebiasaan baru yang mendorong keseimbangan hidup. Bila mulai merasa pekerjaan kita saat ini sudah mengarah pada toxic productivity, langkah-langkah penting yang perlu segera dilakukan untuk menjaga kesehatan.

Pertama, menyadari dan mengakui bahwa diri kita berada pada posisi toxic productivity. Kebanyakan seseorang terjebak dalam pola pikir yang berfokus pada hasil, bukan proses. Mulailah melacak waktu yang kita habiskan untuk bekerja dan bagaimana perasaan kita ketika mengambil waktu istirahat. Ini akan membantu kita mengenali seberapa besar dampak toxic productivity pada keseharian kita.

Kedua, ciptakan rutinitas kerja yang jelas, terutama jika kita bekerja tetapkan waktu mulai dan selesai kerja yang tegas. Ketiga praktikkan mindfulness dan meditasi. Latihan mindfulness dan meditasi dapat membantu melepaskan ketegangan dan fokus pada saat ini tanpa mengkhawatirkan hal-hal yang belum diselesaikan.

Dengan melatih mindfulness, kita akan lebih mudah mengenali ketika Kita mulai merasa lelah atau terlalu terbebani, sehingga bisa mengambil tindakan untuk beristirahat sebelum kelelahan total. Berikutnya, ubah persepsi ini dengan melihat produktivitas sebagai kemajuan yang berkelanjutan, bukan hanya penyelesaian tugas.           Produktivitas yang sehat juga berarti merawat diri, mengambil waktu untuk bersantai, dan melakukan hal-hal yang membuat Kita bahagia. Hal-hal ini pada akhirnya membantu Kita lebih produktif dalam jangka panjang.

Kita juga harus memprioritaskan tugas-tugas yang paling berdampak. Gunakan manajemen waktu untuk membantu lebih fokus pada tugas yang benar-benar penting. Jangan lupa luangkan waktu untuk me time dan family time agar keseimbangan hidup tetap terjaga.

Toxic productivity sering kali berasal dari perasaan bahwa diri kita “belum cukup baik” jika tidak selalu bekerja keras. Mari mencoba bersikap lebih berbelas kasih pada diri sendiri dengan mengakui pencapaian kecil dan berterima kasih pada diri kita atas segala usaha yang telah dilakukan.    Ingatkan diri bahwa tidak apa-apa untuk beristirahat dan bahwa performa kita tidak menentukan nilai diri kita. Jangan ragu memberi ragam perspektif seperti teman, anggota keluarga, atau bahkan terapis. Terapi kognitif-perilaku bisa sangat membantu dalam mengubah pola pikir negatif dan menetapkan batasan yang sehat.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img