MALANG POSCO MEDIA – Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia merdeka. Seluruh jajaran kepolisian, mulai dari kapolri, para perwira tinggi jenderal berbintang, perwira menengah dengan melati di pundak, semua harus menghadap kepada presiden pada saat yang bersamaan.
Bukan hanya itu saja. Mereka semua dilucuti total. Tidak boleh ada ajudan. Harus memakai pakaian dinas lapangan (PDL) polos tanpa memakai topi atau penutup kepala apa pun. Apalagi yang ada tanda bintang atau melati.
Tidak boleh membawa tongkat komando, dan tidak boleh membawa HP maupun alat elektronika lainnya. Yang boleh hanya kertas catatan dan pulpen. Pokoknya para jenderal dan perwira itu dilucuti habis, mirip anak sekolah kena hukuman.
Semua atribut yang selama ini menjadi simbol kekuasaan dilucuti, termasuk mobil pribadi dan voorijder. Semua harus berkumpul jadi satu dan berangkat bareng-bareng dengan memakai bus. Semua polisi dengan pangkat bintang 2 ke bawah tidak boleh bawa mobil sendiri. Mereka diminta untuk naik bus yang telah disediakan.
Ini bukan pertemuan biasa. Semua tampil polos, dan hanya Jokowi sendiri yang memakai badge lambang kepresidenan. Pemandangannya persis seperti mahasiswa yang sedang kena sanksi massal. Pemanggilan tersebut tertuang dalam Surat Telegram Rahasia (STR) yang terbit Rabu, 12 Oktober 2022 dan ditandatangani Asops Polri Irjen Agung Setya.
Namanya telegram rahasia. Tapi, seperti biasa, selalu bocor ke publik dan menyebar di media sosial. Bersamaan dengan itu detail rundown pertemuan juga beredar.
Selain Kapolri, peserta yang diwajibkan hadir dalam pengarahan Presiden Jokowi adalah pejabat utama Mabes Polri, Kapolda seluruh Indonesia, dan Kapolres/ kapolresta/ kapolrestabes seluruh Indonesia. Karena seluruh pati dan jenderal meninggalkan tempat maka di seluruh wilayah kepolisian di Indonesia kosong kekuasaan alias vacuum of power selama seharian.
Selama beberapa saat di seluruh wilayah hukum Indonesia tak ada seorang Kapolres dan Kapolda. Semua Polres dan Polda untuk sesaat tak ada bos besarnya. Entah bagaimana jadinya kalau terjadi ‘’taruna’’ atau peristiwa darurat, seperti tawuran atau perampokan besar di daerah.
Semua Kapolda dan Kapolres yang biasanya terlihat keren itu kini benar-benar harus tampil beda. Bisa kita bayangkan betapa pusing mereka hari itu. Para pejabat itu, mau tidak mau pasti ada yang sudah harus berangkat sebelum acara.
Rasa kecewa Jokowi pada Polri kelihatannya sudah mentok. Dalam kasus Ferdy Sambo dia sudah berkali-kali meminta Kapolri untuk menyelesaikan masalah itu dengan benderang. Alih-alih terang benderang, kasus Sambo yang sudah sampai di pengadilan malah terlihat makin gelap.
Belum selesai kasus Sambo, Polri ditimpa kasus memalukan pada tragedi Kanjuruhan. Tercatat 132 orang meninggal dalam kerusuhan terburuk di persepakbolaan Indonesia itu. Polisi dianggap menjadi biang keladi jatuhnya korban massal itu. Penggunaan gas air mata yang tidak sesuai prosedur dianggap sebagai penyebab utama jatuhnya korban.
Ada upaya untuk mencari kambing hitam dengan menyalahkan para suporter. Tapi hal ini bisa menjadi bumerang yang malah merugikan. Opini internasional sangat negatif terhadap Polri. Berbagai liputan internasional terang-terangan mengarahkan tudingan kepada Polri.
Kapolda Jatim Nico Afinta dicopot diganti Teddy Minahasa. Belum sempat dilantik Teddy Minahasa ditangkap Propam karena kasus narkoba di Sumatera Barat ketika dia masih menjadi kapolda di sana. Tidak tanggung-tanggung Teddy diduga menjual barang bukti sabu seberat 5 kilogram. Ternyata, tidak semuanya dia jual. Tes urine Teddy kabarnya positif pengguna narkoba.
Kasus ini menjadi tragedi baru di lingkungan Polri. Belum pernah ada dalam sejarah Polri seorang kapolda berbintang dua dicokok karena kasus narkoba. Lebih tragis lagi, kapolda itu baru saja dipromosikan ke tempat baru dan belum sempat dilantik, tapi sudah dicokok karena narkoba.
Tamparan yang sangat keras ke muka Polri. Entah bagaimana Kapolri Jenderal Listyo Sigit bisa mempertahankan kredibilitasnya kepada publik. Entah bagaimana Jokowi akan menjustifikasi pilihannya terhadap Listyo Sigit. Jokowi berani menantang arus dengan mengangkat kapolri pilihannya sendiri. Sekarang, yang terjadi adalah tragedi yang susul-menyusul.
Jokowi ingin menunjukkan bahwa dia ‘’in full control’’ terhadap institusi Polri. Jokowi menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa. Karena itu, seluruh jajaran Polri harus ‘’seba’’ menghadap kepadanya, sebagaimana para hulubalang menghadap raja di istana.
Jokowi sudah mempertunjukkan kekuasaannya dengan melucuti semua jenderal itu dari berbagai atributnya. Tetapi, dengan kondisi Polri seperti sekarang, Jokowi sekaligus menunjukkan bahwa pada akhirnya dialah yang menjadi penanggung jawab utama semua tragedi ini. Seperti ungkapan yang sering dikutip Kapoli Listyo Sigit, ‘’Ikan membusuk dari kepala.’’(*)