Ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi adalah ujung tombak komponen penentu kemandirian dan daya saing bangsa. Beberapa ciri penting dari sebuah negara yang mandiri dan berdaya saing di antaranya tergambar dari ciri inovatif yang dimiliki.
Seperti tingkat produktivitas yang tinggi, pemasaran produk yang murah dan cepat, pelayanan administrasi publik yang transparan, terintegrasi dan efektif, namun tetap mengutamakan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang dimiliki.
Untuk mensosialisasikan hasil-hasil iptek dan inovasi kepada masyarakat luas, termasuk pelajar dan mahasiswa, dan dunia usaha harus dipacu dengan suatu kebangkitan yang revolusioner. Dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan iptek dan implementasi iptek, serta terbangunnya kebersamaan para pemangku kepentingan iptek guna mendorong kreativitas dan inovasi Iptek dalam diri masyarakat.
Untuk memasyarakatkan inovasi dan kreativitas hal yang perlu dimiliki dan dikembangkan dalam diri wirausaha demi perkembangan dan kesuksesan sebuah usaha. Pada dasarnya sebuah inovasi dalam berusaha adalah kemampuan untuk menerapkan solusi kreatif terhadap masalah dan peluang untuk meningkatkan atau untuk
memperbaiki kinerja usaha.
Selain itu pendekatan inovasi terhadap teknologi kiranya dapat dibudayakan pada masyarakat dalam mengembangkan ide-ide baru bahkan untuk menggali menemukan resolusi temuan baru yang dapat diciptakan.
Menuju HaKI dan Paten
Untuk mengurai masalah paten, sejak Indonesia menandatangani persetujuan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) di Marrakesh pada 14 April 1994, dengan sendirinya memiliki keterikatan dan kewajiban untuk menjalankan persetujuan tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan persetujuan ini, sejak 1997 Indonesia memeliki 3 (tiga) Undang-Undang bidang HaKI, yaitu UU tentang Hak Cipta, UU tentang Merk, dan UU tentang Paten. Dan dengan diundangkannya ketiga paket UU tentang HaKI tersebut, sistem penegakan HaKI di Indonesia mulai terbentuk.
Meningkatnya permohonan pendaftaran HaKI hingga saat ini, secara umum menunjukkan bahwa perkembangan HaKI di Indonesia cukup menggembirakan. Ini diindikasikan dengan meningkatnya permohonan pendaftaran HaKI secara progresif.
Di bidang hak cipta, dari tahun 1993 sampai kurun 2003, telah masuk lebih dari 23.008 permohonan pendaftaran karya cipta. Jumlah karya cipta yang dilindungi jauh lebih dari itu, sebab berdasarkan UU tentang Hak Cipta bahwa hak cipta lahir tidak karena pendaftaran. Untuk paten, dalam kurun yang sama tercatat 25.134 permohonan paten dan dari jumlah tersebut telah diberikan 6.286 paten (Ditjen HKI, 2005).
Sebagai koreksi diri, perlu diberikan catatan tentang masih rendahnya permohonan paten yang diajukan para inventor nasional. Jika dievaluasi, apakah para inventor atau penemu tidak mengerti prosedur dan mekanisme pengurusan usulan paten.
Atau sudah tahu tapi justru enggan mengurus karena dianggap terlalu “rebyek” dengan alasan butuh pembiayaan, rumitnya membuat deskripsi dalam bahasa hukum paten, sehingga mereka menyimpulkan paten tidak terlalu ada manfaatnya. Kalau para peneliti dan masyarakat dikebiri dengan paradigma semacam ini, maka tak ayal akan terjadi “Quo Vadis” terhadap perkembangan HaKI di Indonesia.
Minimnya informasi bagi masyarakat termasuk para inovator kurang mengetahui temuan apa saja yang sudah dipatenkan dan bagaimana cara mempatenkan temuannya. Bayangkan, karena minimya informasi, seorang inovator berani melakukan penelitian atas suatu alat tertentu dengan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar.
Apa yang terjadi? Karena si peneliti tidak melakukan searching terlebih dahulu, ternyata alat tersebut sudah dipatenkan di negara lain, maka praktik semacam ini sebagai trial and error yang “mubadzir” karena percobaan penelitian yang “ngawur.”
Ada anggapan bahwa perlindungan HaKI bertentangan dengan perlindungan usaha nasional terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Walaupun anggapan ini tidak seluruhnya salah, namun dari pemikiran positif bahwa penerapan HaKI diharapkan akan membantu UKM untuk mengamankan hasil-hasil inovasi dan penemuannya walaupun sifatnya hanya “paten sederhana.”
Pengalaman menunjukkan banyak sekali hasil-hasil UKM dari negeri kita dipatenkan oleh negara lain. Seperti Batik oleh Jepang, belum lagi Wayang Kulit, Tari Bali, dan lain-lain. Padahal yang tertera dalam UU No.12 Tahun 1997 tentang perubahan UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, menunjukkan bahwa tanpa didaftarkan pun hak cipta merupakan hak intelektual dari pembuat.
Sosialisasi mengenai kegunaan HaKI, Paten, prosedur pendaftaran, informasi paten yang telah ada diharapkan akan banyak membantu peneliti dan perekayasa agar dapat menciptakan penemuan-penemuan baru tanpa mengulang penemuan yang telah ada atau soft copy.
Kita ketahui bersama bahwa untuk mencapai suatu hasil penemuan dibutuhkan biaya yang cukup besar. Dengan mengetahui penemuan yang telah ada, maka kita tidak perlu lagi mengulang penelitian yang telah ada patennya. Sebagai ide, kita bisa melihat kondisi dunia yang lagi krisis BBM dan listrik, maka kreativitas dapat kita gali melalui temuan energi terbarukan guna mengganti energi minyak bumi.
Bagaimanapun strategi mentransformasikan inovasi menuju penerapan HaKI dan Paten, maka sangat diperlukan resolusi baru bagi kaum intelektual muda milenial guna memuluskan jalan Indonesia agar diterima masyarakat internasional.
Anggap jika masing-masing kampus berlomba global dalam mentransformasikan inovasi terbaru, dan terkini ini, maka pada akhirnya investor tidak akan ragu menanamkan investasinya di Indonesia. Karena mereka merasa miliknya sebagai produk temuan baru terlindungi, dan belum boming di dunia internasional.
Oleh karena itu sinergi antara transformasi inovasi, penegakan hukum Paten, sistem informasi HaKI pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan milenial di era digital yang lebih maju dan beradab.(*)