spot_img
Wednesday, July 30, 2025
spot_img

Tren Pernikahan Dini Perspektif Agama

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Tren pernikahan anak usia dini di Indonesia belakangan menjadi tantangan besar dalam banyak komunitas, terutama di pedesaan. Kendati ada batasan usia minimal pernikahan yang tercantum dalam Undang-Undang, pelaksanaannya dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi buruk dari pernikahan dini masih belum konsisten di seluruh wilayah.

Hingga saat ini, pemerintah di tingkat pusat dan tingkat daerah belum mampu menyelesaikan masalah pernikahan anak usia dini. Laporan BPS dan UNICEF terkait dengan pernikahan dini di Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan mencapai angka 1.220.900. Angka ini menjadikan Indonesia berada di posisi 10 negara dengan pernikahan dini tertinggi di dunia.

Tak dapat dimungkiri, ada pandangan positif terhadap pernikahan dini dari perspektif agama untuk menghindari zina. Namun demikian, penting pula dipertimbangkan berbagai risiko dan dampak negatif yang dapat timbul dari pernikahan dini. Baik dari sisi kesehatan fisik dan mental, sosial, maupun ekonomi. 

Berbagai studi menunjukkan bahwa pernikahan dini memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan fisik dan mental, terutama bagi perempuan. Tubuh anak perempuan yang belum sepenuhnya matang secara biologis belum siap untuk mengandung. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan. Seperti preeklamsia dan eklamsia, perdarahan postpartum, kelahiran prematur, dan kematian ibu dan anak.

Selain itu, anak-anak yang menikah dini belum memiliki kematangan emosional dan kemampuan menghadapi tekanan rumah tangga. Hal ini menimbulkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Banyak pasangan muda yang belum matang secara emosi cenderung memiliki hubungan yang tidak stabil. Ketidakmampuan mengelola konflik sering berujung pada kekerasan, terutama terhadap istri muda.

Kesiapan Mental dan Finansial

Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin yang sakral, yang menuntut kematangan dan kesiapan dari kedua belah pihak, baik secara mental, emosional, maupun finansial. Namun, dalam praktiknya, banyak individu di usia remaja yang memasuki pernikahan tanpa kesiapan yang memadai.

Usia muda biasanya belum terasah dalam hal komunikasi interpersonal yang sehat. Ini dapat menyulitkan dalam menjalin relasi yang saling menghargai, terbuka, dan penuh pengertian dalam pernikahan. Berhubung tidak siap mental menghadapi realitas pernikahan, pasangan muda sering tidak bertahan lama. Banyak kasus pernikahan dini berakhir dalam waktu 1-3 tahun setelah menikah.

Tak jarang anak-anak yang menikah dini harus putus sekolah, baik karena hamil atau karena tuntutan budaya. Hal ini berdampak pada rendahnya kompetensi kerja dan penghasilan. Dengan keterampilan dan pendidikan terbatas, peluang kerja juga terbatas, sehingga berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi keluarga.

Dalam jangka panjang, rumah tangga yang dibentuk tanpa kesiapan mental dan finansial rentan terhadap konflik berkepanjangan, penelantaran anak, dan ketidakstabilan emosional. Ketika orang tua masih remaja dan belum dewasa secara mental, anak-anak mereka rentan tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai, baik secara emosional maupun material.

Pandangan Agama

Islam sendiri tidak melarang pernikahan dini asalkan syarat-syaratnya terpenuhi dan bertujuan untuk memperkuat keberagamaan. Dalam konteks ini, kiranya kita perlu menggali pandangan agama secara komprehensif dan kritis dalam menghadapi fenomena pernikahan dini, serta menimbang antara dalil tekstual dan realitas kontekstual masa kini.

Islam memang tidak secara eksplisit menyebut batas usia minimal pernikahan. Salah satu ayat yang sering dirujuk adalah, “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cakap dalam menjaga harta dirinya maka serahkanlah kepada mereka hartanya…” (QS. An-Nisā’: 6).

Ayat di atas mengindikasikan bahwa kedewasaan menjadi syarat penting dalam pengelolaan hidup, termasuk pernikahan.

Pandangan Ulama Kontemporer

Dalam berbagai fatwanya, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menekankan pentingnya memperhatikan kemaslahatan dan konteks zaman dalam praktik hukum Islam. Ia menyatakan bahwa walaupun pernikahan usia muda dibolehkan dalam teks, tidak berarti dianjurkan secara mutlak, terlebih jika menimbulkan mudarat seperti putus sekolah, kehamilan berisiko, atau tekanan mental.

Pemerintah Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum secara eksplisit melarang pernikahan dini. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan bagi pria dan wanita adalah 19 tahun. Peraturan ini mengubah ketentuan sebelumnya yang memperbolehkan perempuan menikah di usia 16 tahun. 

Jika dirujuk dari ajaran Islam, pernikahan bukan hanya ikatan jasmani, melainkan juga tanggung jawab sosial dan spiritual. Nabi Muhammad menyatakan, “Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian telah mampu (bā’ah) maka hendaklah ia menikah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memandang pernikahan dini hanya dari sisi “boleh” atau “pernah dilakukan Nabi” tanpa mempertimbangkan realitas zaman adalah bentuk pendekatan tekstualisme sempit yang bisa melahirkan ragam masalah di masyarakat. Agama bukan sekadar teks, melainkan juga hikmah yang harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata secara adil dan bijak.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img