Tahun ajaran baru 2025/2026, suasana di lingkungan SMA Islam Sabilillah Malang Boarding school terasa semakin semarak. Santri baru mulai beradaptasi, santri lama kembali mengisi ruang-ruang kelas dan masjid. Para wali kelas serta pengasuh bersiap melanjutkan tugas mendampingi perjalanan mereka.
Di tengah semangat ini, satu hal penting kembali digulirkan: Tricare, pola komunikasi tiga arah antara wali kelas, pengasuh, dan orang tua. Program ini bukan hal baru, tetapi tahun ini Tricare dituntut untuk hadir lebih dalam. Bukan hanya sebagai formalitas, melainkan sebagai wajah kasih sayang yang mewakili kehadiran orang tua di balik pagar pesantren.
Fenomena meningkatnya jumlah santri di Indonesia menjadi latar penting bagi urgensi penguatan komunikasi di lingkungan boarding school. Data dari Kementerian Agama RI menyebutkan per tahun 2023 terdapat 4,9 juta santri yang tersebar di lebih dari 39 ribu pesantren di seluruh Indonesia.
Namun, riset dari The Conversation Indonesia (2024) memperingatkan bahwa pemisahan jarak dalam usia yang masih dini dapat berpengaruh pada kualitas kedekatan emosional anak dengan orang tua, terutama jika komunikasi tidak dijaga secara bermakna.
Secara khusus di SMA Islam Sabilillah Malang, wali kelas dan pengasuh menyaksikan betapa pentingnya pola komunikasi yang intens, akrab, dan reflektif. Ada santri yang tampak aktif dan ceria di kelas, namun ternyata memendam rasa rindu dan kesepian di asrama. Ada pula yang cemerlang secara akademik, tetapi kesulitan bersosialisasi.
Dalam kondisi seperti ini, laporan perkembangan yang bersifat satu arah atau hanya berisi nilai akademik tak lagi cukup. Dibutuhkan dialog yang hidup, komunikasi yang membuka ruang untuk memahami kehidupan siswa secara utuh. Di sinilah Tricare menjadi kebutuhan, bukan sekadar program.
Tulisan Yuliana dan Fauzan (2021) misalnya, menekankan pentingnya komunikasi untuk peningkatan prestasi, namun belum menggali bagaimana komunikasi itu turut menjaga kesehatan mental, adaptasi sosial, dan stabilitas spiritual siswa di boarding school. Maka, Tricare perlu dikembangkan bukan hanya sebagai alat pantau akademik, tetapi sebagai sistem komunikasi holistik yang memanusiakan siswa dan melibatkan perasaan semua pihak.
Ketertarikan pada topik ini berangkat dari pengalaman pribadi sebagai wali kelas dan pengasuh, menyaksikan bagaimana komunikasi yang jujur dan empatik dapat mengubah dinamika siswa. Seorang santri yang semula tertutup, mulai terbuka setelah beberapa kali didampingi dalam sesi Tricare reflektif bersama orang tuanya.
Di sisi lain, orang tua yang awalnya merasa canggung, mulai aktif bertanya dan berbagi cerita setelah merasa didengar. Dari situ, munculah kesadaran bahwa wali kelas dan pengasuh tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai jembatan kasih sayang antara santri dan orang tuanya.
Harapan besar dari penguatan Tricare adalah terbangunnya kultur sekolah yang memprioritaskan kedekatan emosional sebagai fondasi keberhasilan pendidikan. Bagi sekolah, Tricare dapat menjadi sarana untuk mendeteksi lebih awal permasalahan siswa baik akademik maupun non-akademik.
Bagi orang tua, ini menjadi jendela untuk tetap “hadir” dalam kehidupan anak-anak mereka di pesantren. Dan bagi santri, Tricare bisa menjadi ruang aman untuk mencurahkan isi hati, menerima bimbingan, dan merasa bahwa ia tidak sendirian.
Implementasi Tricare ke depan dapat diperkuat dengan penggunaan teknologi dan pendekatan personalisasi. Platform daring seperti dashboard komunikasi antar wali kelas, pengasuh, dan orang tua dapat dirancang secara lebih interaktif, memungkinkan pertukaran pesan yang rutin dan terstruktur.
Namun di luar teknologi, yang lebih penting adalah menghadirkan rasa keterlibatan. Tricare harus berlandaskan empati dan keterbukaan, bukan sekadar kewajiban laporan atau ceklist evaluasi. Ketika komunikasi dilakukan dengan niat yang tulus, maka dampaknya pun akan lebih dalam dan bermakna.
Selain itu, keberhasilan Tricare juga ditentukan oleh kesiapan SDM pendukungnya. Wali kelas dan pengasuh perlu mendapatkan pelatihan komunikasi reflektif dan konseling dasar, agar mampu memahami dan merespons berbagai dinamika santri dengan bijak.
Peran wali kelas dalam Tricare tidak berhenti pada titik administrasi. Lebih dari itu, wali kelas adalah simpul hubungan antara rumah dan asrama, antara dunia anak dan dunia orang dewasa. Ketika wali kelas dapat memahami ritme batin siswa, ia tidak hanya memberi arahan, tetapi juga harapan.
Ketika wali kelas dapat memahami kondisi rumah dari suara orang tua, ia pun akan tahu bagaimana harus menempatkan empatinya dalam membimbing anak di sekolah. Maka, penguatan kapasitas dan ruang dialog bagi wali kelas bukanlah pelengkap, melainkan fondasi utama keberhasilan Tricare.
Akhirnya, jika Tricare dijalankan dengan kesungguhan dan empati, maka ia akan menjelma menjadi lebih dari sekadar sistem. Ia menjadi sosok: sosok orang tua yang memeluk dari kejauhan, membimbing dengan doa, dan mendidik dengan cinta. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, kehadiran seperti ini menjadi oase bagi santri yang sedang bertumbuh menjadi manusia seutuhnya. Semoga di tahun ajaran baru ini, Tricare tak hanya menjadi program sekolah, melainkan budaya hidup yang tumbuh dalam setiap relasi wali kelas, pengasuh, orang tua, dan anak-anak kita.(*)