MALANG POSCO MEDIA – 77 tahun sudah usia bangsa kita tercinta, dan di sepanjang usia perjalanan usia itu tentu banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran agar cita-cita dan harapan menjadi bangsa yang adil dan makmur di atas persatuan dan kesatuan bisa diwujudkan. Tentu dalam kerangka Ketuhanan yang Maha Esa sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang secara sosiogeografis terdiri dari banyak pulau, beragam suku, agama, ras dan golongan, menjadi hal yang mutlak bahwa nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta prinsip-prinsip keadilan sosial harus tertancap kuat pada setiap manusia Indonesia.
Karena tidak akan terwujud cita-cita bangsa dan kemajuan bangsa dalam segala aspek kehidupan baik ekonomi, pendidikan, politik, sosial dan budaya, apabila nilai-nilai Pancasila tersebut tidak menjadi karakter dan mental baik pemerintah sebagai penyelenggara negara ataupun masyarakat secara luas.
Bangsa kita adalah bangsa yang “gemah ripah lohjinawe”, bahkan dari banyak literatur disebutkan Indonesia merupakan pemilik kekayaan alam yang berlimpah. Hutan Indonesia terluas ketiga di dunia dengan luas lebih dari 99 juta hektar, Indonesia juga pengekspor gas alam terbesar di dunia dengan cadangan gas alam sebanyak 2,8 triliun meter kubik.
Indonesia juga penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia dengan total produksi sebanyak 281,7 ton. Indonesia juga penghasil emas terbesar ke 9 di dunia dengan jumlah produksi 10 ton emas dalam setahun. Bahkan menurut FAO organisasi pangan dan pertanian dunia, Indonesia merupakan penghasil beras terbesar ke 3 dunia, penghasil kopi terbesar ke 4 dunia dan penghasil rempah-rempah terbanyak dunia.
Salah satu catatan penting dalam sepanjang perjalanan sejarah bangsa di seluruh belahan dunia adalah perihal fundamental attitude bangsa. Yakni etika mendasar bagi sebuah bangsa dalam menjalankan roda berbangsa dan bernegaranya. Setidaknya dalam kurun waktu 77 tahun terakhir sejak kemerdekaan Indonesia dideklarasikan, dari orde lama, orde baru hingga era reformasi sampai saat ini, ada banyak dinamika bangsa yang muara dari semua kejadian itu adalah tentang “trust.”
Diatas “trust” lah bangsa ini berdiri, kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada para founding fathers bangsa ini adalah wujud bahwa bangsa ini dibangun di atas kepercayaan tertinggi masyarakat.
Pelajaran akan pentingnya “trust” ini bisa kita saksikan di Venezuela. Tahun 1998 Venezuela memasuki babak baru pemerintahan dengan terpilihnya Chavez sebagai Presiden dan sekaligus sebagai simbol kembalinya demokrasi yang telah terinfeksi sejak pemerintahan sebelumnya. Chavez bagi masyarakat Venezuela adalah antibiotik akan infeksi demokrasi dan kerusakan tatanan berbangsa dan bernegara yang terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Namun apa yang terjadi?, setelah Chavez berhasil menududuki kursi sebagai Presiden justru dialah orang pertama yang telah menodai “trust” atau kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat Venezuela. Chavez berubah bentuk menjadi manusia penganut otoriterianisme. Dia membuat daftar hitam orang-orang yang oposisi dengannya, dia mengatur mahkamah agung. Bahkan dia semakin represif setelah periode 2006, wartawan ditangkap, politisi yang berseberangan diberangus dan media-media besar baik cetak, televisi ataupun radio ditutup.
Ada gelombang “distrust” yang terjadi pasca Chavez berkuasa. Masyarakat tidak lagi percaya karena ulah dan kelakuan Chavez, meskipun dulu dia adalah orang nomer satu yang mengkampanyekan ketidakadilan politik, berbangsa dan bernegara.
Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih saja terjadi, penyelewengan dana masyarakat bahkan di level terendah seperti dana desa juga semakin marak terjadi. Seorang pemuka agama yang menjadi panutan spiritual namun justru menjadi pelaku tidak kejahatan dan asusila. Pendidikan formal yang tidak lagi normal karena ijazah dan gelar akademik yang bisa dibeli, aparat penegak hukum yang justru menjadi perekayasa dan pelaku kejahatan hukum, para politisi dan partai politik yang tidak lagi menjaga marwah demokrasi dan kepentingan rakyat, merupakan sederet fakta yang semakin membuat masyarakat dan publik kehilangan”trust” nya.
Krisis kepercayaan ini menjadi ancaman kita bersama, tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila seorang anak tidak lagi percaya kepada bapaknya karena dia sering melihat kelakuan bapaknya yang asusila. Tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila seorang santri murid tidak lagi percaya kepada gurunya karena dia sering melihat gurunya melakukan tindak kriminal.
Tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah penyelenggara negara karena mereka begitu sering melihat para pejabat penyelenggara negara melakukan tindak pidana menyalahi hukum dan peradilan.
Sudah 12 kali pemilihan umum anggota legislatif dilakukan dan sudah 7 kali Presiden di Indonesia berganti, dan selalu saja dalam setiap momentum itu ada janji, harapan dan kepercayaan yang terwujud dan memudar.
Oleh karenanya membangun keutuhan pemahan Pancasila bagi segenap anak bangsa rupanya menjadi sebuah keniscayaan. Membangun kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilandasi akan nilai-nilai dasar yang disepakati bersama, sebagaimana yang termaktub di dalam Pancasila.
Dengan memahami Pancasila secara utuh, pada akhirnya akan menghadirkan para penyelenggara yang manjaga dedikasi, integritas dan amanah terhadap rakyat. Dengan memahami Pancasila secara utuh, maka masyarakat sipil pun akan bisa menjalani roda kehidupannya dengan penuh tanggungjawab dan persatuan.
77 tahun Indonesia merdeka bukan hanya akan menjadi optimisme akan pulih dan bangkitnya ekonomi lebih kuat pasca pademi dan resesi yang terjadi dua tahun terakhir. Akan tetapi memperingati 77 tahun Indonesia merdeka juga menjadi sebuah harapan dan optimisme akan pulih dan bangkitnya kembali kemulyaan, karakter, budaya bangsa dan ketinggian attitude seluruh anak bangsa untuk mengembalikan kepercayaan yang mulai memudar.(*)