Thursday, August 21, 2025

Truth Decay

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sulitnya menemukan kebenaran saat ini. Tak jarang yang kita anggap sebagai yang benar ternyata justru sebuah kesalahan. Sering kita keliru menilai narasi yang palsu (hoaks) justru kita sebarkan karena kita anggap sebagai yang benar. Kebenaran yang sejati sungguh sulit ditemukan. Yang sejatinya benar bisa diragukan kebenarannya. Yang aslinya palsu justru dinilai sebagai yang tak keliru. Inilah era di mana telah terjadi pembusukan kebenaran (truth decay).

          Tak hanya buah-buahan yang bisa membusuk. Kebenaran ternyata juga bisa mengalami pembusukan. Jika buah yang busuk bisa sangat berbahaya untuk dikonsumsi, demikian halnya dengan pembusukan kebenaran. Saat buah yang busuk itu bisa mengandung racun yang mematikan, sebuah pembusukan kebenaran juga bisa punya efek serupa racun yang dapat merusak sendi kehidupan manusia.

          Coba kita renungkan jika yang keliru itu justru kita yakini sebagai yang benar. Ini tentu sangat berbahaya. Sebuah kebijakan atau keputusan penting bisa keliru. Kebenaran yang sesungguhnya adalah fondasi yang penting dalam kehidupan. Jika fondasi itu ternyata rapuh karena bersumber dari kekeliruan, maka bisa merobohkan tatanan kehidupan. Inilah yang terjadi saat hoaks justru banyak dipuja sebagai sesuatu yang benar.

Truth Decay

          Menurut Jennifer Kavanagh dan Michael D. Rich yang menulis buku “Truth Decay”, mendefinisikan pembusukan kebenaran (truth decay) sebagai menurunnya peran fakta dan analisis berbasis data dalam kehidupan publik. Gejala ini terlihat jelas dalam polarisasi politik, banjir hoaks di media sosial (medsos), merosotnya kepercayaan terhadap media arus utama, serta dominasi narasi emosional dalam diskusi publik. Truth decay sebagai fenomena yang jauh melampaui merebaknya berita palsu atau hoaks saat ini.

          Menurut pandangan Jennifer dan Rich, fenomena truth decay muncul dalam beberapa bentuk yang saling terkait. Beragam bentuk itu adalah meningkatnya penolakan atau ketidaksetujuan tentang fakta dasar, kaburnya batas antara opini dan fakta, meningkatnya pengaruh opini pribadi dibanding data objektif, dan menurunnya kepercayaan pada sumber informasi faktual yang sebelumnya dihormati.

          Fenomena pembusukan kebenaran bisa terjadi karena telah terjadi percampuran antara krisis kepercayaan, ledakan informasi digital, rendahnya literasi digital, dan melemahnya sikap skeptis dan kritis masyarakat. Di sisi lain, institusi penjaga kebenaran seperti media massa, akademisi, pemerintah, dan para pemengaruh sering gagal menunjukkan integritasnya dalam menyajikan kebenaran.

          Sulitnya menemukan kebenaran di era digital saat ini juga disebabkan oleh membanjirnya narasi atau konten di beragam platform medsos. Medsos menciptakan lingkungan informasi yang berisik, gaduh, cepat, dan bias algoritmik. Sering informasi tak dinilai dari kebenarannya, melainkan dari seberapa menarik atau mengonfirmasi keyakinan pribadi kita. Tak jarang pula informasi yang viral dipercaya sebagai yang benar, padahal belum tentu demikian.

Information Bubble

          Information bubble (gelembung informasi) adalah kondisi ketika seseorang hanya terekspos pada informasi, opini, atau sudut pandang yang sejalan dengan pandangan pribadinya, sementara informasi yang bertentangan atau berbeda secara sistematis diabaikan, disaring, atau tak pernah terlihat. Fenomena ini sering terjadi di medsos dan platform digital yang menggunakan algoritma untuk menyesuaikan konten dengan preferensi pengguna.

          Kini banyak orang hidup dalam gelembung informasi (information bubble). Mereka hanya mengonsumsi konten dari sumber yang sejalan dengan preferensinya. Fakta dikurasi secara emosional. Informasi yang tak cocok akan dibuang atau dicurigai dan yang sejalan dipercaya mentah-mentah tanpa verifikasi. Inilah bentuk pembusukan yang paling nyata yakni ketika masyarakat tak lagi mencari kebenaran, tetapi membangun “kebenaran” mereka sendiri.

          Information bubble merupakan hasil dari interaksi antara preferensi manusia, algoritma digital, dan desain platform medsos yang cenderung memperkuat keterlibatan emosional. Meski dapat memberikan kenyamanan, gelembung ini bisa menjadi jebakan informasi yang membatasi wawasan dan mempersempit ruang diskusi publik. Menyadari keberadaannya adalah langkah awal untuk keluar dari bias informasi yang membungkus kita.

          Information bubble adalah mesin penggerak truth decay. Ia membatasi keberagaman informasi, menurunkan kualitas diskusi, dan memungkinkan fakta dikalahkan oleh emosi atau ideologi. Keduanya memperlemah demokrasi dan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai kebenaran. Untuk melawan pembusukan kebenaran, kita perlu keluar dari gelembung informasi dan membangun kembali literasi media serta kesadaran kritis.

          Gelembung informasi membatasi paparan individu terhadap keragaman perspektif dan fakta, sehingga memperkuat bias, mempersulit verifikasi kebenaran, dan menyuburkan penyebaran opini yang dibungkus seolah-olah sebagai fakta. Dalam lingkungan semacam ini, truth decay tumbuh subur ditandai dengan kaburnya batas antara fakta dan opini, meluasnya ketidakpercayaan terhadap otoritas informasi, dan dominannya emosi dibanding data dalam pengambilan keputusan publik.

          Untuk membendung pembusukan kebenaran, upaya membongkar gelembung informasi menjadi langkah awal yang mutlak melalui literasi digital, keberagaman sumber informasi, serta kesadaran kritis atas cara kerja algoritma medsos yang membentuk persepsi kita setiap hari.           Kita perlu menjadi warga digital yang sadar, kritis, dan aktif melawan degradasi kebenaran. Kebenaran tak akan bertahan sendiri di tengah banjir informasi. Menghadapi truth decay bukan hanya tanggung jawab media atau pemerintah, tetapi tugas seluruh masyarakat.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img