Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Perhelatan pemilu meninggalkan sejuta cerita, salah satunya adalah banyaknya artis dan figuran yang turut mengadu peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai CALEG (Calon anggota legislatif) ataupun calon DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Salah satu yang cukup menyedot perhatian publik adalah komedian Alfiansyah atau yang akrab dipanggil dengan sapaan “komeng”.
Komedian yang populer sejak tahun 1996 hingga 2003an melalui acara televisi yang berjudul “spontan” dengan jargon “uhuyy..” ini mendapatkan suara terbanyak di dapilnya Jawa Barat. Dilihat dari Sirekap KPU di website pemilu2024.kpu.go.id per pukul 8.30 WIB, Minggu (25/2/2024), Komeng berada di posisi teratas dengan suara 2.266.109 (19,34 persen).
Fenomena ini tentu menjadi bahasan yang menarik untuk diulas, karena ditengah keberlangsungan demokrasi di bangsa ini, ditengah-tengah menegangnya adu gagasan dan visi politik, ternyata “komeng” dengan kekhasan dirinya sebagai seorang komedian dengan gaya khas “guyonan dan slenge’annya” ternyata mampu menyedot perhatian masyarakat Jawa Barat sehingga dia maraup suara yang sangat fantastis.
Ada beberapa pengamat yang mengatakan bahwa fenomena “uhuyyy komeng” adalah antiklimaks dari demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang sudah lelah dengan suguhan akrobat politik yang disajikan oleh para politisi di bangsa ini, akhirnya justru memilih calon yang mungkin dianggap mereka lebih natural dan apa adanya.
Fenomena ini pernah terjadi di Alaska Pada tahun 1997, seekor kucing bernama Stubbs terpilih sebagai walikota Talkeetna, Alaska. Meskipun gelarnya sebagai Walikota bersifat kehormatan, ia ditampilkan sebagai kandidat tertulis untuk pemilihan Senat Amerika Serikat tahun 2014 di Alaska. Pada tahun 1938, Kenneth Simmons memasukansimmons menyampaikan bahwa hal ini dilakukannya untuk menunjukan bahwa banyak orang memilih tanpa mempertimbangkan siapa sebenarnya yang mereka pilih. Fenomena kandidat pemilu non-manusia telah ditemukan disejumlah negara. Hal ini dilakukan sebagai salah satu wujud untuk memberikan protes atau menyindir sistem politik atau pemerintahan yang sedang berjalan disebuah negara.
Dalam sudut pandang “market driven”, setidaknya komeng telah berhasil mengidentifikasi “voters persona” dengan dia memilih berpose “nyleneh” dibandingkan kandidat calon DPD yang lain. Fotonya yang unik, setidaknya telah menjadi daya pikat tersendiri pada saat orang membuka kertas suara. Selain itu upayanya untuk menambahkan nama “komeng” dibelakang nama aslinya merupakan langkah tepat yang dilakukan oleh dia. Masyarakat yang sudah melekat dengan nama “komeng” sejak tahun 1996 menjadikannya lebih mudah untuk mengenalkan dan sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu gaya bicara, gestur, cara berpakaian, dan lingua franca yang ia gunakan dalam keseharian termasuk pada saat masa kampanye, semakin menguatkan positioningnya ditengah masyarakat sebagai orang yang egaliter dan membaur dengan masyarakat, sehingga masyarakat calon pemilihpun menjatuhkan pilihannya kepada komeng.
“Uhuyy..” seolah menjadi simbol kata yang merepresentasikan keunggulan yang dimiliki oleh Komeng. “Uhuyy..” juga sekaligus menjadi alat komunikator bagi Komeng untuk meraih simpati dan hati masyarakat, sehingga 2 juta lebih masyarakat Jawa Barat memutuskan untuk memilihnya. Perpaduan antara keunggulan diri yang dimiliki oleh Komeng, dengan wujud antitesa dari kebanyakan politisi saat ini, serta kemampuannya dalam mengkomunikasikan dirinya, menjadi perpaduan pesan dan ajakan yang jitu sehingga masyarakat memilihnya.
Meski dalam beberapa kesempatan “Komeng” menyampaikan visi misinya sebagai Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengupayakan pelestarian dan eksistensi budaya serta seniman di Tanah air, namun tidak bisa dipungkiri pemilu kali ini sepertinya menjadi antiklimaks dari tatanan politik dan demokrasi yang ada di bangsa ini.
Maraknya korupsi, diseluruh sektor pemerintahan dari pusat hingga desa, kemiskinan yang tidak kunjung berkurang, naiknya angka gini rasio yang menunjukan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi di bangsa ini, kecukupan sandang, pangan dan papan bagi masyarakat yang juga semakin tidak mudah, serta berbagai permasalahan ditengah masyarakat dan bangsa yang terjadi menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat bosan terhadap janji politik, perilaku politik dan manuver-manuver politik para politisi dan partai politik yang seolah hanya mementingkan dirinya dan organisasinya saja.
Bisa jadi kepercayaan masyarakat mulai luntur, karena mereka hanya dijadikan objek lima tahunan dan menjadi alat elektoral untuk memuluskan jalan kekuasaan. Janji hanya akan memberikan harapan, sedangkan memberi akan melahirkan kepercayaan, dan memberi adalah pekerjaan pecinta sejati. Para pecinta sejati itu adalah kita semua sebagai anak cucu bangsa.
Teriakan kata “uhuyy..” yang menyertai penghitungan suara di TPS-TPS di Jawa Barat pada saat disebutkan nama Komeng, sebagaimana video viral yang beredar. Hal ini menjadi semacam refleksi bagi masyarakat Indonesia, bahwa mereka seolah menaruh harapan besar bagi arah tumbuh bangsa ini kepada orang non-politisi untuk mewujudkan kekamuran dan kedaulatan bangsa. (*)