.
Friday, December 13, 2024

Urgensi Melestarikan Karst

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Farizky Hisyam
Alumni Jurusan Fisika FMIPA
Universitas Brawijaya

          Beberapa waktu lalu berseliweran story Instagram tentang penolakan pembangunan “beach club” di Gunung Kidul. Yang menjadi sorotan, salah satu investor pembangunan beach club tersebut adalah seorang selebriti nasional. Story itu bermula dari sebuah petisi di Change.org yang mulai diajukan21 Maret 2024 lalu. Hingga (15/6/2024), petisi tersebut telah ditandatangani 63.271 warganet.

          Dalih penolakan dari petisi tersebut yaitu beach club dan resor mewah bakal dibangun di lahan yang merupakan bagian dari kawasan bentangan alam karst (KBAK) Gunung Sewu. Kawasan tersebut merupakan bagian dari taman bumi (geopark) Gunung Sewu yang pada tahun 2015 telah ditetapkan sebagai bagian dari taman bumi global UNESCO (UNESCO Global Geoparks) sehingga perlu dilindungi.

          Setelah viral, petisi berujung pada pernyataan selebriti selaku investor yang memutuskan menarik diri dalam pembangunan beach club. Bagi penggagas petisi, hal ini merupakan sebuah kemenangan kecil. Petisi masih terus bergulir mengingat kekhawatiran pembangunan beach club kemungkinan bakal berlanjut dengan menggandeng investor lain.

Mengenal Karst

          Sebelum memahami lebih jauh urgensi melindungi kawasan karst, kita perlu meninjau pembentukan karst. Istilah “Karst” berasal dari nama sebuah distrik yang berada di Pegunungan Alpen Dinaria, Slovenia, salah satu negara pecahan Yugoslavia. Karst merujuk pada bentang alam yang dicirikan dengan batuan yang mudah larut, yaitu batugamping dan batukapur.

          Karst dahulunya merupakan kawasan perairan dangkal yang jernih dengan ditumbuhi terumbu karang. Karena terangkat oleh gaya dari dalam bumi, terumbu karang tersingkap ke permukaan, lalu menjadi daratan. Selama jutaan tahun, terumbu karang tersebut memadat, lalu berubah menjadi batu yang kita kenal sebagai batugamping.

          Pembentukan karst dimulai dari lapisan batugamping yang cukup tebal mengalami proses deformasi akibat gaya tektonik sehingga terbentuk rekahan-rekahan. Selanjutnya, air hujan yang jatuh merembes melalui rekahan tersebut. Air melarutkan batugamping sehingga rekahan akan melebar. Dalam waktu ribuan hingga jutaan tahun, rekahan itu membesar sehingga terbentuk gua. Tidak jarang atap gua runtuh sehingga terbentuk lubang yang disebut sebagai sinkhole.

          Kawasan taman bumi karst Gunung Sewu tersebar di wilayah Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah), dan Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Luasnya mencapai 1.500 kilometer persegi. Apabila ditarik lebih jauh ke timur, kawasan karst akan menerus mulai dari Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Jember, hingga Banyuwangi.

          Di Malang Raya karst mencakup 16 persen dari total luas wilayahnya. Karst di Malang terkonsentrasi di Pegunungan Selatan, menyebar di Kecamatan Donomulyo, Bantur, Gedangan, Pagak, Sumbermanjing Wetan, dan sebagian Kalipare, Dampit, serta Tirtoyudo. Batugamping penyusun karst di Malang Selatan terbentuk pada kala Miosen atau antara 5-15 juta tahun yang lalu.

Peran Ekologis Karst

          Selain proses pembentukannya yang berlangsung sangat lama, karst memiliki sejumlah peran ekologis sehingga keberadaannya perlu kita lestarikan. Pertama, karst merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar. Karst digambarkan sebagai daerah krisis air. Namun, karst menyimpan sumber daya air yang melimpah ruah. Air tersebut sebagian besar berwujud sungai bawah tanah.   Karst memungkinkan air merembes ke bawah tanah, tertampung, lalu mengalir di bawah permukaan. Di sejumlah lokasi sungai akan muncul ke permukaan, lalu melesap ke bawah permukaan di lokasi lainnya. Dengan rusaknya karst, otomatis pasokan air masyarakat setempat akan hilang.

          Kedua, karst merupakan ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Sejumlah flora dan fauna endemik dijumpai di karst. Sebagai informasi, eksplorasi karst Malang Selatan hingga tahun 2015 telah mengidentifikasi 118 lokasi gua, mata air, maupun telaga. Dari hasil eksplorasi itu juga diketahui gua-gua karst di Malang dihuni makhluk hidup berupa kelelawar, kalacemiti, kepiting, lele, udang, jangkrik, sidat, tokek, katak, wader, hingga laba-laba.

          Ketiga, karst memiliki keunikan geologi dan pemandangan yang menakjubkan. Gua beserta ornamennya (stalaktit dan stalagmit), menara karst, kerucut karst, sungai bawah tanah hingga sinkhole memiliki daya tarik tersendiri. Tidak jarang sejumlah artefak, kerangka manusia purba, maupun lukisan dinding berumur puluhan ribu tahun ditemukan di gua karst.      Pengelolaan karst sebagai wisata berkelanjutan akan berdampak positif pada perekonomian masyarakat setempat. Kepulauan Raja Ampat (Indonesia), Pegunungan Guilin (Tiongkok), Teluk Ha Long (Vietnam), hingga Gua Mammoth (Amerika Serikat) merupakan contoh karst sebagai destinasi wisata dunia.

          Keempat, karst memiliki peran sebagai penyimpan karbon (carbon storage). Seperti yang kita ketahui, emisi gas karbon dioksida yang berlebih dari aktivitas manusia akan memicu pemanasan global. Karst memiliki peran menjaga kesetimbangan karbon di atmosfer melalui daur karbon.

          Setiap pelarutan satu molekul mineral pada batugamping oleh air hujan akan menyerap satu molekul karbon dioksida. Bentang lahan karst di Indonesia mampu menyimpan 13.482 giga gram karbon per tahun. Dengan demikian, karst merupakan benteng pertahanan iklim global.

Tantangan Menjaga Karst

          Merawat karst akan menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kegiatan ekstraksi (penambangan) hingga pembangunan infrastruktur yang masif. Menurut pakar Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2016, dari seluruh lahan karst yang ada di Indonesia, 9,5 persen di antaranya telah rusak.

          Nilai itu mencakup kerusakan pada 20 persen lahan karst di Pulau Jawa. Situs Mongabay (2022) mencatat 11 persen kawasan karst di Indonesia atau setara 1,82 juta hektar lahan telah diberi izin konsesi pertambangan.

          Setelah menyadari peran penting karst dalam kehidupan, sudah selayaknya karst kita lindungi. Kita telah mengetahui, perlu waktu jutaan tahun untuk membentuk karst. Namun, karst dapat hancur dalam sekejap oleh aktivitas manusia. Dengan hilangnya wilayah karst, maka hilang pula keanekaragaman hayati, sumber air, beserta keindahan alamnya.

          Yang muncul setelahnya justru bencana kekeringan, banjir, maupun tanah longsor. Melestarikan karst berarti menjaga keberlangsungan hidup di kawasan karst pada khususnya, dan Bumi pada umumnya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img