Dalam diskursus pembangunan ekonomi, perbincangan sering kali terfokus pada sektor industri besar dan investasi skala makro. Ada satu sektor yang kerap terabaikan padahal dampaknya sangat nyata dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, usaha telur ayam skala kecil. Di balik kesederhanaannya, usaha ini menyimpan potensi besar sebagai penggerak ekonomi lokal, penguat ketahanan pangan, dan pencipta lapangan kerja.
Secara pribadi, saya melihat bahwa usaha telur ayam memiliki dua wajah, sebagai aktivitas ekonomi dan sebagai instrumen pemberdayaan. Dalam konteks ekonomi, usaha ini mampu memberikan kontribusi langsung berupa peningkatan produksi, distribusi pangan, dan penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain, nilai paling penting dari usaha ini terletak pada bagaimana ia mampu memobilisasi ekonomi keluarga. Bayangkan satu keluarga di pedesaan yang memelihara 100 ekor ayam petelur. Menggunakan sedikit pelatihan dan dukungan teknologi sederhana, mereka bisa menghasilkan ratusan butir telur setiap minggu.
Saya meyakini bahwa pendekatan pembangunan ekonomi harus dimulai dari bawah. Sering kali, kita terlalu terpaku pada angka-angka pertumbuhan nasional, sementara denyut ekonomi di desa-desa berjalan lambat dan tidak terdengar. Usaha telur ayam skala kecil adalah bentuk nyata dari pembangunan ekonomi berbasis rakyat. Ia tidak membutuhkan pabrik besar, tidak perlu modal miliaran rupiah, cukup lahan kosong, pengetahuan teknis dasar, dan dukungan yang konsisten.
Kita juga tidak boleh melupakan bahwa usaha telur ayam skala kecil turut memperkuat ketahanan pangan nasional. Di tengah gejolak harga bahan pokok dan ketergantungan pada impor, kemandirian produksi pangan lokal menjadi harga mati. Usaha seperti ini membantu menciptakan sistem distribusi pangan yang lebih merata, harga yang lebih stabil, dan akses yang lebih adil terhadap makanan bergizi.
Dari semua aspek tersebut, saya ingin menekankan satu hal: keberhasilan usaha telur ayam skala kecil adalah cermin dari kesungguhan kita membangun dari akar rumput. Pembangunan tidak akan pernah berhasil jika hanya berpijak di atas kertas kebijakan tanpa menyentuh realitas hidup masyarakat. Usaha telur ayam skala kecil adalah bentuk pembangunan yang nyata, berkelanjutan, dan humanis. Maka dari itu, saya mendorong semua pihak – mulai dari pemerintah daerah, akademisi, lembaga keuangan mikro, hingga komunitas peternak – untuk melihat potensi besar ini dan memberikan dukungan nyata.
Menutup opini ini, saya ingin menegaskan bahwa telur ayam bukan sekadar bahan makanan – ia adalah simbol harapan. Harapan bagi keluarga yang ingin mandiri secara ekonomi. Harapan bagi desa yang ingin berkembang. Dan harapan bagi bangsa yang ingin berdiri di atas kaki sendiri dalam hal pangan dan ekonomi.
Namun, perjalanan ini tidak bisa terus bergantung pada semangat dan kerja keras semata. Di era disrupsi digital dan persaingan pasar yang semakin terbuka, mereka membutuhkan peta baru: teknologi dan generasi muda. Sayangnya, banyak anak muda di desa enggan meneruskan usaha keluarga karena menganggapnya tidak bergengsi. Ini adalah tantangan serius yang harus diubah menjadi peluang.
Bagaimana caranya? Digitalisasi adalah jawabannya. Usaha telur ayam tidak harus terpaku pada metode lama. Kini, pemasaran bisa dilakukan melalui platform digital, mulai dari media sosial hingga marketplace lokal. Bahkan, pemantauan suhu kandang, jadwal pemberian pakan, dan deteksi penyakit bisa dibantu dengan sensor IoT sederhana yang murah dan mudah digunakan. Jika anak-anak muda desa bisa menjadi pengelola aspek teknologi dari usaha ini, maka mereka akan merasa bangga karena ikut berkontribusi dalam inovasi, bukan hanya menjadi “tukang kandang”. Pemerintah dan perguruan tinggi juga memegang peran penting. Kolaborasi antara dunia akademik dan pelaku usaha kecil bisa menghasilkan teknologi terapan yang murah dan sesuai kebutuhan. Mahasiswa, khususnya dari jurusan pertanian, peternakan, dan ekonomi pembangunan, bisa diterjunkan sebagai pendamping usaha. Ini bukan hanya memberi pengalaman lapangan bagi mahasiswa, tetapi juga memperkuat jejaring antara ilmu dan praktik.
Akhirnya, jika lokal diberi mesin yang kuat, peta yang jelas, dan awak muda yang siap mendayung, maka mereka tidak hanya akan bertahan mereka akan melaju. Usaha telur ayam skala kecil bisa menjadi poros transformasi ekonomi desa yang bukan hanya mandiri, tetapi juga modern, hijau, dan berdaya saing global. (*/nda)