MALANG POSCO MEDIA- Usai ekshumasi dan otopsi korban Tragedi Kanjuruhan, kini Devi Athok akan menempuh jalur hukum. Ia di dampingi kuasa hukumnya Imam Hidayat dari Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK) segera membuat laporan polisi (LP).
Itu menjadi langkah lanjutan usai pelaksanaan otopsi. Tujuannya untuk mengembangkan laporan yang sudah ada terkait Tragedi Kanjuruhan.
Ketua TATAK Imam Hidayat mengatakan, pelaksanaan otopsi yang sebelumnya penuh lika-liku memang berhasil dilaksanakan. Namun tak berhenti hanya sampai di situ.
Selain pembuatan LP, pihaknya juga mengawal sampai hasil otopsi keluar. Pasalnya proses otopsi dilakukan setelah jenazah dikuburkan selama lebih kurang 35 hari.
“Semoga hasil otopsi bisa menunjukkan bahwa korban meninggal akibat paparan zat kimia dalam gas air mata yang sudah kedaluwarsa,” bebernya kepada Malang Posco Media, kemarin.
Imam mengaku saat ini telah mengetahui petugas yang melaksanakan otopsi. Petugas yang ditunjuk langsung oleh Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jawa Timur itu diharapkan bisa menunjukkan fakta yang objektif.
“Sampel akan diuji di Laboratorium Forensik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Hasilnya paling lambat diumumkan setelah delapan minggu dari pelaksanaan otopsi. Namun kami berharap, sebelum waktu tersebut tim dokter sudah bisa mengeluarkan hasilnya,” jelas Imam.
Sebelumnya dilakukan otopsi jenazah Natasya Debi Ramadhani, 16 tahun dan Nayla Debi Anggraeni, 13 tahun di TPU Dusun Pathuk RT 28, RW 8 Kelurahan Sukolilo Kecamatan Wajak Kabupaten Malang, Sabtu (5/11) lalu.
“Apa yang diperjuangkan oleh rekan kita Mas Devi Athok ini, sudah berhasil dilakukan. Selain itu pelaksanaan otopsi dirasanya juga sebagai perjuangan dari kedua putrinya, untuk mewujudkan keadilan melalui sang ayah. Yakni dengan pelaksanaan otopsi,” jelasnya.
Sementara itu saat ekshumasi dan otopsi, Sabtu (5/11) lalu berlangsung sekitar 7,5 jam.
Devi Athok sempat histeris tak kuasa melihat lagi dua putrinya tak bernyawa hendak diotopsi. “Anak ku mati, anak ku mati,” teriaknya sembari salah seorang Aremania memenangkannya.
Ia sempat pingsan dan dibawa ke sebuah mobil ambulans. Devi Athok didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan kawalan Aremania. Mereka juga membentangkan berbagai poster tuntutan usut tuntas dan mengadakan doa bersama.
Kepada awak media, Devi Athok menyampaikan kedua jasad kakak beradik yang merupakan anaknya itu ditemukan dalam keadaan tidak wajar. Hal itu yang menguatkannya untuk mengajukan otopsi. Di mana salah satunya pertama kali ditemukan kondisi dada membiru dan hidung yang mengeluarkan darah. Salah satu dari kedua putrinya juga mengeluarkan busa dari mulutnya disertai bau menyengat.
“Menurut saya ini tidak wajar. Saya merelakan anak saya diotopsi agar terungkap semua pelaku dan keadilan ditegakkan dan menjadi pemberat hukuman. Semoga terungkap bahwa memang karena gas air mata, dan semua pelaku yang di bawah sampai di atas harus dihukum seberat-beratnya,” ungkapnya dengan terisak-isak.
Proses otopsi melibatkan enam dokter forensik dari PDFI yang diketuai oleh dr Nabil Bahasuan. “Kami sudah melaksanakan serangkaian pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang. Sekarang saya minta doa masyarakat, PDFI cabang Jawa Timur untuk bisa memberikan laporan hasil otopsi,” kata Nabil usai otopsi.
Selain Nabil, dokter forensik yang dilibatkan adalah Abdul Aziz, Sp. FM dari RSUD dr Sutomo Surabaya, dr Deka Bagus Binary dari RSUD Kanjuruhan Kabupaten Malang, sekaligus Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Lalu ada dr Edy Suharto, SP FM dari RSUD Syarifah Ratoe Ebo Kabupaten Bangkalan Madura, dr Nily Sulistyorini, SP FM dari FK Universitas Airlangga Surabaya dan dr Rahmania Kemala Dewi, SP. FM dari RS Universitas Airlangga Surabaya.
Tim dokter forensik juga didampingi dua penasihat, Prof. Dr. M. Soekry Erfan Kusuma dan Prof. Dr. H. Ahmad Yudianto. Keduanya berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Tahap selanjutnya sampel yang sudah diambil dari proses otopsi jenazah akan melewati uji laboratorium. Ia memastikan lokasi, tempat dan petugas pengujian laboratorium akan dipilih dari pihak independen. “Tidak bisa kami sampaikan. Tapi pastinya independen,” tuturnya.
Untuk mengetahui hasil otopsi memerlukan waktu sekitar delapan pekan atau dua bulan. Itu merupakan estimasi waktu terlama, sehingga tetap ada kemungkinan hasil bisa keluar lebih cepat.
Perwakilan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenkopolhukam Irjen Armed Wijaya turut mengawasi proses otopsi. Ia diutus menyaksikan jalannya ekshumasi dan otopsi yang merupakan rekomendasi dari TGIPF. Pihaknya berharap agar penyebab utama tewasnya 135 korban Tragedi Kanjuruhan bisa terungkap.
Selain itu ada juga Komisioner Kompolnas Benny Mamoto dan Ketua LPSK Hasto Atmojo turut menyaksikan sekaligus mendampingi keluarga korban. (rex/tyo/van)