MALANG POSCO MEDIA -Pondok pesantren selalu lekat dengan pembelajaran tentang ilmu agama. Namun agak berbeda dengan Pondok Pesantren Darun Nun yang diasuh oleh Ustadz Halimi Zuhdy yang berlokasi di Kelurahan Karangbesuki Kecamatan Sukun Kota Malang. Pasalnya, selain menggenjot pembelajaran ilmu Qur’an dan Hadits, Ponpes Darun Nun juga sekaligus mengusung program Bahasa dan Menulis. Tiap santri di Ponpes Darun Nun, diminta untuk mempertajam kemampuan bahasa dan menulis. Tidak heran, pondok ini juga dikenal sebagai Pondok Pesantren Literasi Darun Nun. Targetnya bisa menyusun 3 buku selama mondok. Santrinya memang kebanyakan adalah dari kalangan mahasiswa. Dari berbagai daerah di Indonesia.
“Di sini memang santri wajib belajar dua ini, bahasa dan menulis. Karena kalau dua ini sudah kena (dikuasai), urusan menjadi (profesi) ini, itu, selesai. Karena dua ini adalah akarnya,” terang Ustadz Halimi Zuhdy, pengasuh Ponpes Darun Nun kepada Malang Posco Media.
Kedua bahasa yang dipelajari di Ponpes Darun Nun yakni Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Menurut Ustadz Halimi, dua bahasa ini dinilai sangat dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lebih luas. Bahasa Arab mewakili untuk ‘dunia bagian timur’ dan Bahasa Inggris untuk ‘bagian barat.’
Bila santri bisa menguasai kedua bahasa ini, maka santri bisa ikut bergaul dengan masyarakat internasional. Sementara untuk menulis, Ustadz Halimi merasa penting karena kemampuan ini melatih santri untuk menyampaikan sebuah pesan dengan baik. Tidak hanya dalam bentuk artikel, santri dibebaskan memilih ragam tulisan yang disukai.
“Memang di awal, kita persilahkan mereka mau menulis apa. Bisa menulis puisi atau menulis cerpen. Tapi berjalannya waktu mereka pun kemudian bisa menulis artikel hingga menulis esai. Saat ini banyak sekali tulisan-tulisan dari mereka di tingkat internasional dan juga berupa buku,” beber Ustadz Halimi.
Ia menceritakan, program literasi itu dipilih karena mempunyai latar belakang yang cukup miris. Sekitar tahun 2003, Irak diinvasi oleh negara superpower Amerika. Saat itu Amerika akhirnya berhasil mengendalikan opini masyarakat dunia sehingga Irak kalah. Dari situ, Ustadz Halimi menyoroti betapa pentingnya literasi untuk bisa melawan dan berkiprah dalam dunia internasional.
Tidak hanya itu, hal ini juga didorong atas kegelisahannya atas rendahnya minat literasi di masyarakat. Di tengah masyarakat justru yang banyak digencarkan adalah untuk urusan ‘perut’ dan kesejahteraan. Padahal, literasi merupakan salah satu yang utama untuk mendapat kesuksesan.
“Ulama dulu punya banyak karya dan buku. Bayangkan kalau misalkan di Indonesia ada 26 ribu pesantren, satu pondok satu tahun satu buku saja, kita tidak pernah kekurangan buku. Seluruh santri juga harapannya bisa jadi wartawan, 5W 1H nya dipakai. Kalau sumber dan datanya jelas, ini jadi literasi juga untuk masyarakat,” sebut Ustadz Halimi.
Nama Ponpes Darul Nun sendiri juga erat dengan literasi. Huruf Nun dari Darun Nun, diambil dari ayat dan surat di Al Qur’an. Nun yang artinya masih rahasia ini disebut sebelum kata ‘Qolam’ yang berarti pena di Surat AlQolam ayat 1. Maka ia berharap, di pondok pesantrennya ini bisa dikaji dan disampaikan sebuah literasi.
Tidak hanya literasi agama atau mampu membaca dan menguasai ilmu kitab saja, tapi juga harus bisa terampil menulis dan berbahasa yang baik. Dengan literasi yang mumpuni, contoh kecilnya, mereka dilatih sejak awal bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana informasi yang keliru. Ini akan menjadi sebuah kebiasaan dan kemudian berubah menjadi keahlian.
“Misalnya bisa memfilter saat menulis status (di sosmed) yang baik. Kalau esoknya mereka jadi guru, mereka bisa bikin program kepenulisan. Kalau jadi pedagang pun misalnya, minimal ada kesadaran ketika berdagang sambil menulis cerpen. Atau cara membuat narasi promosi dagangannya itu dibuat lebih bagus. Artinya, manfaatnya sangat banyak,” sebut Dosen Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim ini.
Ustadz Halimi juga secara rutin menerima hasil tulisan tulisan santrinya. Biasanya Ia mengontrolnya dengan melalui laporan di aplikasi WhatsApp. Sehingga akan diketahui mana santri yang sudah menulis dan mana santri yang belum menulis. “Kalau belum menulis, itu ada hukumannya sendiri. Ini semua terpantau di sini,” jelasnya.
Menurut Ustadz Halimi, dengan program literasi seperti ini, ia meyakini para santri ke depan bisa menjadi seorang ilmuwan agama atau ulama yang memiliki intelektualitas luas. Ini merupakan bagian dari visi misi Ponpes Darun Nun. Sebab, program kajian ilmu Qur’an dan Hadits juga tetap menjadi prioritas.
Ada program Tahfidzul Qur’an (menghafal Qur’an), lalu Khotmul Qur’an (Baca Qur’an), Kajian Turots, Istighotsah, Tahlil, Maulid Diba’, hingga Talaqqi Kitab Kuning. “Lulusan santri itu diharapkan selain agamanya bagus, akhlak bagus, wawasan intelektual bagus, selain itu ketika berdakwah perilaku mereka dan juga berdakwahnya dengan tulisan yang bagus. Karena era ini tantangan terbesar di literasi. Kalau yang membuat literasi adalah masyarakat awam maka betapa kacaunya kita nanti,” pungkasnya. (ian/lim/habis)