Ethek,…ethek,…ethek,…ethek! Begitu bunyi mainan lama yang kini jadi tren. Saya menyebutnya permainan ethek-ethek. Saya pernah memainkannya dulu, lama sekali. Sekarang, sejumlah figur publik ikut memainkan dolanan anak-anak ini. Presiden Jokowi dan Ridwan Kamil juga turut mengikuti tren ini. Belakangan saya baru mengetahui mainan ethek-ethek ini namanya lato-lato. Saat ini ethek-ethek alias lato-lato jadi booming gegara viral di beragam platform media sosial (medsos).
Inilah tren. Tak disangka mainan jadul ini kini banyak dimainkan lagi. Saat ini tak sedikit yang demam lato-lato. Mainan berupa dua bola kecil yang terbuat dari plastik ini harganya sangat murah. Ada yang menjualnya hanya seharga Rp 10.000 saja. Bunyi ethek,…ethek,…saat permukaan dua bola plastik berpadu itulah yang menjadi salah satu kenikmatan saat memainkan dolanan bocah ini. Beragam video atraksi permainan lato-lato bermunculan di beberapa laman medsos seperti Instagram, TikTok, dan YouTube.
Kini, penjual lato-lato menjamur. Di pasar, toko mainan, mal, dan supermarket ramai menjual mainan ini. Bahkan di sejumlah laman online shop juga menjajakan lato-lato dengan beragam warna, model, dan harga. Video tutorial tentang cara bermain lato-lato juga bermunculan di laman YouTube. Harga yang tak seberapa dan cukup mudahnya memainkan dolanan ini menjadikan banyak orang membeli dan memainkan lato-lato. Mainan ini cukup menghibur dalam mengisi perayaan pergantian tahun dan liburan sekolah kali ini.
Bukan Permainan Asli Indonesia
Merujuk sejumlah sumber, permainan lato-lato ada di Indonesia sejak sekitar tahun 1990-an. Permainan ini awalnya dimainkan anak-anak di kawasan pedesaan. Ternyata dolanan anak-anak ini bukan mainan asli Indonesia. Awalnya lato-lato ada di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an. Namanya click clacks atau clackers ball toy. Permainan ini tak bertahan lama di Amerika karena tahun 1970 permainan ini dilarang dimainkan oleh pejabat sekolah setempat karena memakan korban jiwa.
Dahulu lato-lato sempat dianggap permainan yang berbahaya karena bolanya terbuat dari kaca. Saat terbentur berisiko pecah, serpihannya bisa mengenai pemain atau orang di sekitarnya. Perkembangan selanjutnya, supaya permainan ini tidak membahayakan, bola diganti berbahan plastik. Menurut catatan New York Times pada 12 Februari 1971, mainan lato-lato pernah mengakibatkan empat orang cedera.
Sumber lain menyebutkan bahwa permainan lato-lato berasal dari kata “bolas” yang merupakan permainan dari Argentina. Merujuk laman Flight Toys disebutkan bolas awalnya memiliki tali sepanjang 84 centimeter dan berat sekitar 500 gram. Bola terbuat dari pasir padat seperti batu dan dilapisi kulit. Bolas merupakan alat berburu yang digunakan oleh orang Tiongkok, Eskimo, dan Indian di Amerika Selatan. Bolas adalah alat lempar yang terbuat dari pemberat di ujung tali yang saling berhubungan, dirancang untuk menangkap hewan dengan menjerat kaki dan sayapnya.
Lato-lato paling terkenal digunakan oleh pemburu di Amerika Selatan. Para pemburu menggunakan bola untuk menangkap ternak atau hewan buruan yang sedang berlari. Caranya dengan mengayunkannya dan kemudian melepaskan bolanya. Bola biasanya digunakan untuk menjerat kaki hewan, tetapi jika dilempar dengan kekuatan yang cukup dapat mematahkan tulang. Jadi lato-lato pada awalnya merupakan jenis senjata, bukan mainan.
Di Indonesia, lato-lato merupakan permainan tradisional yang banyak dimainkan anak-anak di desa-desa. Permainan jenis ini cukup familiar di kalangan anak-anak desa karena harganya yang terjangkau. Untuk memainkannya juga tak butuh keterampilan khusus. Cukup dengan mencobanya beberapa kali, lato-lato bisa dipastikan akan dapat dikuasai. Inilah yang menjadikan lato-lato menjadi salah satu dolanan anak-anak Indonesia yang cukup banyak penggemarnya waktu itu.
Tren Besutan Medsos
Booming-nya lato-lato tak terlepas dari viralnya permainan ini di medsos. Di era penetrasi medsos yang semakin kuat saat ini, apapun yang viral selalu mengundang banyak orang untuk mencoba mengikutinya. Viralitas medsos telah menjadi cara agar sesuatu menjadi perhatian banyak orang. Selama ini banyak tren di masyarakat yang muncul berawal dari sesuatu yang viral di medsos. Inilah salah satu kekuatan medsos. Media yang banyak digandrungi mayoritas masyarakat ini sangat perkasa dalam membius khalayaknya.
Medsos memang perkasa dalam menggaungkan pesan-pesannya. Sejumlah atraksi main lato-lato yang dilakukan sejumlah orang, termasuk yang dilakukan para pemengaruh (influencer) cukup ampuh membuat lato-lato semakin diminati banyak orang saat ini. Tren lato-lato merupakan salah satu tren besutan medsos. Tak hanya demam lato-lato saja, sejumlah tren sebelumnya juga banyak berawal dari konten di medsos. Sebut saja tren seperti CitayamFashion Week yang sempat booming waktu itu juga atas kontribusi medsos.
Namanya juga tren, fenomena demam main lato-lato tak akan berlangsung abadi. Pasti akan muncul tren-tren baru. Munculnya sesuatu jadi tren memang bisa timbul tenggelam. Lahirnya tren-tren baru tak lepas dari kontribusi media apalagi media digital dan medsos yang saat ini banyak digunakan masyarakat sebagai media rujukan yang utama. Melalui medsos beragam konten dan narasi muncul berusaha merebut perhatian penggunanya.
Kini keperkasaan medsos terbukti dengan munculnya demam lato-lato. Jenis permainan jadul dan tak bernilai ini kini jadi tren. Fenomena tren permainan lato-lato bisa jadi ide bagus untuk memunculkan jenis-jenis permainan tradisional yang lain. Kalau lato-lato bisa jadi tren, mungkin permainan tradisional lain juga bisa jadi tren seperti gangsingan, benthik, jumpritan, engklek, congklak, gundu, egrang, dan permainan tradisional yang lain.
Melestarikan aneka permainan tradisional lewat strategi viralitas medsos perlu diupayakan sebagai salah satu cara agar beragam dolanan anak-anak tetap lestari. Di samping itu, upaya kembali mengenalkan permainan tradisional pada anak-anak dapat mengurangi ketergantungan mereka pada gadget dan aneka game online. Hal ini penting dilakukan mengingat tak sedikit anak-anak yang sudah pada level kecanduan pada smartphone dan aneka hiburan di dalamnya.(*)