spot_img
spot_img
Friday, March 29, 2024
spot_img
spot_img

Wani Piro dan Kepekaan Sosial

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Wani Piro?” Sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh Teguh Sugiarto yang popular dipanggil Totos Rasiti, aktor film dalam sebuah iklan rokok versi ke 10. Iklan kreatif yang menampilkan sosok Jin berpakaian beskap lengkap itu selalu tampil lucu dan menghibur masyarakat. Apalagi dibarengi dengan satu ungkapan: Wani Piro?.

Iklan ini begitu ikonik sejak kemunculannya tahun 2008 lalu di layar TV. Dan versi ke 10 nya tampil menggelitik dengan ungkapan ‘Wani Piro’ yang kemudian jadi kalimat yang trending di masyarakat. Kini versi iklan dengan sosok Jin itu masih ada, tapi sudah versi yang berbeda. Namun ungkapan ‘Wani Piro’ masih terus diungkapkan masyarakat. 

Dalam iklan yang kreatif tersebut digambarkan seseorang sedang meminta bantuan pada Jin dan berkata  “Pengen sogokan hilang dari muka bumi.” Kemudian Si Jin menjawab  ”Bisa diatur, wani piro? Wani Piro adalah bahasa Jawa yang artinya berani berapa?    

Dilihat dari dialog percakapan antara manusia dan jin, Bahasa verbal iklan produk ini merupakan bentuk sindiran bagi manusia yang begitu akrab dengan perilaku sogok-menyogok alias suap menyuap, hingga dalam iklan tersebut-pun Si Om Jin sampai-sampai bernegosiasi harga dengan orang yang meminta bantuannya. Mungkin dia sudah terinspirasi kelakuan manusia di dunia.

Di jalan, di sekolah, di pasar serta di tempat-tempat lain kita sering mendengar orang berkata “wani piro” ketika ada keluarga atau kawannya meminta bantuan. Tampaknya ungkapan dalam iklan tersebut sukses mempengaruhi masyarakat hingga begitu melekat dan sering diungkapkan dalam percakapan sehari-hari.

“Wani piro” secara implisit menunjukkan bahwa terjadinya perkataan itu pasti sebelum yang dimintai bantuan melakukan pekerjaan yang diminta oleh orang yang mengharapkan atau meminta bantuan. Inilah yang disebut ”negosiasi harga.” Jika harga cocok maka penyedia jasa akan melakukan apa yang diminta klien, namun jika harga kurang cocok maka penyedia jasa bisa membatalkan perjanjian.

Kalau kita kembali ke masa lalu, hal seperti ini sudah terjadi sejak beribu-ribu tahun yang lalu, seperti yang terjadi ketika masa Nabi Musa. Dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa ketika Raja Fir’aun mengundang para penyihir ke istana guna mengalahkan kehebatan Nabi Musa terjadi dialog “kesepakatan harga” antara para penyihir dan Fir’aun.

Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Asy-Syu’ara’ 41-42. Di ayat 41 artinya: Maka ketika para pesihir datang, mereka berkata kepada Fir’aun, “Apakah kami benar-benar akan mendapat imbalan yang besar jika kami menang?” Dan ayat 42 artinya: Dia (Fir’aun) menjawab, “Ya, dan bahkan kamu pasti akan mendapat kedudukan yang dekat (kepadaku).’’

Dari dua ayat tersebut dapat ditarik keterangan bahwa sebelum melaksanakan apa yang diminta Fir’aun para penyihir ingin tahu apa dan berapa imbalan yang akan mereka terima jika berhasil mengalahkan Nabi Musa. Fir’aun pun menjanjikan imbalan dan kedudukan yang dekat untuk mereka agar mereka semakin semangat dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mengalahkan Nabi Musa ‘alaihis salam.  

Walaupun para penyihir tidak mengatakan “wani piro”, namun esensi apa yang mereka katakan sama. Intinya mencari kesepakatan harga dan meminta upah sebelum melakukan pekerjaan. Kalaupun Fir’aun tidak memberikan imbalan ada kemungkinan para penyihir tersebut enggan melaksanakan perintah Sang Raja karena memang tidak ada unsur keikhlasan di dalamnya.

Dari sisi edukasi, ungkapan “wani piro” cenderung mengajarkan masyarakat untuk meminta upah sebelum mereka melakukan pekerjaan. Jika upah yang akan diterima tak sesuai dengan keinginan maka mereka tak bersedia membantu. Namun jika upah yang akan diterima dirasa sepadan maka dengan senang hati mereka melaksanakannya.

Negosiasi upah merupakan hal yang biasa yang dapat seseorang lakukan ketika melamar pekerjaan. Apalagi jika orang tersebut merupakan seorang profesional dalam bidang tertentu. Negosiasi gaji bukan sekadar menentukan besaran income yang akan didapat, tetapi berkaitan dengan profesionalitas dalam bidang yang ditekuni.

Dalam ekonomi Islam, upah disebut juga dengan ujrah yang pembahasan lebih jauh dalam ekonomi sering dikaitkan dengan kontrak perjanjian kerja yang dilakukan. Dalam ekonomi Islam, penentuan upah pekerja sangat memegang teguh prinsip keadilan dan kecukupan.

Prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan akad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang berakad). Akad dalam transaksi kerja adalah akad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha, sehingga sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja.

Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah. Oleh karena itu, dalam suatu perjanjian harus mengakomodir pembayaran pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai dengan kerjanya.

Sebenarnya tak ada yang salah untuk meminta upah atas apa yang kita kerjakan secara profesional. Namun sebagai masyarakat timur yang begitu kental dengan budaya sosial dan saling tolong menolong kita harus sadar bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keihkhlasan dalam melaksanakannya tanpa harus mengharapkan imbal jasa atau disebut sukarela. Terutama pekerjaan yang berkaitan atau untuk memenuhi kepentingan orang banyak dan pelayanan umum.

Pada umumnya keteraturan, kedamaian, keamanan dan kesejahteraan dalam bermasyarakat, sangat dibutuhkan sikap saling tolong-menolong, perasaan senasib seperjuangan, saling bekerja sama dan lain-lain. Hal ini sering terlihat secara langsung dalam masyarakat, seperti kegiatan kerja bakti, atau memberi bantuan baik berupa barang maupun jasa pada orang yang sangat membutuhkan.

Jika semua pekerjaan selalu didahului “wani piro” maka banyak nilai-nilai luhur manusia yang akan hilang seperti halnya keikhlasan dan rasa persaudaraan. Orang tak akan rela membantu tetangganya yang kesulitan jika tak mendapatkan imbalan dan orang tak akan mau melakukan sesuatu jika hal itu tak mendatangkan keuntungan atau profit oriented.

Kita harus menyadari bahwa Allah SWT menciptakan kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Masing-masing dari kita juga memiliki tanggung jawab untuk meringankan beban saudara. Karena siapa saja yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah SWT akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.(*) 

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img