Malang Posco Media – Demiliterisasi yang dilakukan oleh Rusia ke Ukraina belum juga berakhir. Terbaru, Presiden Rusia, Vladimir Putin bahkan terlihat lebih berani dengan menyiapkan senjata nuklir mereka, memboikot beberapa maskapai penerbangan agar tidak lewat di atas langit Rusia dan mulai melakukan serangan siber ke beberapa negara yang memboikotnya.
Tentu, Ukraina tak tinggal diam. Beragam langkah dilakukan oleh Zelensky, Presiden Ukraina, mulai dari secara terang-terangan ingin bergabung ke Uni Eropa, meminta bantuan amunisi dan senjata ke beberapa negara hingga membuka open recruitment relawan internasional, masyarakat yang ingin membantu Ukraina melawan Rusia. Jalur damai juga sudah diupayakan, pertemuan kedua belah pihak tercatat telah berlangsung di Belarusia. Meskipun begitu, gencatan senjata belum juga menjadi titik temu.
Dunia kemudian beramai-ramai memboikot Rusia dengan beragam cara. Mulai dari jalur ekonomi dengan mengeluarkan Rusia dari SWIFT, korps elit perekonomian dunia terutama transaksi perbankan, bahkan di level olahraga Rusia juga dijatuhi sanksi. Sayangnya, sanksi ini hanya dijatuhkan kepada Rusia. Tidak dengan Israel, yang di waktu hampir bersamaan, melakukan tindakan agresi, aneksasi dan represi membabi buta ke para penduduk Palestina di Masjidil Aqsa, dimana para masyarakat sedang melakukan ibadah memperingati Isra’ Mi’raj.
Sebagai seorang Muslim, lazim kita ketahui bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi di Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Masjidil Aqsa kini, berada dalam bayang-bayang kekejaman Israel. Namun, manakah negara yang bergeming untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel? Tidak ada.
Standar ganda ini tentu membuat kita harus membuka mata, bahwa intoleransi sejatinya sedang dipertontonkan oleh bangsa barat. Bahkan, dalam beberapa cerita di media, mereka mengutuk keras serangan Rusia ke Ukraina karena atas dasar Ukraina adalah penduduk berkulit putih, bermata biru, yang notabene adalah saudara mereka, yang tidak sama dengan konflik di Timur Tengah.
Tentu, pernyataan tersebut sangat menyakitkan. Rasa sayang berlandaskan kemanusiaan sudah dibuat framing tersendiri oleh bangsa barat, masyarakat Eropa. Sehingga, bangsa timur, termasuk Indonesia, tak sewajarnya membalas aksi serupa. Kita bisa menunjukkannya dengan langkah solidaritas, langkah yang lebih memanusiakan manusia. Melalui pertunjukan wayang misalnya, sebab melalui wayang, selain bisa promosi budaya, ternyata pertunjukan wayang juga bisa jadi agenda untuk menyampaikan pesan moral.
Indonesia bisa melakukan soft-diplomacy wayang ini. Caranya juga cukup mudah, adakan saja Wayang Festival. Buat acara selama beberapa hari, metodenya bisa blended, daring dan luring. Dalam wayang festival tersebut, Pemerintah Indonesia, bisa menunjukkan jati dirinya, memperkenalkan warisan budaya dunia, wayang, yang merupakan milik Indonesia.
Penting pula, masyarakat tahu, tokoh-tokoh dalam lakon perwayangan. Lengkap dengan asal usul dan nilai historisnya. Lebih penting lagi, lakon atau jalan ceritanya, tidak perlu menyindir tokoh tertentu, apalagi mengutip nama tokoh tertentu. Bukan rasa sayang yang muncul, justru pertunjukan wayang tersebut bisa jadi pemicu amarah masyarakat.
Cukup diceritakan, bagaimana leluhur kita, menyelesaikan konflik. Dibuatlah kisah sedemikian rupa dalam pertunjukan wayang tersebut. Siapa tahu, Putin dan Zelensky (yang mantan pelawak itu), tertarik untuk menyimak pertunjukan wayang rasa sayang yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia.
Jika sudah tertarik, siapa tahu, dari pertunjukan wayang tersebut, akan muncul solusi perdamaian untuk kedua negara. Sebab, jalur negosiasi sepertinya menemukan jalan buntu. Kedua belah pihak sama-sama bersitegang. Maka butuh jalur yang santai dan mendamaikan. Wayang bisa jadi hiburan.
Terlepas dari terealisasi atau tidaknya gagasan wayang rasa sayang dalam Wayang Festival tersebut, ada pelajaran yang bisa kita ambil dan menjadi benang merah, antara wayang dengan konflik Rusia-Ukraina. Apa itu? pelajarannya cukup sederhana.
Pertama, wayang merupakan soft-diplomacy bertajuk kearifan budaya. Dahulu wayang dijadikan sebagai sarana bagi Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga untuk berdakwah, menyampaikan ajaran Islam. Melalui wayang, Wali Songo menyampaikan pesan-pesan penuh kedamaian, ajaran agama Islam. Melalui wayang pula, akulturasi budaya zaman Hindu-Budha ke dalam ajaran agama Islam coba diterapkan.
Kedua, wayang merupakan hiburan. Sampai saat ini, di masyarakat, terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, apabila ada hajatan, wayang bisa menjadi salah satu opsi hiburan. tentu, sang punya hajat haruslah orang yang mampu secara finansial. Sebab untuk menggelar pertunjukan waynag, tidak murah, butuh biaya yang cukup lumayan.
Sebagai sarana hiburan, wayang harusnya tidak digunakan untuk alat propaganda politik. Apalagi menciptakan lakon yang tidak lazim hanya untuk memenuhi hasrat politik kedengkian. Alur cerita wayang dibuat secara sistematis, biasanya dimulai dari malam dan berakhir menjelang fajar. Semata-mata, sebagai hiburan, sehingga gelak tawa biasanya muncul dalam pertunjukan wayang, bukan cacian atau makian.
Ketiga, wayang pernah diklaim oleh negara tetangga. Agar kejadian tersebut tidak terulang, perlu pula dipikirkan wayang versi metaverse. Pertunjukan wayang virtual. Generasi muda perlu dikenalkan dengan sejarah dan warisan budaya kita. Maka apabila menonton pertunjukan wayang secara langsung saat ini bukan menjadi kegemaran anak muda, bisa jadi wayang metaverse lebih menarik hati.
Yang paling penting, pertunjukan wayang haruslah menggembirakan, menumbuhkan rasa sayang, bukan sebaliknya. Semoga, perdamaian dimanapun tempatnya, segerea terwujud, konflik segera berakhir, dan kehidupan yang aman serta tentram menjadi kehidupan yang secara wajar kita jalani sehari-hari.(*)