Belajar Tak Putus Asa
Asalkan mau belajar dan tak putus asa pasti membuahkan hasil. Sri Wijayati membuktikannya. Di sela kesibukannya sebagai pegawai honorer di Kelurahan Turen Kabupaten Malang, ia terus membatik sekaligus menularkan ilmunya.
MALANG POSCO MEDIA – Sri Wijayati pegawai honorer luar biasa. Di sela pekerjaannya sebagai honorer di Kelurahan Turen Kabupaten Malang, dia aktif di dunia batik. Ia bahkan satu-satunya perajin batik di Kabupaten Malang yang mendapatkan sertifikat SNI.
“Kami mengirimkan contoh batik ke Balai Besar Kerajinan dan Batik, Kementerian Perindustrian tahun 2019 lalu. Setelah dilakukan uji, batik kami lolos,’’ kata pemegang sertifikat SNI nomor 024/T/XI/2019 ini.
Sri mengaku mulai mengenal kerajinan batik tahun 2014 lalu. Persis setelah dia mengikuti pelatihan. Saat itu, Sri sudah menjadi honorer di Kelurahan Turen. Namun dia ingin mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi perajin batik.
“Tahun 2014 lalu, saya mendapatkan gaji sebagai honorer sekitar Rp 600 ribu per bulan. Sementara kebutuhan ekonomi meningkat, anak-anak membutuhkan biaya sekolah. Saat ada pelatihan batik yang digelar di Kecamatan Turen, saya semangat untuk ikut,’’ kata dia.
Ia mengikuti pelatihan bersama beberapa warga lainnya. Semua materi yang diberikan tentang membatik diikutinya dengan penuh semangat. “Pelatihan tiga hari. Selanjutnya pemateri meminta kami membentuk kelompok,’’ ujarnya.
Dengan kelompok yang berjumlah lima orang ini Sri membuat karya. Termasuk anggota kelompoknya juga membuat karya. “Waktu itu kami mendapat fasilitas membatik. Dimanfaatkan untuk berkarya, dan hasilnya kami jual dengan cara meletakkan di salah satu etalase di kelurahan tempat kami bekerja,’’ ungkap wanita kelahiran 17 Agustus 1965 ini.
Sri mengakui jika menjual kain batik tidak seperti menjual makanan. Penjualannya cukup lama. Bahkan sampai tiga bulan. Namun demikian dia tidak patah semangat. Bersama empat kawan lainnya, terus memproduksi batik. Alasannya agar skill yang diperoleh dalam pelatihan tidak hilang.
“Batik yang kami produksi pertama memang ala kadarnya. Agar batik kami laku, kami menjual rugi. Sehingga produksi berjalan,’’ katanya. Di awal produksi pihaknya meminjam uang ke bank. Namun demikian, bukannya untung, tapi modal Rp 10 juta itu justru habis dalam waktu satu tahun. Alasan modalnya bisa habis, karena terus menerus menjual rugi karya batiknya.
“Contoh jual rugi yaitu modal membuat satu kain batik Rp 125 ribu, tapi kami jual Rp 100 ribu. Kami jual rugi agar cepat laku dan cepat produksi lagi,’’ ungkap dia.
Sri dan empat kawannya tidak menyerah. Mereka tetap bersemangat. Tahun 2015 lalu Sri kembali meminjam modal lagi di Kopwan Mawar Berseri, agar bisa produksi. Modal yang dipinjam Rp 3 juta. Dan di pinjaman modal ke dua ini, Sri bertekad memajukan usahanya. Seiring dengan pinjaman cair, ia memperdalam ilmunya dengan mengikuti pelatihan membatik.
Pelatihan membatik tak hanya diikuti Sri di Kabupaten Malang tapi dia juga ikut sampai ke luar daerah. Usahanya pun membuahkan hasil. Dari pelatihan yang diikuti, keahlian membatik semakin meningkat. Dia pun mendapat banyak pesanan batik.
Bahkan selama pandemi Covid-19 usaha batik milik Sri tidak mati. “Kalau permintaan menurun betul. Tapi tidak mati, karena banyak warga yang meminta, juga instansi,’’ kata ibu dari Moh Ismail ini. Sri mengaku agar usahanya semakin lancar, dia mendaftarkan merek. Tujuannya agar dia memiliki nama untuk produksinya. Bahkan beberapa motif batiknya sudah mendapatkan sertifikat HAKI.
“Ada tiga yang sudah mendapatkan sertifikat HAKI. Yaitu motif pring andeman, motif daun sirih kenanga dan motif topengku bambu,’’ kata ibu dari Vechy Tornado. Motif yang mendapatkan sertifikat HAKI ini adalah hasil desainnya. (ira/van)