Monday, August 25, 2025

Wujudkan Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kemerdekaan dalam setiap benak  manusia adalah bebas dari tekanan, baik secara fisik maupun nonfisik. Tapi apakah kemerdekaan yang hakiki bisa didapatkan seseorang dalam kehidupannya? Keyakinannya bahwa kemerdekaan yang hakiki tidak akan pernah didapatkan manusia.

          Sejak mulainya peradaban bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan menguasai sumber makanan pastinya dibutuhkan aturan yang kuat dan sengaja meringkus kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang hakiki hanya mitos belaka. Sebab kemerdekaan pada akhirnya adalah menuntut untuk tetap patuh terhadap aturan berserikat.

          Seperti kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri NKRI kita bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat tercipta, tanpa terkecuali, tanpa rasa beda. Merujuk pada BPUPKI sejak sidang pertama hingga kedua telah berkomitmen untuk menyusun dasar negara serta rancangan undang-undang. Kala itu para pendahulu sepakat menerapkan dasar negara, salah satunya adalah memperjuangkan keadilan secara merata.

          Cita-cita ini tidak muluk-muluk tetapi kodrati manusia bahwa negara wajib hadir dalam rangka memperbaiki sendi-sendi keadilan bagi setiap rakyatnya. Hal ini normal dijalankan di setiap negara dengan memberikan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Dengan pengertian bahwa merdeka bukanlah merdeka yang sebebas-bebasnya, maka sejak seseorang mampu merayakan kemerdekaan sebagai warga negara yang mampu menyadari dengan sepenuhnya bahwa kebebasan yang bertanggung jawab menjadi kawah candradimuka.

          Kemerdekaan pun senantiasa akan ada batasan atau ditata untuk penyelenggaraan sebuah negara. Dari sekian hal yang ingin diperjuangkan rakyat dalam berserikat dan bernegara adalah keadilan. Keadilan menjadi titik penting dalam sebuah peradaban yang penuh dengan aturan dan meringkus kemerdekaan itu sendiri.

          John Rawls dalam buku Theory of Justice (1971) mencoba memperbarui pandangan teori keadilan klasik dari Plato dan Aristoteles dengan pendekatan bagaimana menciptakan tatanan masyarakat yang adil bagi semua orang. Keadilan menjadi kunci dan pilar utama, tetapi rakyat juga butuh kesejahteraan, kebebasan, keamanan, dan pelayanan publik agar hidup bersama dalam negara benar-benar bermakna.

          Dalam buku ini juga menguak bahwa keadilan yang dijalankan negara berbasis tujuan untuk kepentingan rakyatnya. Rawls juga  salah satu penolak sistem utilitarianisme atau paham yang mengutamakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbesar, karena bisa mengorbankan hak-hak minoritas demi kepentingan mayoritas.

          Disadari atau tidak, di negara yang menggunakan sistem demokratis bisa dikatakan bahwa setiap rakyat bebas mengutarakan pendapat, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan rakyat benar-benar menjadi subyek utama dari pilar sebuah negara. Faham ini dimulai sejak Romawi kuno tepatnya 507 SM di Polis Athena.

          Generasi terbaru lebih terngiang dengan paham yang dicetuskan Montesqieu dengan karya yang terkenal dengan karya De l’Esprit des lois (The Spirit of Laws,1748) yang di dalamnya menjabarkan tentang pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bagian alat kerja (eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Teori ini yang sampai saat ini dipercaya khalayak akan menepis terjadinya kekuasaan yang absolut serta terjadinya check and balances pada negara.

          Montesqieu menjadi tokoh yang menarik untuk diperbincangkan ketika melempar gagasan agar terjadinya check and balances pada suatu negara berhasil dijalankan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mampu membuat tatanan yang benar dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Pemerintah secara berkesinambungan melaksanakan tatanan yang telah disepakati. Serta Yudikatif secara aktif melaksanakan tugasnya mengadili dari setiap pelanggar undang-undang tanpa tebang pilih.

          Jika teori ini yang diyakini oleh sebagian besar bangsa Indonesia sebagai alat pelecut untuk menjadi bangsa yang lebih bermartabat sepertinya semua harus ada dan tepat pada rel tanpa adanya tumpang tindih. Dari sekian teori dan berbagai paham terkait pembentukan negara, pengelolaan negara adalah referensi penguat untuk negara bahkan rakyatnya dalam bertumbuh menjadi dewasa. Dewasa sesuai dengan kemerdekaan yang dicita-citakan para pendahulu kita.

          Usia kemerdekaan pada angka 80 tahun adalah momentum terbaik memberikan gagasan yang dewasa dan bertanggung jawab. Menciptakan keadilan yang masif pada berbagai sendi kehidupan bagi setiap rakyatnya, bukan hanya untuk sebagian kelompoknya.

          Usia 80 tahun sepertinya jaminan untuk tumbuh lebih dewasa, cita-citanya sudah jelas termaktum dalam dalam undang-undang dasar serta asas negara kita. Harapan rakyat yang lebih berkeadilan dari sisi penegakan hukum, peningkatan kesejahteraan secara ekonomi kerakyatan, jaminan kebebasan mengeluarkan pendapat, keamanan intern dan ekstern negara yang memperlancar efektivitas pekerjaan rakyatnya wajib diupayakan. Serta peningkatan pelayanan publik.        

   Sesederhana itu keinginan rakyat tapi mengandung tantangan yang sangat berat dalam implementasinya. Merdeka bukan sekadar perayaan dan rutinitas yang kita lakukan setiap tahun. Tapi lebih menjiwai pada porsi mewujudkan cita-cita para pendahulu penggagas negara ini. Semoga kemerdekaan tahun ini sesuai slogan yang digaungkan “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.”(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img