Cerpen Oleh Pepen S. Abdurrahman
Pagi itu gerimis, seorang perempuan saat pulang pengajian ikut temannya, seorang lelaki dengan kendaraan mobil mewah.
Turun dari mobil, nampak suaminya sedang membersihkan rumput di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaikum”, sapanya kepada sang suami setelah sebelumnya menawarkan untuk mampir kepada lelaki teman pengajian yang memberikan tumpangan itu.
“Waalaikum’salam”, jawab suaminya yang disambut dengan ciuman tangan oleh istrinya.
“Itu siapa, Bu?”, tanya suaminya.
“Teman pengajian, aku diajak pulang bersama dia, katanya kasihan karena gerimis”, jelas istrinya.
“Selain Ibu, apa ada yang lain ikut di mobil itu?”, tanya suaminya.
“Tidak ada. Entah kenapa banyak ibu-ibu yang searah pulang, tapi hanya aku yang ditawari tumpangan”, kata istrinya terlihat raut bangga di wajahnya.
Ya, memang istrinya itu cantik, suaminya selalu merasa bangga jika sedang berjalan dengan istrinya. Istrinya rajin mengikuti pengajian. Mulai dari pengajian perkumpulan haji, sekloter, sekabupaten, sekecamatan sampai sedesa. Dia juga rajin mengikuti pengajian baik umum atau khusus ibu-ibu. Istrinya sudah berhaji, umroh dua kali, rajin baca quran, sholat tahajjud dan hampir tak ketinggalan sholat duha, biar Alloh memberi limpahan rejeki, katanya.
“Hati-hati, Bu!”, suaminya mengingatkan saat tahu bahwa di dalam mobil itu hanya dia berdua dengan lelaki itu.
“Ah, Bapak suka cemburu, kalau aku jalan dengan lelaki lain. Kalau aku mau dengan orang kaya, sudah aku lakukan dari dulu dan aku tak mungkin menerima lamaran Bapak kalau aku gila harta dan mau pilih suami kaya”, ujar istrinya.
Selalu saja kalimat itu yang dia sampaikan kepada suami jika suaminya merasa cemburu terhadap dirinya karena bukan sekali dua kali ada lelaki lain yang menaksirnya. Karena suaminya itu merasa hanya seorang yang tak punya, maka dia hanya senyum menanggapinya.
Saat sedang berlaha-leha berduaan di dalam kamar tidur, istrinya bercerita.
“Bapak yang mengantarku tadi itu orangnya culas”, ujar istrinya.
“Banyak ibu-ibu yang pulang pengajian searah pulangnya, tetapi hanya aku yang ditawari tumpangannya”, lanjut istrinya.
“Saat di dalam mobil, dia curhat soal istrinya sedang sakit kanker, katanya dia sudah lama tidak bisa “bermain” dengan istrinya”, ujar istrinya lagi dan suaminya kembali mengingatkan agar berhati-hati menghadapi lelaki semacam itu. Bahkan suaminya menyayangkan kenapa istrinya mau diajak menumpang hanya berdua saja dalam mobil. Tapi selalu saja sang istri menjawab hal yang sama jika dianggap suaminya cemburu, kalau aku mau dengan orang yang kaya … dan seterusnya.
“Sudah begitu, eh dia malah minta nomorku”, lanjut istrinya.
“Kamu kasih?”, tanya suaminya.
“Yah, Pak. Untuk apa memberi nomor kita ke suami orang. Nanti aku repot harus dengar terus curhatannya soal istri yang katanya sudah lama tidak bisa dipakai. Malah bisa-bisa aku dituduh “pelakor””, lanjut istrinya yang kemudian diacungi jempol oleh suaminya sambil kemudian dikecup lembut kening istrinya.
Suaminya semakin sayang dan bangga kepada istrinya. Beberapa kali dia peluk erat sambil dikecup kening dan pipi istrinya, seakan sedang memberi penghargaan atas kesetiaan istrinya atas dirinya.
Sepekan kemudian, suaminya harus pergi ke luar kota untuk mencari nafkah di sana sebagai buruh kontrak tanah pertanian.
Semenjak mereka terpisah, mereka berkomunikasi lewat telepon. Sesekali ber-video call, jika dirasa sudah sangat kangen untuk saling bertatapan.
Hampir dua bulan suaminya di rantau. Sepekan terakhir istrinya mulai sulit dihubungi. Kalaupun menjawab sms atau telepon itu sudah sangat larut malam dan itupun tak pernah berlangsung lama. Suaminya memaklumi, karena istrinya kini bertambah momongan dengan kehadiran cucu yang keempatnya dan hampir semua cucunya itu yang merawat adalah istrinya, karena orangtua mereka bekerja.
“Pak, apakah bapak masih hubungan dengan Ibu?”, tiba-tiba dia dapat sms dari salah seorang anak sambungnya.
“Masih. Memang kenapa?”, balas lelaki itu.
“Soalnya sejak sebulan lalu, Ibu bukan hanya diantar ke rumah setiap pulang pengajian, tapi terus jalan dengan Bapak itu hingga larut sore, bahkan tak jarang hingga larut malam. Hampir tiap hari Ibu pergi dengan lelaki itu. Kepada kami, anak dan cucu-cucunya sudah tak peduli. Ibu hanya peduli kepada lelaki itu yang tiap hari, bisa pagi, siang, sore, bahkan menjelang menjemput Ibu untuk pergi bersama.”
Sesaat berdesir darah lelaki itu saat membaca sms dari salah satu anak sambungnya. Ada rasa sakit menusuk ulu hatinya. Tapi dia coba melanjutkan membaca isi pesan dari anak sambungnya itu. Pesan yang sangat panjang.
“Kemarin kami, yaitu semua anak dan menantu ibu berkumpul untuk menasihati Ibu. Tetapi Ibu tetap tak mau mendengar nasihat kami. Ibu berkata, selama ini Ibu hanya menemani dan menghibur lelaki itu, karena kasihan istrinya sedang sakit kanker parah. Tapi katanya, sejak sepekan yang lalu istrinya meninggal dunia dan Ibu semakin dekat dan semakin sering pergi dengan lelaki itu. Jadi selama sebulan ibu selalu bersama lelaki itu dan tak peduli lagi kepada kami. Ibu seperti sudah kehilangan kewarasannya. Kehilangan rasa malunya. Untung jika pergi dengan mobil, kadang berboncengan dengan lelaki itu dengan motor”.
Sejenak ayah sambungnya memejamkan matanya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dia seperti menahan rasa sakit yang tak terkira. Dari matanya mengalir air bening membasahi pipinya.
“Bahkan sejak subuh tiga hari yang lalu Ibu sudah keluar dari rumah ini membawa kopor dijemput lelaki itu dan saya dapat kabar, hari ini ibu mau menikah dengan dia. Karena kata Ibu, bapak sudah jatuh talak dengan tidak pulang dua bulan. Hal itu dipertegas oleh lelaki, bahwa jika suami dua bulan tidak pulang itu sudah jatuh talak dan bisa menikah. Karena lelaki itu ahli agama dan berpendidikan tinggi, jadi lebih mengerti, katanya”, hampir saja telepon jatuh dari genggamannya.
Gemetar seluruh tubuh lelaki itu. Airmatanya kini semakin deras mengalir. Dia tarik nafas dalam-dalam. Dia coba menelepon istrinya, tak diangkat. Dikirimnya sms sebagai konfirmasi kebenaran beritanya, hanya dibaca tanpa jawaban.
Dia hubungi salah seorang sahabatnya, barangkali kenal dan memiliki nomor lelaki itu. Alhamdulillah nomor dia dapatkan, lalu dia telepon nomor itu.
“Assalamu’alaikum!”, sapanya sambil menahan getaran hatinya yang semakin berdegup kencang.
Yang menerima adalah istri yang sudah sangat kenal betul terhadap suara suaminya.
“Heh, kamu mau apa menelpon ke nomor ini?”, sergah istrinya tanpa menjawab salam dari suaminya.
“Aku mau bicara dengan pemilik nomor ini”, ujar suaminya.
“Kalau ada yang mau disampaikan lewat aku saja!”, suara istrinya semakin meninggi.
“Tidak, tapi tolong aku mau bicara sebentar saja dengan dia!”, pinta suaminya.
“Heh, kamu memang siapa mau menelpon dia. Dia tidak kenal kamu kenapa harus berbicara sama kamu. Kamu tahu dirilah. Lelaki kok tidak punya harga diri sampai mengemis begini. Memangnya kamu sebagai apa di depan dia?”, istrinya semakin marah dan merendahkan suaminya.
“Aku hanya mau menjelaskan kalau kamu masih ada ikatan pernikahan dengan aku!”, kata suami dengan mencoba tenang.
“Dia lebih tahu daripada kamu, karena dia berpendidikan tinggi dan lebih mengerti soal agama. Dengan kamu tidak pulang dua bulan, kata dia, aku sudah dapat talak dari kamu. Jadi kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan semua keluargaku juga sudah tidak suka kepada kamu, karena kamu tidak membahagiakan aku. Kamu menyia-nyiakan hidupku. Sudahlah, kita tak ada hubungan lagi dan sekarang terserah aku mau hidup dengan siapapun!”, klik telepon diputus.
Suaminya jatuh tersungkur, tak disangka istrinya berubah sekejam itu. Sesombong dan sekasar itu. Dia menangis meluapkan kesedihannya. Setelah itu, suaminya tidak bisa lagi menghubungi baik nomor istrinya maupun nomor rivalnya karena diblokir.
Tiga hari setelah peristiwa itu, jam sembilan pagi teleponnya berdering. Telepon dari istrinya.
“Assalamu’alaikum!”, sapa suaminya. Namun yang dia dengar adalah isak tangis istrinya. Beberapa saat dia biarkan, menunggu hingga isaknya mereda.
“Kenapa?”, tanya suaminya dengan suara lembut dan bersabar.
“Pak, sekarang ceraikan saya. Tidak apa, ceraikan saja saya lewat telepon sekarang!”, pintanya sambil kembali terisak.
“Hei, bukankah kamu sudah kawin sirri dengan lelaki itu. Kenapa baru sekarang kamu minta talak? Begini, ya, aku tak mau menceraikan kamu lewat telepon ini. Aku takut dimanipulasi lagi. Aku tidak menceraikan saja, kamu bilang kepada lelaki itu dan juga anak-anakmu bahwa sudah menceraikan kamu. Aku mau menceraikan kamu di depan anak-anakmu. Supaya jelas dan ada saksi, jadi jelas apa yang aku ucapkan tanpa harus kamu manipulasi demi keinginan kamu hidup dengan lelaki itu. Lelaki yang dulu kamu sebut culas, dan sekarang kamu bela dia dengan cara menghina dan merendahkan aku di depannya …!”, suaminya belum selesai bicara, telepon itu sudah diputuskan oleh istrinya. (*/cerpenku/bua)