ISTRI saya berteriak girang dan kaget bukan kepalang ketika di depannya berdiri tegak beberapa pohon zaitun. Rasa gembira itu menjadikannya refleks menyentuh pohon, daun dan buah zaitun. Ia seperti tak ingin melepaskannya. Saat itu saya sedang menghadiri undangan sebagai pembicara di sebuah konferensi internasional di Mardin, sebuah kota di bagian tenggara Turkiye.
Di sela-sela konferensi, kami mengunjungi Monastri Deyrulzafaran, sebuah situs keagamaan kuno yang berdiri tegak di kawasan bukit berbatu yang gersang. Namun demikian, kawasan itu menawarkan nilai sejarah yang tinggi.
Di samping itu, hamparan kebun zaitun di sekitarnya, mengundang siapapun yang memandangnya untuk berdecak kagum. Bagaimana di sebuah kawasan tandus dan berbatu seperti itu, pohon yang minyaknya mahal itu bisa tumbuh subur?
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Mei 2022, saya juga mengalami perasaan yang sama, saat berkunjung ke Maroko. Perjalanan ke Negeri Maghrib itu membawa saya ke sebuah kota yang bernama Fez. Di Fez, saya dan rombongan mengeksplorasi sejumlah situs bersejarah yang menakjubkan, dan saya selalu menemukan pemandangan yang tak terlupakan: pohon zaitun.
Pohon zaitun mudah sekali ditemukan, dan tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang menjulang tinggi, dengan dedaunan yang hijau berhias buah-buah zaitun yang bergelantungan menggoda. Tak hanya di situs sejarah. Dalam perjalanan dari Fez menuju Rabat, ibukota Maroko, yang berjarak sekitar 208 kilometer itu, hamparan kebun zaitun seperti tak pernah hilang dari pandangan.
Mungkin Anda bertanya mengapa saya dan istri begitu excited menyaksikan pohon dan kebun zaitun secara langsung? Alasannya sederhana: karena buah ini disebutkan di dalam Al-Qur’an. Namun, alasan sederhana ini teryata tidak sesederhana pertanyaan-pertanyaan lain yang menyertainya.
Misalnya, inikah pohon dan buah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an? Demikian istimewakah pohon dan buah ini sehingga Al-Qur’an, kitab suci mukjizat Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, mengabadikannya?
Maka ketika menyaksikan hal-hal yang disebutkan dalam Al-Quran, amatlah wajar jika kami tertegun. Wajar saja jika muncul pertanyaan, apakah keistimewaan buah zaitun ini sehingga Al-Qur’an menyebutkannya.
Saya yakin banyak sekali jawaban yang bisa diajukan untuk merespon pertanyaan ini, dari aspek kebahasaan hingga aspek kesehatan. Refleksi pribadi saya, Al-Qur’an adalah sebuah kitab istimewa, kitab suci, mukjizat, dan juga inspirasi pengetahuan.
Perbedaan Al-Qur’an dengan perkataan manusia adalah, manusia pada umumnya menggunakan kalimat panjang untuk sesuatu yang sebenarnya ringkas. Sebaliknya, Al-Qur’an menggunakan kalimat ringkas, tetapi memiliki penjelasan dan implikasi panjang.
Apa yang saya maksud dengan implikasi panjang? Kembali kepada buah zaitun. Sepertinya ini persoalan sederhana, Al-Qur’an hanya menyebutkan buah zaitun. Mungkin sekali dua kali membaca ayat itu, kita menyangka bahwa penyebutan Allah atas buah zaitun di Al-Qur’an itu sebuah kebetulan. Kembali kepada premis saya tadi, jika yang menyebut itu manusia, bisa saja kebetulan. Tetapi adalah Allah yang menyebut buah zaitun, maka tidak mungkin penyebutan itu tidak punya maksud atau makna khusus.
Secara kebahasaan, kata “zaitun” yang dalam urutannya di Surat at-Tin datang setelah kata “at-tin”, diawali dengan huruf “waw”, yang dalam kaidah Bahasa Arab sering diistilahkan dengan hurf qasam, yakni huruf-huruf yang digunakan oleh Allah untuk bersumpah.
Para ahli ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya, pada umumnya berpendapat bahwa ketika Allah bersumpah atas nama makhluq-Nya, maka itu bermakna bahwa informasi yang dibawa melalui sarana sumpah tadi itu adalah hal yang sangat besar. Di samping itu, benda yang dijadikan sumpah itu, juga merupakan hal yang teramat istimewa. Ilmu kesehatan modern mengungkapkan tentang manfaat buat atau minyak zaitun bagi kesehatan.
Para ahli tafsir pun demikian. Fahrur Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, menyebutkan kemungkinan tiga makna “tin dan zaitun” dalam surat ke-95 tersebut. Pertama, mengutip Ibnu Abbas, menurut Razi, tin dan zaitun adalah nama gunung di Palestina yang dalam bahasa Suriani disebut dengan gunung “Turi Tinan dan Turi Zaitan.” Secara geografis, kedua gunung tersebut merupakan tempat tumbuh buah tin dan zaitun.
Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa maksud dari kedua buah yang disebut tersebut adalah nama masjid yang berada di Damaskus dan Baitul Maqdis, lantaran keduanya merupakan tempat suci bagi umat Islam.
Sementara pandangan ketiga meyakini bahwa keduanya merupakan nama daerah di wilayah Damaskus dan Bait al-Maqdis. Menurut Syahru Ibnu Husyab, “tin” adalah nama lain dari Kuffah, sementara “zaitun” adalah nama untuk menyebut Syam. Sedangkan menurut Ar-Rabi: keduanya merupakan nama gunung yang terletak di antara daerah Hamadan dan Halawan.
Pendukung pendapat ini menyatakan bahwa tempat-tempat tersebut diagungkan secara berlebihan oleh kaum Yahudi, Nasrani dan politeis. Karena itulah, lalu Allah menurunkan wahyu yang merujuk kepada keduanya dengan pesan tersirat bahwa yang wajib diagungkan bukanlah tempat-tempat yang disimbolkan oleh tin dan zaitun itu, melainkan dzat Maha Agung yang telah menciptakan tin dan zaitun.
Oh ya, mohon maaf. Jika Anda membaca judul tulisan ini dan menyangka saya akan berbicara tentang pesantren al-Zaytun, tulisan ini pasti membuat Anda kecele. Saya ingin menumpang momen saja. Selagi pembahasan tentang al-zaytun lagi hangat, saya ingin membawa dimensi lain tentang zaitun, tepatnya buah zaitun, untuk merenungkan kembali kehadiran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.
Al-Quran akan hadir jika kita menghadirkannya. Sebaliknya, jika Al-Qur’an tak hadir, sebenarnya karena kita tak menghadirkannya. Lebih khusus lagi, tulisan ini ingin mengajak merenungkan keistimewaan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menggugah pikiran manusia untuk merenungkan setiap fenomena di alam semesta ini.
Kadang kita tak sempat merenungkannya, oleh karena hal-hal itu muncul sebagai kenormalan biasa dalam hidup manusia. Untunglah Al-Qur’an selalu mengingatkan kita. Buah zaitun adalah salah satu sarananya. Maaf sekali lagi.(*)