Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si
MALANG POSCO MEDIA – Nahdlatul Ulama (NU) salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia bahkan dunia. Organisasi yang kelahirannya dibidani Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan beberapa Ulama terkemuka, yakni KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syamsuri dalam hitungan jari akan genap usia 100 tahun, usia yang paripurna. Jika mengacu pada kalender Hijriah adalah 16 Rajab 1444 Hijriah yang berarti bertepatan 7 Februari 2023 ini.
Di usianya yang genap satu abad, bukan semata perhelatan seremonial NU yang hadir dari masa ke masa, melainkan juga menjadi refleksi apa yang perlu NU wujudkan ke depan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri NU sudah banyak berkontribusi untuk bangsa Indonesia dan dunia di segala bidang.
Berbicara mengenai NU, tentu nama Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur selalu memiliki tempat tersendiri bagi para Nahdliyindan masyarakat Indonesia pada umumnya. Gus Dur merupakan Ketua Umum PBNU selama tiga periode (1984-1994) sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih oleh parlemen pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Satu abad bisa dimaknai sebagai era perubahan untuk kemajuan NU sebagai jami’iyyah (perkumpulan) sekaligus sebagai gerakan (harakah) untuk Islam, Indonesia dan Dunia. Sepeninggal tokoh NU yang memiliki kemampuan brilian, unik, kharismatik, pluralis dan mampu menembus batas jagat dan spiritual yakni KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang sekarang dilanjutkan oleh KH. Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) sebagai penerus kepemimpinan NU telah memasuki era penting pada isu-isu keagamaan, kebangsaan dan isu global.
Maka momentum usia 100 tahun NU juga disebut Gus Yahya sebagai momentum era kebangkitan baru bagi NU. Gus Yahya tampaknya telah menangkap pesan-pesan itu setelah lama mendampingi dan bergumul dengan pemikiran-pemikiran Gus Dur.
Di era Gus Yahya, NU memiliki semangat rancang bangun dengan langkah strategis, bernuansa dan berparadigma modern sebagai upaya membangun dan meneguhkan diri sebagai arsitek perubahan dan pengembangan peradaban. Maka dari itu, kita akan melihat bagaimana sepak terjang NU setelah melewati satu abad.
Peran Internasional NU
Sejak lahir 1926, Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi keagamaan yang memiliki andil penting terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Peran kebangsaan NU dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila tidak diragukan, dan sangat menonjol sejak awal kemerdekaan hingga sekarang.
Sebagai contoh, NU menolak keras gerakan Darul Islam yang dipimpin Kartosoewirjo 1940-an. KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dan para ulama NU menyebut DI sebagai bughot (pemberontakan) yang harus dibasmi karena bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketika Wahabisme berkembang di Arab Saudi pada 1700 an kemudian menyebar ke Indonesia di awal 1900 an dengan propaganda anti bidah. Seperti anti bermazhab dan penghancuran peninggalan Islam dan pra Islam, NU di garis depan melawan arus ini, di tengah gerakan wahabi disambut baik oleh Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Ahmad Dahlan dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dipimpin H O S Tjokroaminoto.
Akibat dari perbedaan haluan ini, NU dikeluarkan dari anggota Kongres al Islam di Yogyakarta 1925, dan tidak dilibatkan sebagai delegasi Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah mengesahkan keputusan tersebut.
Sebaliknya, NU atas restunya Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari membuat tim delegasi yang dikenal dengan komite Hijaz yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah untuk mengusung kebebasan bermazhab dalam ibadah di Makkah, mengusulkan agar makam Nabi Muhammad SAW di Madinah tidak dihancurkan, dan pelaksanaan ibadah haji agar dirancang dengan baik dan diumumkan seluruh dunia.
Ketiga usulan ini diterima dan hingga kini kita menyaksikan lestarinya makam Nabi Muhammad SAW, keragaman praktik bermazhab di Makkah dan pelaksanaan ibadah haji diorganisisr dengan baik. Itulah peran awal NU di kancah internasional dalam menjaga warisan keagamaan dan peradaban Islam.
Sebagai organisasi Islam yang menjaga tradisi sunnah Nabi Muhammad SAW dan para ulama, NU membangun konsep keberagamaan dengan berdasar pada tiga fondasi yaitu amaliyah, fikrah (ideologi), dan harakah (gerakan). Prinsip amaliyah adalah praktik keagamaan dan sosial yang didasari pada al-Qur’an dan Sunnah, dan tradisi para ulama salaf yang terangkum dalam ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Sementara fikrah mengusung nilai-nilai dasar tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawaazun (seimbang), dan ‘adalah (adil).
Hingga saat ini, garis pemikiran NU ini terefleksikan dalam merespon berbagai kontestasi ideologi, perubahan sosial dan keagamaan di Tanah Air. Dalam hal gerakan, NU berkepentingan untuk terus melakukan kerja-kerja penguatan ideologi, ekonomi dan SDM warganya, sebagaimana khittahnya yang juga selaras dengan penguatan prinsip NKRI dan Pancasila.
Semasa hidupnya, terlepas dari kontroversinya sebagai manusia, tentu banyak hal yang dapat diambil dari sosok Gus Dur terutama ihwal integritas. Maka pada momentum menuju satu abad NU ini, perlu rasanya masyarakat merefleksikan kembali apa yang telah Gus Dur wariskan kepada masyarakat Indonesia.
Masa jabatan Gus Dur sebagai Presiden relatif singkat (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), dibandingkan dengan Presiden Indonesia lainnya, Gus Dur sedikit banyak berhasil mengubah “wajah” Indonesia, lepasnya Polri dari TNI, peningkatan kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil agar tidak korupsi, dan pemberantasan korupsi.
Peran Gus Dur selanjutnya saat menjabat sebagai Presiden ialah menghapus segala bentuk diskriminasi agama. Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang merupakan kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Begitu pula dengan agama Konghucu, yang akhirnya diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri No. 447/805/Sj yang membatalkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 446/74054 Tahun 1978.
Gus Dur saat menjadi Presiden pun memilih hidup dengan sederhana, jauh dari kata glamor. Bahkan menurut Mahfud MD dalam bukunya “Setahun Bersama Gus Dur”(2003), Gus Dur memilih untuk tidak mengambil gajinya. Gaji pertama Gus Dur diberikan kepada Alwi Shihab, yang kala itu menjadi Menteri Luar Negeri, dan gaji kedua diberikan kepada AS Hikam yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) untuk membeli sepatu dan jas. Gus Dur melakukan semua itu karena menganggap fasilitas yang tersedia untuknya sebagai Kepala Negara sudah lebih dari cukup.
Membangun Peradaban Baru
Harlah NU 1 Abad di Indonesia telah memberikan banyak kontribusi dan sumbangsih bagi negara ini, sehingga NU menjadi inspirasi bagi ormas lain. NU selama seabad berkiprah dalam mewujudkan masyarakat madani. Ibarat perahu, NU merupakan kapal yang tangguh dengan nakhoda istimewa. Sehingga mampu melewati zaman pergerakan, revolusi, hingga lahirnya Indonesia modern.
Apa yang disampaikan oleh Zannuba Arifah Chafshoh (Yenny Wahid) mengenai tiga agenda besar NU: renainsans (kebangkitan peradaban baru), kontekstualisasi dari berbagai macam gerakan yang menjadi dasar NU, dan kepemimpinan dunia yang mengakar pada tradisi, tetapi tetap berkiprah di skala global.
Tentu tiga agenda utama NU tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam pada milenium kedua. Teknologi makin canggih tapi tidak selalu menjadikan moralitas manusia kian beradab. Ini menjadi tantangan dalam membangun sisi religi bangsa Indonesia.
Akibatnya bangsa Indonesia bisa kehilangan arah kalau tidak hati-hati, dan NU memikirkan hal tersebut. Pemikiran NU untuk mengkontekstualisasi gerakan, mampu memberi solusi agar menyentuh masyarakat bawah sehingga tidak menjadi korban benturan peradaban. Sementara geopolitik global yang kian terpolarisasi dan mengancam eksistensi umat manusia, juga menjadi pehatian NU. Kita perlu apresiasi kepada KH. Yahya Cholil Staquf yang menjadi lokomotif perubahan yang dilakukan oleh NU, dalam misinya merawat jagad dan membangun peradaban baru. (*)