Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Kita mengenal seorang Sufi terkenal dengan konsep mahabbah (cinta Ilahi) di zamannya, yakni Rabi’ah al-‘Adawiyah (713-801M). Beliau pernah berdo’a dalam keheningan malam, bahkan dengan tetasan mata yang membasahi sajadahnya, dengan ungkapan; “Ya Allah, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepada-Mu semata-mata karena mencintai-Mu, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.”
Ramadan merupakan momentum terbaik untuk meraih kenikmatan dan kebahagiaan ibadah kepada Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan ibadah ritual (mahdhah), seperti salat, puasa, zakat, baca Alqur’an, dzikir, iktikaf, dan sebagainya, maupun ibadah sosial (mu’amalah). Seperti sedekah, infaq, dan menyantuni dan menanggung beban pendidikan anak yatim yatim.
Bahkan harus diakui, betapa sulitnya merasakan nikmatnya beribadah dan beramal saleh bila tidak didasari dengan hub (cinta menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT) dan khouf (takut bila tidak bisa menjalankan perintah dan larangan Allah SWT), iman dan taqwa kepada Allah SWT. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.
Kenikmatan Beribadah
Untuk meraih kenikmatan ibadah itu, manusia harus menempuh tangga pendakian spritual dalam tiga tahap. Pertama, terpaksa, ketika memilih jalan hidup Islam dengan bersyahadat maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh) yang telah ditetapkan Allah SWT.
Menjalankan syariat itu berat, tetapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (QS, 2:43), puasa (Q.S, 2:183), bayar zakat (QS, 2:110), haji (QS, 22:27), berbakti kepada orang tua (QS, 17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan dhuafa (QS, 2:215). Kewajiban harus dilakukan, meski “terpaksa”, dan pada puncaknya kewajiban bukan sekadar dilaksanakan untuk menggugurkan kewajiban, tetapi menjadi kebutuhan hidup manusia. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati ikhlas yang melahirkan totalitas dalam beribadah karena dasar cinta.
Kedua, terbiasa, meskipun menjalankan syariat itu berat, tetapi harus selalu dilakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi apapun. Selama ruh masih melekat pada jiwa manusia maka ibadah harus tetap dilaksanakan sesuai kemampuannya. Seiring waktu akan naik pada tangga spiritual berikutnya, yakni terbiasa.
Di tahapan “terpaksa”, beban terasa berat, terburu-buru dan asal melaksanakan. Nah, ketika ibadah sudah “terbiasa”, akan lebih ringan dan terasa lebih ikhlas yang melahirkan totalitas dalam beribadah.
Secara umum, orang terasa berat sekali bangun di tengah malam untuk salat tahajud dan sahur. tetapi, karena digerakkan oleh hati yang tulus dan rindu untuk melaksanakan ajaran agama, akhirnya jadi “terbiasa” dan istiqomah, begitu juga ibadah-ibadah lain. Nabi Muhammad SAW., pernah ditanya oleh sahabat, tentang amal yang paling dicintai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab; “Kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus meski sedikit.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, sedikitpun kebaikan seseorang apabila dilakukan secara “istiqomah”, maka akan mendatangkan keberkahan hidup, namun jangan sampai membiasakan dengan perbuatan buruk. Di sini sikap ‘terpaksa’ atau dipaksa untuk berbuat sesuatu, bila dilakukan berulang-ulang maka akan “terbiasa.”
Ketiga, terasa, bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna akal manusia. Namun demikian, ia mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan nikmatnya ibadah, maka ingin selalu mengulang-ulang ibadah itu. Misalnya ibadah puasa, haji, umroh, shodaqoh, infaq, dan seterusnya, karena melakukannya didasari dengan rasa cinta kepada Sang Maha Pencinta dan ikhlas.
Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS, 5:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka (QS, 98: 7-8). Tujuan utama untuk beribadah pada Allah bukan hanya karena takut neraka dengan keterpaksaan, dan mengharap surga dari kebiasaan ibadanya, tetapi karena didasari rasa rindu dan cinta yang membara akan hadirnya Allah SWT dalam hati ketika hamba Allah sedang beribadah kepada-Nya.
Hal ini sangat tergambar saat seorang muslim telah menunaikan ibadah haji atau umroh, maka doanya selalu disertai dengan ungkapan “mudah-mudahan setelah ini, Allah tetap memberi kesempatan lagi untuk kembali menunaikan ibadah haji atau umroh. Begitu pula seorang muslim menjelang bulan rajab dan sya’ban selalu berdoa “Ya Allah berkailah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan pertemukan kami di bulan ramadlan.”
Doa itu menunjukkan, bahwa rindunya manusia untuk beribadah pada Allah karena ikhlas dan mendapatkan ridla-Nya, ingin mengulang-ulang kembali, karena dapat menjernihkan hati, dekat dengan Allah, memiliki dimensi sosial kemanusiaan dan spiritual (kerohanian), yang berimplikasi pada kebugaran jasmani dan rohani.(*)