.
Friday, November 8, 2024

Pengendalian Diri

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

MALANG POSCO MEDIA – Bulan puasa selalu disambut meriah oleh umat Islam dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kemeriahan ini sudah dimulai sebelum puasa, yakni perayaan Nisfu Sya’ban, di Jawa ada tradisi nyadran serta nyekar.

Bulan Ramadan orang lebih ekspresif menjalankan rangkaian ibadah wajib maupun sunnah dengan berbagai aktivitas di rumah, masjid, musala, masyarakat, dan di tempat kerja. Mulai dari yang bersifat religius, seperti puasa, memperbanyak salat, membaca Alquran, i’tikaf di masjid, hingga ke dimensi sosial.

- Advertisement -

Misalnya, bersedekah, berinfak, buka puasa bersama, dan bersilaturrahmi. Uniknya, fenomena ini seperti menjadi siklus yang selalu berulang tiap tahunnya.

Kewajiban seseorang muslim dalam Islam di bulan Ramadan, yaitu berpuasa dan membayar zakat. Kita pun dianjurkan untuk melakukan berbagai ibadah yang disunahkan. Terlepas dari kewajiban dan sunah agama, dari sudut antropologi, fenomena ini sangat penting untuk menjaga kontinuitas agama, dalam hal ini agama Islam, dan membantu agar spirit Islam terus menyala dan bertahan di dalam kehidupan individu maupun sosial. 

Ketika banyak orang dilihatnya mendadak menjadi alim di bulan puasa, karena menjalankan berbagai tradisi dan ritual yang bisa menjauhkan dari segala hal yang buruk, seperti menyakiti orang lain, maka jangan heran karena itu spirit Tuhan, sehingga orang berpuasa itu jauh dari menggosipkan orang, tidak melakukan tindak kekerasan, semuanya seperti ada rem dan tameng (Junnah). Bulan puasa juga memberikan waktu bagi muslim selama sebulan penuh mengisi diri secara spiritual agar bisa menemukan fitrah kembali.

Untuk lebih paham makna puasa dalam dimensi kehidupan, maka dapat dipahami bahwa al Shaumu bermakna “berhenti dari” atau al-imsak, menahan dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Hakikinya menahan diri dari hawa nafsu atas kehidupan dunia, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunitis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan dan etika.

Energi rohaniah ibadah puasa terletak pada daya pengendalian diri (self-control) setiap muslim yang berpuasa dari segala pesona duniawi agar tak menjadi pemburu kuasa dunia yang melampaui takaran. Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.

Urusan dunia, seperti meraih harta dan takhta, pun harus diikhtiarkan dengan cara baik dan diperuntukkan bagi kebaikan sehingga segala raihan duniawi itu menjadi bekal sekaligus jalan keutamaan menuju kebahagiaan hidup sejati di akhirat kelak (QS, 28: 77).

Ajaran puasa berbeda dengan tradisi pra Islam, yakni sebagai ajaran “pengekangan nafsu” dan bukan “penebusan dosa.” Puasa dalam Islam, ”merupakan laku ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu.” Latar historisnya, bangsa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan yang melampaui batas. Karena itu, perlu didekonstruksi bukan dengan anti-pemenuhan kebutuhan duniawi, yang diperlukan pembatasan atau pengendalian.

Membangun Benteng Kokoh

Puasa merupakan jalan rohani membangun benteng kokoh di dalam diri setiap muslim dari keliaran nafsu duniawi yang sarat pesona. Hasrat makan, minum, dan hasrat biologis merupakan gambaran simbolis dari segala nafsu dunia.

Segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tidak terkendali, mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batas. Penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, menguras alam, perang, dan berbagai kejahatan di muka bumi bermula dari hasrat berlebih akan kejayaan duniawi itu.

Hawa nafsu dunia, seperti penguasaan harta, takhta, dan kuasa inderawi lainnya, jika tanpa kendali spiritual tidak akan pernah berhenti, dan selalu membara. Laksana pesona gunung emas dalam ilustrasi hadis Nabi, yakni; “jika manusia meminta gunung emas pertama, setelah memperolehnya akan meminta yang kedua, setelah itu meminta lagi gunung emas ketiga”, dan seterusnya.

Selalu banyak ruang, argumentasi, pembenaran, sekaligus faktor pendukung bagi manusia untuk memenuhi hasrat duniawinya yang tak berkesudahan. Allah memberi label ”at-takatsur” bagi mereka yang rakus dunia, yang tiada akan berhenti kecuali ajal kematian memisahkannya. Karena itu, puasa sagat cocok untuk mengendalikan dorongan nafsu hewani manusia, terutama di kalangan suku-suku bangsa yang masih setengah beradab.

Sebagai pertanda bangsa beradab apabila hidup bermartabat dan tidak rakus dalam memenuhi kebutuhan duniawi, serta memanfaatkan kecukupan kuasa dunia itu untuk hidup bermakna dan berfaedah menggapai derajat keutamaan. Meminjam teori Abraham Moslow, tingkat hidup manusia bergerak dari pemenuhan kebutuhan primer yang elementer menuju aktualisasi diri yang substantif sehingga proses pencapaian hidupnya bergerak dari struktur bawah (moral) yang serba inderawi ke tangga teratas yang bersifat rohani dan syarat makna.

Bukankah setiap ibadah mengandung nilai formal dan pesan moral?  Contoh, bentuk formal ibadah shalat adalah gerakan yang dimulai dengan salam dan diakhiri dengan ucapan salam. Sedangkan pesan moralnya adalah “mengingat Allah”, “menahan dari perbuatan keji dan munkar”, dan yang lainnya.

Bentuk formal zakat adalah transaksi menyetorkan sebagian harta kepada fakir miskin, sedangkan pesan moralnya adalah “mengikis kekikiran”, “berjuang di jalan Allah”, “kepedulian kepada orang-orang tertindas” dan lainnya.

Maka ending dari ibadah puasa agar setiap insan muslim meraih puncak kualitas diri terbaik yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa (QS, 2: 183). Di antara ciri bertakwa ialah memberi di saat lapang dan sulit, menahan marah, memberi maaf, serta tidak melakukan perbuatan buruk dan keji (QS, 3: 134-135).

Menaklukkan Jiwa Primitif

Mereka yang puasanya baik, adalah yang sukses menaklukkan jiwa primitifnya menuju kualitas diri yang secara rohaniah paripurna. Itulah puasa sebagai jalan terjal menuju pencapaian puncak rohaniah tertinggi yang tercerahkan, yakni spiritualitas luhur perpaduan harmonis antara nilai-nilai Ilahiah dan insaniah yang terpancar dalam segala kebajikan hidup di muka bumi.

Puasa sebagai jalan rohani pengendalian hawa nafsu manakala dilakukan pada tingkat khusus (khawas bi al-khawas) melahirkan sikap futhuwah, kesatriaan diri. Ketika orang berpuasa diajak berseteru atau hal-hal buruk, dia akan menjawab ”inni shaimun”, aku sedang berpuasa.

Legasi dan cita-cita hidupnya naik kelas signifikan dari kegemaran meraih kesuksesan fisik-ragawi ke spiritualitas tertinggi (irfa’), yang mencerahkan semesta kehidupan bersama. Manusia berspiritualitas tinggi orientasi hidupnya bergerak dari homo sapiens ke homo deus untuk menjadi makhluk tingkat dewa dan selalu bermakna hidupnya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img