.
Sunday, December 15, 2024

Berdamai

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

Malang Posco Media – Idul Fitri sebagai tanda berakhirnya puasa di bulan suci Ramadan. Dengan berkurangnya umur atau kesempatan mengukir sejarah kebaikan yang diberikan Allah, maka perlu selalu mawas dan introspeksi diri dalam menapaki kehidupan, karena tidak ada kebahagiaan yang lebih indah kecuali melaksanakan aktifitas dengan ridla Allah SWT., termasuk aktifitas spiritual berdzikir, bertakbir dan bertahmid karena Allah di hari raya Idul Fitri, maupun hari-hari berikutnya. Karena takbir yang terus bergema dalam qalbu, akan dapat mensucikan hati dan menjadi spirit tumbuhnya kebaikan.

Sekarang semua masih berada di dunia, tepatnya berada di atas bumi Indonesia tempat bersujud dan menyemai amal saleh. Bahwa manusia yang terbaik menurut Allah ialah yang paling bertaqwa, banyak bermanfaat, berbuat baik bagi orang lain dengan hati yang bersih, karena hati yang bersih itu tempat tumbuh suburnya iman, cinta, jauh dari kebencian dan rasa permusuhan. Jadi, kalau berpikir jernih akan semakin rendah hati untuk mengakui orang-orang yang berjasa untuk mengupayakan kebutuhan sehari-hari, kemudian merasa beruntang budi dan berterima kasih kepada mereka. Dari kejernihan pikiran seperti itu akan muncul penghargaan untuk memuliakan manusia, bahwa manusia akan hidup dalam pergaulan yang sempurna kalau bisa menghargai jasa orang lain kepada dirinya.

Berdzikir Kepada Allah

 Meskipun jasa itu kecil, misalnya jasa penyedia garam. Kebutuhan terhadap garam dalam sehari sedikit sekali, tapi makan dengan lauk (ikan) yang tidak ada garamnya akan hambar. Pertanyaannya, pernahkah di dalam hati ada rasa terima kasih kepada pembuat garam, kepada penggiling tebu, pembuat lampu listrik, pembuat telepon, sampai pembuat jarum jahit yang kecil sehingga membuat semua manusia bisa berpakaian dan enak dipandang? Hati yang damai akan diperoleh dengan mengakui kebesaran Allah serta banyak berdzikir kepada Allah.

Upaya berdamai dengan Allah melalui salat, dzikir, shalawat, baca Alquran dan lain-lain akan mempengaruhi jiwa untuk berdamai dengan seluruh manusia. Apalagi ada pesan dari Allah, “Orang-orang beriman itu bersaudara. Jadi, kalau seseorang benar-benar beriman dan berdzikir, buahnya ia tidak akan membuat penganiayaan, kekejaman, dan kekerasan yang melukai hati dan fisik manusia yang lain. Pantaskah seseorang mengaku “saya beriman”, kalau masih senang melakukan kedzaliman dan kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga seperti menempeleng istri, melukai tubuh anak, maupun kekerasan di luar rumah tangga berupa kerusuhan, penjarahan, adu domba dan lain-lain yang merusak tatanan kehidupan? Setiap manusia beriman dan bertakwa punya tugas menunjukkan dirinya sebagai manusia “Khalifatullah,” yaitu manusia yang berakhlak, kreatif, dan selalu tampil untuk menyenangkan orang lain dalam pergaulan.

Untuk itu diperlukan tata krama bergaul yang santun. Misalnya, dalam berbicara mengupayakan dirinya menggunakan kata-kata yang sopan serta menyenangkan orang yang mendengarnya, serta berupaya menghindari kata-kata kotor, tidak menyenangkan dan menyakitkan. Setiap kata-kata kotor diucapkan itu melambangkan hati orang yang mengucapkannya juga kotor. Akibatnya komunikasi dan pergaulan akan terganggu sehingga suasana damai dan rukun tidak akan terjadi.  Itulah perlunya rasa “ukhuwah,” yaitu rasa persaudaraan yang tulus.

Dalam persaudaraan yang tulus, setiap manusia akan berupaya untuk menolong, membantu, dan membahagiakan orang lain. Karena itu, setiap insan beriman punya tugas untuk introspeksi, apakah cara berkomunikasi dan cara bergaulnya bisa menyenangkan orang lain? Jika tidak, berarti kita harus semakin meningkatkan rasa taqarrub kepada Allah, sampai hati ini bersih dari dendam, egois, merasa benar sendiri, sombong, takabur, yang membuat komunikasi dengan orang lain menjadi gagal. Dan jika gagal berkomunikasi secara baik, bisa mungkin gagal sebagai manusia karena hati tidak ikhlas.

Itulah pentingnya akhlak yang mulia dan hati yang tulus ikhlas. Kebersamaan itu menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam hidup, berbangsa dan bernegara karena manusia tidak akan bisa menyelesaikan masalah besar tanpa kebersamaan. Dalam kebersamaan, peran orang lain sangat dihargai. Orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri itu disebut “egois,” yaitu sikap anti sosial. Orang yang seperti itu tidak akan bisa hidup dengan pergaulan yang baik. 

Kebersamaan dan kerendahan hati akan menjadi dasar utama setelah iman kepada Allah. Disebut dalam Alqur’an bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW., ke dunia ini sebagai “rahmat” bagi alam semesta. Rahmat adalah bentuk dari kasih sayang Allah kepada manusia, sebagai anugerah untuk menenteramkan dan membahagiakan manusia. Karena itu, manusia yang berakal sehat pasti tidak akan menyia-nyiakan agama dan ajaran agama kalau dirinya benar-benar menghendaki kebahagiaan yang hakiki terutama kelak di alam akhirat. 

Simpati dan Empati

Dalam persaudaraan kemanusiaan yang tumbuh dari Iman kepada Allah, bahkan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW., berupa ibadah puasa di bulan suci Ramadan untuk merasakan lapar seperti laparnya Rasulullah, dan haus seperti hausnya Rasulullah dalam puasa Ramadan, agar kita punya apresiasi terhadap kemiskinan, yang harus dikembangkan menjadi simpati dan empati kepada kaum miskin dan fuqara yang hidup merana di dalam lembah penderitaan.  Rasulullah Muhammad SAW., bersabda “Tidak beriman seorang di antara kalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya sendiri.” 

Sebagai tanda kepatuhan kepada Allah dan kecintaan pada sunnah Rasulullah Muhammad SAW., perlu menunaikan zakat dan sedekah agar kaum miskin bisa terentas dari penderitaan. Tak kalah pentingnya ialah sarana pembangunan untuk kemaslahatan ummat. Dari sabda Nabi di atas, dengan kepercayaan dalam hati saja tidaklah cukup untuk membuktikan iman seseorang, kecuali apa yang diyakini itu melahirkan tindakan-tindakan positif yang menjadi bentuk nyata dari nilai-nilai yang diajarkan Allah.

Segala ilmu agama yang diserap dari kutubutturots (kitab kuning), pengajian, khutbah, dan lain-lain, telah memadai sebagai modal untuk menjadi manusia yang bernilai setingkat malaikat. Akan tetapi apabila konsep-konsep ideal itu tidak sampai lahir sebagai amal perbuatan, maka konsep-konsep itu yang akan menghina dan menertawakan diri sendiri karena sebagai pelaku hidup dan sebagai pemilik ilmu, diri ini tak lebih dari kuda yang mampu membawa dan mengangkat beratus kitab dan teori, tetapi tidak pernah mencoba untuk merealisasikan isi buku yang dibawa dan diangkatnya. 

Di sini pentingnya membudayakan akal sehat, hidup rukun dengan hati damai dan bersih, tanpa kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan tak pantas dimiliki oleh orang yang beriman dan ingin hidup dalam ketaqwaan.  Maka tidaklah mustahil kalau sesekali ditemukan orang yang begitu fasihnya menyampaikan teori-teori kemuliaan hidup, tetapi dalam praktek suka makan daging saudaranya sendiri atau orang yang sangat terampil mengakrobat kata-kata indah tentang agama dan budi luhur tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari suka merugikan orang lain. 

Dari sini perlu dipahami bahwa agama itu bukan sekedar ilmu, bukan angan-angan (masuk surga), bukan kalimat-kalimat indah, tetapi kenyataan gerak, praktek, prilaku, atau tindakan yang jelas-jelas realistik, bisa diamati, menjadi uswah, dan berguna bagi orang lain untuk bangsa, Negara dan dunia. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img