MALANG POSCO MEDIA – Sejarah lahirnya Pancasila sebagai falsafah dasar negara pada 1 juni 1945 tidak terlepas dari perjuangan para “Founding Fathers” bangsa ini. Beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh bangsa bertemu dalam forum BPUPKI (Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk merusmuskan dasar negara Indonesia.
Serentetan peristiwa sejarah perjuangan dan perlawan terhadap penjajahan telah menjadi ramuan awal akan lahirnya Pancasila. Indonesia dengan keberagaman suku, budaya, agama, ras juga turut menjadi pemikiran mendalam bagi forum BPUPKI untuk merumuskan dasar negara Indonesia waktu itu.
Memang benar, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) ada 1.340 lebih suku bangsa yang bermukim di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Fakta kemajemukan Indonesia juga terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya.
Dilihat dari komposisi penduduknya, Suku Jawa terbesar mencapai 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Diikuti Suku Sunda (15,5 persen), Suku Batak (3,6 persen), suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo, serta Suku Madura (3,03 persen).
Dilihat dari pemeluk agamanya, Islam yang terbesar (87,18 persen), diikuti Kristen (6,96 persen), Katolik (2,91 persen), Hindu (1,69 persen), Budha (0,72 persen), Kong Hu Cu (0,05), dan agama lainnya. Keragaman juga terlihat dari bahasa daerahnya, menurut data yang sama dari BPS masyarakat yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga sejumlah 79,5 persen, bahasa Indonesia 19,9 persen dan sisanya 0,3% menggunakan bahasa asing.
Keberagaman yang ada di Indonesia ini telah disadari oleh para pendiri bangsa sebagai sebuah masalah yang krusial dan sensitif. Oleh karenanya salah satu cara untuk membentenginya adalah dengan mengokohkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan tetap menjaga tradisi lokal yang menjadi akar budaya dan sumber nilai-nilai luhur bangsa kita.
Keragaman dan keyakinan harus dipahami dengan memberikan apresiasi serta toleransi bukan dipertentangkan. Kalau tidak, akan menimbulkan kebencian yang menyulut perpecahan dan konflik di antara anak bangsa. Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, agama, ras dan golongan bangsa kita memang menjadi salah satu negara yang sangat rawan dengan terjadinya konflik horizontal, karena perbedaan pandangan, budaya dan sosial bisa menjadi pemicu pecahnya konflik di masyarakat.
Sebut saja beberapa konflik terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dan cukup lumayan memakan banyak korban. Di antaranya peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang diawali oleh sentimen etnis saat itu dan berujung pada kerusuhan serta penjarahan. Konflik agama di Ambon yang terjadi pada tahun 1999 juga menjadi sejarah kelam sejarah bangsa ini. Ribuan nyawa menjadi korban karena konflik yang berbau agama ini. Tragedi sampit pada tahun 2001 yang melibatkan suku dayak dan suku madura ini juga menjadi catatan menyedihkan bangsa kita. Konflik yang menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa ini diduga karena warga madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan suku dayak sebagai etnis asli di sana.
Munculnya kelompok separatis di Indonesia juga menjadi catatan yang berharga tentang sensitifnya masalah keberagaman suku, ras, agama dan golongan ini. Misalnya munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Multikulturalisme merupakan sebuah konsep di mana komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui, menghormati dan merayakan keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, ras, suku, etnis, agama, golongan, bahasa, dan lain sebagainya.
Bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-exsistensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya yang lain. Konsep tersebut memberi semacam kesinambungan dengan Pancasila yang dipandang sebagai cita-cita bangsa Indonesia.
Berdasarkan konsep tersebut, multikulturalisme menghendaki seluruh masyarakat Indonesia apapun latar belakang agama, budaya, ras dan golongannya melakukan proses belajar untuk menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada, yang dimulai dari sikap dan perilaku dalam berinteraksi.
Pancasila sebagai dasar negara dapat menjadi rujukan bersama dalam kemajemukan dan perbedaan. Pancasila sebagai falsafah dasar negara harus kita jadikan sebagai rujukan hidup bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Pancasila perlu dioperasionalkan sebagaimana setiap sila yang terkandung di dalamnya sebagai unsur yang menyatukan segala keberagaman yang ada di Indonesia.
Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang Pancasila sebagai dasar negara, sudah 77 tahun Pancasila menjadi dasar dan ideologi bangsa ini. Kelima sila yang tertuang dalam teks Pancasila telah terbukti cocok menjadi dasar bagi kita semua untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Pancasila juga telah terbukti menjadi bahasa pemersatu bagi semua anak bangsa dari agama apapun, suku apapun, pulau manapun dan ras apapun. Pancasila dengan Ketuhanan yang Maha Esanya telah menjadi payung bagi semua agama dan keyakinan untuk dengan bebas menyelenggarakan peribadatannya masing-masing.
Potret kedamaian itu bisa kita lihat di tengah-tengah Kota Malang, yang mana Masjid Jami’ Kota Malang bersebelahan dengan Gereja sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Di Nusa Dua Bali juga ada pusat peribadatan “Puja Mandala” dimana tempat ibadah dari lima agama berjejer di sana selama berpuluh-puluh tahun.
Pancasila menjadi dasar bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan instrumen bernegara yang harus dihidupkan, di implementasikan, dijaga dan dipahami sebagai bagian yang melekat dalam diri setiap orang yang ada di Indonesia. Dengan harapan keadilan sosial atas dasar kemanusiaan yang adil beradab bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Semangat dilahirkannya Pancasila 77 tahun yang lalu oleh para pahlawan bangsa harus kita maknai spiritnya hingga saat ini. Keberagaman agama, suku, ras, bahasa yang ada harus kita maknai sebagai sumber kekayaan bangsa dan bukan malah sebaliknya.
Tidak akan mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang besar, rakyatnya adil dan makmur tanpa implementasi nilai-nilai Pancasila oleh seluruh elemen bangsa, baik pemerintah sebagai penyelenggara negara ataupun masyarakat.(*)