Oleh: Yohanes Laga Payong
Kepala SMPK Frateran Celaket 21
Pemerintah telah mempromulgasikan penerapan kurikulum merdeka sebagai salah satu strategi dalam memulihkan ketertinggalan pembelajaran (learning loss) akibat pandemi Covid-19. Kurikulum merdeka ini dirancang lebih sederhana dan fleksible dengan memberikan titik fokus pada materi esensial dan memberikan keleluasaan kepada guru dan peserta didik untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang lebih menyenangkan dan bermakna. Di mana peserta didik diberi ruang untuk memilih apa yang diminatinya dalam pembelajaran.
Sisi lain dari kurikulum merdeka juga memudahkan guru dalam mendampingi, mengarahkan, memotivasi peserta didiknya dalam dinamika pembelajaran menuju tujuan pendidikan yang diharapkan. Kurikulum menekankan pengembangan kompetensi peserta didik diarahkan sesuai dengan fase-fase perkembangannya.
Kompetensi ini dikembangkan sesuai dengan bakat dan minat dan pembelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Kurikulum ini memberikan kebebasan kepada peserta didik, guru dan sekolah untuk mengatur sendiri penerapannya sesuai dengan kondisi sekolah dan tingkat kemampuan peserta didik.
Bagi guru diberikan kebebasan untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik dan bagi sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik sekolah dan peserta didik.
Mencermati arah kurikulum baru ini maka perlu adanya perubahan paradigma pendekatan dalam sistem pembelajaran kita dari teacher center menjadi student center. Artinya pembelajaran kita didesain sedemikian sehingga kehadiran guru di kelas menjadi seorang fasilitator bukan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Pola pendekatan dalam pembelajaran yang selama ini hanya melalui ceramah sehingga terkesan satu arah perlu diganti dengan pola pendekatan yang lebih interaktif. Di mana peserta didik membangun, mengkonsepkan sendiri pengetahuan melalui pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya sendiri.
Pendekatan ini dalam teori pembelajaran dikenal dengan nama teori konstruktivisme. Gagasan tentang konstruktivisme sebenarnya sudah jauh dikembangkan oleh para ilmuwan pemerhati pendidikan seperti, Dewey (1929), Bruner (1961), Vygotsky 1962), dan Piaget (1980) dan selanjutnya dikembangkan oleh para pakar pendidikan dewasa ini.
Jika kita cermati secara teliti maka benang merah dari teori belajar ini didasarkan pada gagasan bahwa seorang secara aktif membangun atau membentuk pengetahuan mereka sendiri, dan kenyataan itu ditentukan oleh pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
Seseorang menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai landasan dan membangun di atasnya dengan hal-hal baru yang dipelajari. Jadi pengalaman individu setiap orang membuat pembelajarannya menjadi unik. Pengetahuan dibangun. Ini adalah prinsip dasar, artinya pengetahuan dibangun di atas pengetahuan lain.
Siswa mengambil bagian-bagian dan menyatukannya dengan cara unik mereka sendiri, membangun sesuatu yang berbeda dari apa yang akan dibuat oleh siswa lain. Pengetahuan, pengalaman, keyakinan, dan wawasan siswa sebelumnya adalah pondasi penting untuk pembelajaran mereka yang berkelanjutan.
Dengan demikian, belajar sebenarnya melibatkan kemampuan mengkonstruksi makna dan sistem makna maka keaktifan dalam membaca, diskusi, menggali pengalaman dalam kegiatan di kelas menjadi faktor utama kesuksesan. Prinsip lain dari teori ini bahwa belajar adalah kegiatan social, dimana seseorang secara langsung berhubungan dengan orang lain, seperti guru, keluarga, teman sebaya, kenalan yang memengaruhi pembelajaran kita.
Interaksi sosial menjadi kunci untuk belajar melalui percakapan, komunikasi, dialog dan dinamika kelompok yang memperkuat pengetahuan yang sudah dibentuk sebelumnya melalui pembelajaran yang kontekstual yang melibatkan proses berpikir secara individual. Untuk mempertahankan pengetahun ini maka dibutuhkan motivasi untuk menjangkau pengalaman masa lalu dan membuat koneksi dengan untuk pembelajaran baru.
Pola baru pendekatan belajar kontruksivisme menuntut guru berubah dan beradaptasi dalam proses pembelajaran secara umum dan dalam dinamika di kelas. Perubahan paradigma ini sejalan dengan tuntutan kurikulum merdeka, dimana peserta didik didampingi untuk membangun sendiri pengetahuan, mengembangkan pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru sehingga kehadiran guru hanya sebagai fasilitator (Liadi et al., 2018).
Praktik pembelajaran di dunia pendidikan kita selama ini perlu diubah dari kegiatan memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru ke peserta didik kepada kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya yang bermakna melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, dan dalam prosesnya disesuaikan dengan tingkat pemikiran yang selalu diperbaharui (Bettencourt, 1989).
Karenanya, suasana pembelajaran di kelas adalah saat dimana guru dan peserta didik membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, menguji dan menyelaraskan pengalamannya dengan pengetahuan baru ini.
Peran guru di kelas sebagai mediator dan fasilitator dengan memberikan motivasi, menerima dan menghormati setiap upaya peserta didik dalam membentuk suatu pengertian baru bagi dirinya sendiri. Persepsi guru bahwa peserta didik sebagai lembaran putih kosong atau tabula rasa, harus dihilangkan agar kita tidak terjebak dalam fenomena memindahkan pengetahuan semata.
Guru juga dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan pandangan yang luas terhadap bahan yang diajarkannya sehingga guru selalu harus selalu mengembangkan diri dengan pengetahuan baru. Untuk mencapai tujuan pembelajaran di kelas maka guru dituntut untuk menguasai beberapa strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik.
Di samping kemampuan guru untuk membuat penilaian atau evaluasi terhadap seluruh proses pembelajaran di kelas melalui authentic assessment. Seperti observasi proses, proyek, dinamika kelompok dan portofolio agar guru dapat menunjukkan kepada peserta didik bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok dan tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi dan tidak menyalahkan yang melemahkan motivasi berpikir dan bernalarnya.
Mengamati tuntutan dari pendekatan kontruksivisme dalam kurikulum merdeka ini, kita bisa merefleksi diri sebagai seorang pendidik. Apakah kita sudah siap untuk menerapkan pendekatan ini dalam pembelajaran kita di kelas? Sudahkah kita sebagai pendidik hadir sebagai mitra belajar yang aktif, merangsang pemikiran, membiarkan peserta didik bernalar dan mengungkapkan konsep serta berpikir kritis?
Jika ini belum menjadi milik, maka kita sebagai pendidik perlu rendah hati dan belajar agar gagasan besar pemerintah melalui kurikulum ini dapat tercapai tujuannya melalui pendekatan belajar yang konstruktif.(*)