.
Friday, November 8, 2024

Radikalisme Di Elite Intelektual

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Mahathir Muhammad Iqbal

- Advertisement -

Nahdliyin Kultural Penghobi Kopi

          Sejatinya berita ini harus menjadi alarm bahwa radikalisme bisa menyusup kemana saja. Tidak peduli waktu dan tempat. Bahkan bisa menyusup ke institusi pendidikan tinggi tempat elite intelektual berkumpul. Diberitakan harian lokal Malang bahwa salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) ditangkap oleh tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror.

          Nama Mahasiswa itu adalah Ilham Alfarizi. Yang bersangkutan diketahui masuk angkatan 2019 pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kuat dugaan dia bertugas mengumpulkan dana untuk membantu biaya operasional kelompok ISIS di Indonesia. (Jawa Pos, 25 Mei 2022).

Jika kita merunut ke belakang, sejatinya berita itu tak terlalu mengejutkan. Hasil publikasi riset oleh dua lembaga yang berbeda tentang radikalisme mahasiswa, seperti yang dikutip oleh Majalah Tempo, edisi 28 Mei-3 Juni 201 dan Penelitian Alvara Research Center-Mata Air Production yang dilakukan pada Oktober 2017 di 25 Universitas se-Indonesia (4 Universitas Swasta), misalnya, menunjukkan bahwa sebesar 25 persen mahasiswa mendukung gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); 16,8 persen memilih Islam sebagai ideologi yang cocok bagi Indonesia; 17,8 persen memilih khilafah sebagai sistem pemerintahan yang ideal; dan sebesar 23,4 persen mahasiswa memiliki kesiapan untuk berjihad mendirikan khilafah.

          Setali tiga uang, penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah bersama Convey Indonesia pada September-Oktober 2017 juga menunjukkan “nuansa” yang sama. Sebesar 58,5 persen pandangan keagamaan Islam yang dianut oleh siswa dan mahasiswa adalah pandangan keagamaan radikal; 37,71 persen berpandangan bahwa jihad adalah bentuk perang melawan nonmuslim; 13,45 persen mempunyai sikap tidak setuju jika pemerintah melarang kelompok-kelompok minoritas yang menyimpag dari ajaran Islam; dan sebesar 50,8 persen penyumbang informasi dan pengetahuan agama Islam bagi siswa dan mahasiswa adalah internet.

          Bagi sebagian dari kita, ini mungkin adalah sebuah fenomena yang tak terduga sebelumnya. Bahkan hampir-hampir saja tak mempercayainya. Bagaimana tidak, lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tempat bersemainya ilmu pengetahuan, serta penjaga moralitas dan peradaban, justru menjadi tempat bersarangnya radikalisme.

Sebagai respon, Universitas Brawijaya kini akan memperketat izin kegiatan mahasiswa. Lebih dari itu, pihak kampus juga akan melakukan kolaborasi dengan pihak keamanan dan pemerintah daerah dengan melakukan komunikasi dan langkah preventif dengan cara melakukan kerjasama kegiatan deradikalisasi di kampus dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa.

Dari fenomena ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah, mengapa kampus menjadi tempat yang rentan bagi tumbuhnya paham radikalisme dan intoleran? Jawaban yang menarik diajukan oleh Azyumardi Azra, cendekiawan muslim dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pertama, menurutnya, pada dasarnya, pertautan antara kampus dan radikalisme bukanlah suatu hal baru. Pada dekade 1970-1980an, sudah muncul gerakan tarbiyah di kampus yang menolak legitimasi negara. Keberadaan gerakan radikal itu memanfaatkan situasi dimana mahasiswa mengalami “transformasi nuansa akademik” dari masa sekolah menengah menuju lingkungan sosial baru di universitas. (Kompas, 6/6/2018).

Lebih dari itu, faktor psikologis juga menjadi faktor yang menentukan. Menurut Dahlya Friedha, status masa remaja dalam kisaran umur 17-25 tahun merupakan status yang memerlukan pembinaan dan pemupukan jati diri, sebagai wahana untuk menumbuhkan nilai, persepsi, dan sikap yang positif serta produktif dalam menjalani lintasan kehidupan selanjutnya.

Bahkan dalam Teori psikososial Erikson disebutkan bahwa masa remaja adalah masa yang rawan terjadinya gejolak identitas dan kebingungan peran. Jati diri ini penting untuk dibangun karena remaja memerlukan pemahaman tentang sosok dirinya yang dilahirkan dan dibesarkan sebagai insan bangsa Indonesia.

Kedua, belum adanya kesadaran bersama dari pimpinan perguruan tinggi terhadap kelompok radikal sehingga agresivitas kelompok itu tidak disadari pimpinan kampus. Terkait hal ini, tulisan Ibnu Burdah yang berjudul “Mitos kegagalan Islam Transnasional Di Indonesia” (Kompas, 31/5/2018) bisa dijadikan titik awal untuk mengelaborasi lebih jauh.

Menurut Ibnu Burdah, ketiadaan kesadaran akan adanya infiltrasi paham radikal yang intensif di dalam kampus itu disebabkan karena kita terlalu percaya diri akan ketangguhan dengan apa yang kita istilahkan dengan “Islam Indonesia.” Kita terlalu meyakini bahwa wacana “Islam Indonesia” akan mampu membendung wacana “Islam Radikal.”

Faktanya, gagasan-gagasan Islam radikal itu telah menginternalisasi di dalam alam pikiran sebagian orang Indonesia. Gagasan-gagasan itu, paling tidak bisa kita lihat dari refleksi model keberagaman sebagai berikut: pertama, simplistic model of Islam dengan mengembalikan segala persoalan langsung ke bunyi tekstual Al-Quran dan Hadits.     Kedua, mudah melakukan eksklusi teologis terhadap praktik-praktik keIslaman Indonesia pada umumnya atau kelompok Islam lain dengan penyebutan bidah, syirik, tersesat, dan kafir. Ketiga, tidak ramah terhadap perbedaan dan keragaman.

Keempat, menjadikan Timur Tengah sebagai role model yang ideal ekspresi keber-Islaman dan meremehkan tradisi Islam di Nusantara. Dan kelima, rendahnya komitmen dan loyalitas terhadap negara-bangsa Indonesia.

Maka dari itu, mengingat kampus adalah tempat menempa diri bagi generasi penerus bangsa, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk menangkal penyebaran radikalisme di kampus-kampus. Bukan dengan strategi normalisasi kampus seperti yang pernah dilakukan rezim orde baru untuk membunuh kritisisme mahasiswa.

Sebaliknya, pemerintah harus mencari strategi lain, terutama dengan cara menguatkan perguruan tinggi sebagai pusat ilmu dan inovasi. Pemerintah harus mampu membuat kurikulum yang menguatkan logika agar mahasiswa tak mudah terperdaya pada berbagai dogma.

Pelajaran humaniora dan pengetahuan pedagogik bagi dosen harus diperbanyak agar mahasiswa memiliki pondasi pikiran yang kokoh dalam mengarungi dunia wacana dan gagasan. (Tempo, 28 Mei-3 Juni 2018). Bagaimana menurut pendapat anda? (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img