Buntut Sengketa Lahan Bakal Alun-Alun Kedungkandang
MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Sengketa lahan di lokasi rencana pembangunan Alun-Alun Kedungkandang masih bergulir. Sengketa lahan itu sudah masuk dalam proses persidangan dan terus diperjuangkan oleh 45 orang mantan anggota DPRD Kodya Malang Dati II periode tahun 1992-1998 sebagai pemilik lahan tersebut.
Perwakilan 45 Anggota Dewan yang ditunjuk sebagai Ketua Tim, Agus Sukamto menyebut, pihaknya mempunyai bukti kuat kepemilihan lahan. Yakni dengan adanya SK pelepasan tanah dari Wali Kota Madya Malang HM Soesamto yang dikeluarkan 1998 silam. Selain itu juga diperkuat dengan SK Wali Kota Malang tahun 2002 era Wali Kota Suyitno.
“Ada rencana dari Pemkot Malang akan membangun Alun-Alun Kedungkandang, kami pun mengeluarkan somasi pertama pada Februari, kemarin. Lalu somasi kedua sampai somasi ketiga tidak ada respon. Maka saat ini kami menempuh proses peradilan, dijadwalkan sidang berikutnya agenda mendengar jawaban dari Pemkot Malang,” ujar Agus Sukamto kepada Malang Posco Media, Senin (27/6) kemarin.
Agus mengungkap pihaknya lebih mementingkan asas kekeluargaan. Terlebih di usianya yang kini sudah senja, awalnya ia hanya berharap permasalahan yang telah berlarut-larut ini bisa diselesaikan di era kepemimpinan Wali Kota Sutiaji. Selama ini ia merasa dipermainkan sebab ketika pelepasan lahan pun dirinya mengaku melakukan pembayaran sebesar Rp 1 juta kepada Pemkot Malang. Lalu juga membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan). Namun sejak awal untuk sertifikat tanah tidak jelas.
“Eksekutif waktu itu bilang lahan itu eks bengkok. Pelepasan lahan 1 kavling Rp 1 juta. Kemudian kita mengurus ke BPN, dapatlah surat balasan bahwa ternyata ada surat penundaan pensertifikatan. Sampai panitia Ajudikasi, biasanya langsung keluar sertifikat, muncullah wali kota baru pak Peni meminta menunda dulu menunggu permintaan masyarakat dipenuhi APBD. Begitu sudah dilaksanakan, mestinya konsisten, kami pun mengurus lagi ke BPN,” cerita Agus.
“Saat itu disarankan pecah SPT (untuk 45 anggota dewan). Akhirnya masing masing punya SPT plus membayar BPHTB. Begitu mau diteken (tidak teken) sampai 2008 sampai keluar surat dari Depdagri bahwa seolah kami tidak memenuhi syarat pelepasan,” sambungnya.
Kondisi itu berlarut terjadi hingga beralih kepemimpinan Abah Anton. Namun juga tidak ada respon dan hasil yang diharapkan. Akhirnya pihaknya meminta bantuan Ombudsman RI dan putusan menyatakan dua hal, yakni meminta ganti rugi atau peradilan. Karena belum puas, pihaknya juga menulis surat ke Depdagri hingga terselenggara rapat bersama. Hasilnya diturunkan ke Gubernur dan putusannya sama ganti rugi atau peradilan.
“Sepulang itu saya tanya ke teman teman (anggota dewan). Namanya ortu tidak usah geger, sudah tua, ya sudah mengajukan ganti rugi saja. Sekarang NJOP sudah Rp 2,5 juta per meter kalau tidak salah. Tapi kita hanya mengajukan Rp 1 juta per meter. Kita hitung ketemulah kurang lebih Rp 16 miliar sekian. Boro boro dijawab, ditelfon saja tidak, kan sangat menyakitkan. Keputusan dari Depdagri diremehkan,” sebutnya.
Dari situlah kemudian seiring adanya rencana Alun-Alun Kedungkandang yang bakal memanfaatkan lahan hingga 4,5 hektar itu pihaknya mantap menyampaikan somasi. Sebab ia yakin sebagian lahan sebesar 2,54 hektar merupakan hak 45 anggota DPRD periode 1992-1997. (ian/aim)