MALANG POSCO MEDIA – Hari ini di Tanah Suci Makkatul Musyarofah, tepatnya di Arofah jutaan manusia telah wuquf untuk menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima. Jutaan umat Islam berasal dari seluruh penjuru dunia sedang melaksanakan ibadah haji dengan mengumandangkan Takbir dan Talbiyah silih berganti seraya bersimpuh kepada Allah SWT.
Setiap ibadah haji, selalu dikaitkan dan mengenang sejarah kurban yang diawali oleh dua hamba Allah yang sholeh melaksanakan perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim a.s. ditugaskan oleh Allah SWT untuk mengurbankan putra kesayangannya, Ismail, a.s. lewat mimpi yang benar.
Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana kegembiraan hati orang tua yang telah lama mendambakan generasi pengganti dirinya dari sekian tahun lamanya, dan bagaimana tingkat kecintaannya terhadap putra tunggal, anak kandung belahan hati, cahaya mata, pelepas rindu, tiba-tiba harus dijadikan qurban, merenggut nyawa anaknya oleh tangan ayahnya sendiri.
Namun, cintanya kepada Allah jauh lebih besar dan jauh lebih di atas segala-galanya daripada cintanya kepada anak, istri, harta benda dan materi keduniaan lainnya. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim a.s, dalam dialognya seperti yang dilukiskan dalam bahasa yang sangat indah dan menyejukkan di dalam Alquran surat Ash-Shafaat ayat 102, yang artinya “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Nilai-nilai Kehidupan
Dalam suasana yang sangat mengharukan, di detik-detik yang amat menegangkan, saat Ismail sudah dibaringkan untuk dilakukan penyembelihan seperti yang dikisahkan, bahwa bukanlah Ismail yang tersembelih, melainkan atas kekuasaan dan kebesaranNya, tiba-tiba Allah SWT mengganti dengan seekor kibas besar yang dibawa oleh malaikat Jibril.
Inilah dasar sejarah disyariatkannya berkurban bagi ummat Islam yang punya kemampuan untuk melaksanakan kurban satu tahun sekali pada hari raya Idul Adha. Berkurban memiliki makna mulia jika hakikat berkurban itu dapat dipahami dengan baik.
Berkurban bukanlah sekadar ritual tanpa makna, atau tradisi tanpa arti. Berkurban, harus mampu menggugah perasaan pelakunya untuk menghayati apa yang tersirat dan tersurat dari pelaksanaan ritual tersebut.
Rasa suka cita yang dialami oleh keluarga Nabi Ibrahim as. untuk berkorban dilandasi atas pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini: anak, istri, harta, pangkat dan jabatan semuanya datang dari Allah dan pasti akan kembali kepada Allah.
Oleh sebab itu, bagaimana pun modelnya perintah Allah harus dilaksanakan sebaik-baiknya tanpa melihat untung dan rugi, enak tidak enak, mudah dan sulit, maupun berat dan ringannya. Sikap seperti inilah yang menunjukkan jati diri Nabi Ibrahim as. sehingga dianugerahi oleh Allah yakni imam, sebagai pemimpin, teladan dan idola buat semua ummat.
Kehormatan tersebut tidak mungkin akan dapat diraih oleh Nabi Ibrahim as. tanpa didampingi oleh istri yang shalihah dan anak yang shaleh, seperti dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah (2); “Perhatikanlah ketika Allah menguji Ibrahim, dengan berbagai kalimat perintah dan harapan, maka semuanya dapat diselesaikan dengan sempurna. Maka Allah berfirman: Sesunggunya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata: dan saya mohon juga buat keturunanku. Allah berfirman: Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
Di zaman modern dan canggih saat ini, oleh masyarakat Indonesia dinamakan sebagai zaman now, tampak jelas dan tidak terbantahkan bahwa logika lingkungan cinta duniawi telah merebak dan mewabah mencemari perilaku hidup dan kehidupan manusia, di mana manusia dipandang sebagai obyek, bukan sebagai subyek.
Kadar dan nilai manusia ditentukan seberapa jauh nilai materi yang dimilikinya. Tinggi rendahnya nilai kehormatan manusia tergantung dari label-label keduniaan yang melekat pada diri manusia itu sendiri. Maka wajarlah jika manusia zaman sekarang ini merasa asing bahkan bingung hidup di atas bumi yang melahirkannya.
Oleh karena itu, penyembelihan hewan kurban yang dimulai setelah salat Idul Adha sudah sepantasnya membuat kesadaran baru untuk memahami akan hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Allah, pada tata aturan yang sempurna dan hukum-hukum adilnya menjelmakan sangsi-sangsi seimbang dalam kekuasaan Allah SWT yang tidak akan pernah tertipu kepalsuan.
Namun sayang makna dari kerelaan berkurban masih kurang mendapat perhatian dan penghayatan yang memadai, karena masih banyak di antara yang berperan di bundaran dunia fana, cuma menanti pengorbanan orang lain. Penyembelihan kurban merupakan suatu tindakan penundukan dan penguasaan kecenderungan-kecenderungan hewani dalam diri manusia itu sendiri yang dalam bahasa agama disebut al-nafsu al-ammârah dan al-nafsu al-lawwamah, yakni keinginan-keinginan rendah yang selalu mendorong atau menarik manusia ke arah kekejian dan kejahatan.
Ketulusan dan Keikhlasan
Disyariatkannya kurban guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengorbanan. Akan tetapi yang dikorbankan bukan manusia, bukan pula kemanusiaan. Namun yang dikorbankan adalah binatang, yang sempurna tanpa cacat, sebagai indikasi agar sifat-sifat kebinatangan dalam diri harus dibuang jauh jauh.
Hikmah inilah yang diajarkan dalam berkurban, seperti dalam firman Allah SWT QS . Al-Hajj 37; “Daging daging dan darah binatang kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi apa yang akan sampai kepadaNya hanyalah ketaqwaan. Demikianlah dia memperuntukkan binatang ternak itu bagiMu semoga kamu mengagungkan Allah. Allah berkenan dengan petunjukNya kepadamu, lalu berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang membuat kebijakan.’’
Di samping itu, melalui perintah qurban, Islam mengajarkan bagaimana membangkitkan kepekaan dan kepedulian sosial kepada sesama saudara. Yaitu membantu terbinanya persaudaraan yang hakiki, cinta kasih dan tanggung jawab antara sesama umat, serta terwujudnya pemerataan pendistribusian protein hewani untuk meningkatkan gizi masyarakat dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan pengabdiannya kepada Allah dan sesamanya.
Sebagai penutup, disimpulkan bahwa; pertama, seseorang dituntut berkorban, baik harta, jabatan dan kedudukan, bahkan jiwa sekalipun dan nilai pengorbanan tidak dilihat dari kuantitas, tetapi dari niat dan kualitas ketulusan dan keikhlasan.
Kedua, makna lain dari berkurban adalah upaya mereformasi diri sendiri dengan jalan menyembelih serta membunuh watak dan tabiat hewaniyah yang kita miliki. Seperti: mau menang sendiri, tamak dan rakus serta bakhil, gila kekuasaan, ambisi yang tidak terekendali, sombong dan arogansi, iri hati dan dengki, tidak mau mendengar kritikan dan nasehat, dan lain sebagainya dari segala sifat yang tidak terpuji.
Ketiga, ibadah qurban mengandung aspek ilahiah, di samping aspek insaniah. Dalam aspek insaniah (sosial) adalah menumbuhkan kekentalan persaudaraan (silaturrahim) dan meningkatkan protein dalam rangka mendorong semangat pengabdian kepada Allah dan sesama manusia lainnya.(*)