Malang Posco Media – Menarik mencermati hasil survei politik terbaru tentang Capres 2024 dari sejumlah lembaga survei. Saat ini setidaknya ada tiga nama yang tingkat elektabilitasnya tergolong tinggi. Nama-nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranomo muncul di urutan atas dari hasil jajak pendapat beberapa lembaga survei. Sementara bagi sejumlah politisi yang selama ini getol tebar pesona lewat baliho justru namanya belum mampu terkatrol.
Harmoko, Menteri Penerangan era Presiden Suharto pernah mengatakan bahwa pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan hanya akan melahirkan popularitas semu. Apa yang pernah disampaikan Harmoko ini relevan untuk melihat fenomena maraknya praktik pencitraan politik lewat beragam media, termasuk baliho. Dan ternyata pemasangan wajah narsis yang bertebaran lewat baliho politik itu ternyata tak mengatrol elektabilitas, justru jadi kutukan.
Sejumlah politisi rajin memasang baliho dalam ukuran jumbo di sudut-sudut kota. Bahkan dalam situasi kedukaan seperti bencana dan wabah Covid-19 juga dimanfaatkan sejumlah politisi untuk tebar pesona lewat baliho. Lewat media luar ruang itu seakan para politisi menunjukkan rasa peduli dan simpatinya pada situasi yang sedang terjadi. Lewat visual wajah dan teks dalam baliho para politisi narsis itu berharap popularitasnya naik.
Namun tak jarang justru baliho yang dipasang sejumlah politisi petinggi partai itu justru blunder. Alih-alih dapat simpati dan dukungan dari masyarakat, yang ada justru kutukan. Tak semua orang simpati dan bisa dikelabui dengan senyum rekayasa lewat baliho. Alhasil, para politisi yang wajahnya bertebaran di baliho itu tak banyak diperhitungkan dalam prediksi sejumlah lembaga survei politik.
Citra, Popularitas, Elektabilitas
Dalam praktik politik di Indonesia memang sarat dengan politik pencitraan. Politik yang lebih mengedepankan bungkus ketimbang isi. Permainan citra sangat dominan dalam laku politik baik pada tingkat atas hingga bawah. Aksi tebar pesona sering dilakukan para politisi lewat beragam platform media. Lewat baliho, spanduk, pamlet, gambar di kaos, layar televisi, koran, laman berita online, wajah-wajah narsis sang politisi bermunculan.
Di antara para politisi bisa menggunakan momentum apapun untuk tampil. Bahkan beberapa peristiwa bencana juga bisa menjadi ajang pamer pesona. Beragam baliho sejumlah politisi saat terjadi erupsi gunung Semeru beberapa waktu lalu misalnya. Melalui pemasangan baliho momen bencana itu digunakan untuk menampilkan kesan bahwa sang politisi peduli dengan korban bencana.
Lewat beragam baliho para politisi berharap dikenal banyak orang. Dalam sejumlah kasus, baliho memang dapat mengerek popularitas seseorang. Dalam kontestasi politik, popularitas merupakan modal yang berharga untuk memenangkan kontestasi. Mereka yang banyak dikenal masyarakat luas punya kemungkinan yang lebih besar untuk menang dibandingkan mereka yang asing di masyarakat.
Namun dalam beberapa kasus, popularitas tak otomatis dapat mengatrol elektabilitas. Apalagi kalau ternyata cara yang ditempuh seseorang menjadi populer hanya lewat pencitraan yang semu dan palsu. Tak semua masyarakat bisa dikelabui.
Banyak masyarakat yang mampu melihat aksi sang politisi itu hanya tebar pesona atau memang dengan kerja nyata. Ternyata baliho-baliho narsis yang bertebaran justru tak mendapat simpati masyarakat. Yang terjadi justru penolakan.
Padahal yang esensi dari kontestasi politik adalah elektabilitas. Tak ada artinya sang kandidat dikenal dan populer tetapi tak ada orang yang memilih. Orang tak berkenan memilih pada para sosok terkenal yang suka tebar pesona lewat baliho karena masyarakat menemukan ada ketidakjujuran dari aksi politik pencitraan yang dilakukan para politisi. Sebenarnya tak ada yang keliru orang pakai media baliho asalkan pesan yang ditampilkan adalah kejujuran bukan pencitraan belaka.
Kualitas Diri
Mengemas popularitas lewat media apapun hendaknya berdasar pada kualitas diri sang politisi. Tanpa itu maka hanya muncul pencitraan yang palsu. Kesan yang dibangun lewat media baliho hanya kebohongan dan tipu-tipu belaka. Membangun kualitas diri yang baik akan tercipta citra diri yang baik pula. Membangun popularitas lewat cara kerja nyata menunjukkan kemampuan diri akan lebih dipercaya ketimbang cara tipu-tipu.
Pencitraan lewat baliho hendaknya dilakukan secara jujur, proporsional, apa adanya. Apa yang ingin dicitrakan hendaknya sesuai dengan kenyataan. Tak manipulatif, bias, berlebih-lebihan, menutupi kekurangan, dan memanipulasi citra diri sendiri. Pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan dan di luar batas kewajaran tak sesuai etika budaya kita. Hal ini akan melahirkan popularitas semu. Dengan ini bukan simpati yang akan didapat, justru kutukan.
Ada juga yang memasang banyak baliho di sejumlah titik, di tempat-tempat strategis di banyak kota di Indonesia. Isi pesan balihonya menimbulkan perbincangan dan kontroversi banyak orang. Baliho yang seperti ini memang bisa saja mampu mengerek popularitas sosok yang ada dalam baliho tersebut. Namun penyebab jadi populer justru dari kontroversinya, bukan karena prestasinya. Cara seperti ini tentu tak dapat berimbas positif pada elektabilitas sang kandidat.
Merujuk temuan dari sejumlah lembaga survei bahwa sang kandidat yang wajahnya sering terpampang di pingir-pingir jalan ternyata elektabilitasnya melempem. Itu artinya bahwa masyarakat kita sudah mulai cerdas dan kritis. Permainan politik pencitraan yang dimainkan oleh sejumlah politisi tak semua mampu mengelabui hati masyarakat. Masyarakat tak suka segala model politik tipu-tipu.
Dalam dunia politik, pencitraan bukanlah hal yang baru dan tabu. Pencitraan merupakan fakta kehidupan yang tak mungkin dihilangkan, bahkan senantiasa diciptakan. Untuk itu banyak bermunculan sejumlah konsultan dan lembaga yang menjual jasa guna keperluan memoles citra seseorang. Namun hanya bertumpu pada citra diri apalagi citra hasil rekayasa sejatinya hanya akan sia-sia belaka.
Politik tebar pesona lewat baliho itu mestinya dibarengi dengan kemampuan membangun kualitas diri yang baik. Tanpa itu, sejuta wajah di papan baliho di pinggir-pinggir jalan itu hanya akan menjadi sampah visual belaka.
Selain itu, segala wajah narsis dan aneka janji manis yang terpampang di baliho pinggir jalan itu juga hanya akan menuai sumpah serapah dan kutukan masyarakat. Saatnya semua melakukan praktik politik yang baik, santun, bermartabat, dan jujur. (*)