MALANG POSCO MEDIA – Almeida dan BBM. Tiba-tiba dua topik ini melekat dan dekat. Eduardo Almeida akhirnya diturunkan dari posisi head coach Arema FC karena gagal memenangkan setiap pertandingan, seperti yang menjadi ekspektasi manajemen tim Singo Edan. Sedangkan BBM tiba tiba dinaikkan begitu saja dengan harga tinggi. Padahal sudah beberapa kali pemerintah ‘mengalahkan’ harapan dan ekspektasi masyarakat.
Ada rasa ketidakadilan dalam dua situasi ini. BBM naik siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Posisinya sangat jelas. Masyarakat tak butuh diberi penjelasan ilmiah akademis, karena mereka sudah merasakan dampak langsung kenaikan BBM. Mau berdalih apapun, masyarakat hanya butuh BBM tidak naik. Tidak butuh BLT sebagai pelipur lara.
Sementara Almeida, apapun kesimpulan akhirnya, dipecat, diberhentikan ataupun diistirahatkan oleh manajemen Arema FC, tapi Almeida sudah berusaha berjuang untuk memenangkan Arema FC dan hati Aremania se Indonesia. Harus diakui, Almeida pernah membuat rekor Arema FC menjadi tim yang tak pernah terkalahkan dalam Liga 1 musim 2021/2022.
Almeida juga sudah mempersembahkan prestasi membanggakan Juara Piala Presiden 2022 untuk ketiga kalinya bagi Arema FC. Meski di awal awal turnamen, Almeida dihujat, dicibir dan ditekan karena performa Arema jeblok dan nyaris tersingkir di Piala Presiden. Prestasi itu yang membuat Almeida akhirnya dikontrak langsung dua musim dengan target juara Liga 1 2022/2023.
Namun fakta berbicara lain. Strategi Almeida ternyata belum mampu membuat Arema FC moncer. Bahkan di hadapan pendukung sendiri, ribuan supporter Aremania dan di kandang Stadion Kanjuruhan, Arema FC malah dipecundangi Persija dengan skor 0-1. Sungguh kenyataan miris yang membuat manajemen dan Aremania marah dan meradang.
Kemarahan dan tekanan pun makin menyeruak. Tak ada pilihan lain, Almeida harus out. Tagar itu viral di media sosial. Tapi Almeida sebagai pelatih profesional tetap berusaha bertanggungjawab dengan menjadikan permainan Arema FC makin baik. Lagi-lagi meladeni Barito Putera di kandang Barito, Arema FC yang harusnya bisa menang, lagi lagi harus kalah. Padahal Almeida sudah mengerahkan strategi yang tak biasa. Full menyerang.
Rasanya memang tidak adil, karena kalah dan menang, sukses dan tidak sukses, bikin gol dan tidak bikin gol, tidak bisa dibebankan kepada satu orang. Apalagi dalam pertandingan ada faktor keberuntungan. Tapi dalam kacamata bisnis, manajemen juga butuh menang. Harus menang terus. Bagaimana pun caranya. Arema FC harus menang, menang, menang dan Juara. Dan pelatih harus bisa mewujudkan ekspektasi dan target tinggi itu.
Manajemen tidak bisa hanya menerima alasan-alasan teknis dan lainnya. Sebab operasional Arema FC menggunakan dana super besar. Konsekuensinya ya target menang yang harus dipenuhi sang pelatih. Ini profesionalitas dalam kontrak kerja sepakbola profesional. Memecat pelatih pun berisiko bagi manajemen Arema FC karena harus menanggung kompensasi dari pemutusan kontrak itu.
Berbeda situasinya dengan kenaikan BBM. Masyarakat tak diberi kesempatan untuk bernapas setelah pelan-pelan pulih akibat dihantam pandemi. Kenaikan harga BBM pasca perayaan Agustusan seperti mencederai slogan Agustusan itu sendiri. Bangkit Lebih Cepat, Pulih Lebih Kuat.
Bagaimana mungkin, masyarakat, termasuk kalangan bisnis, UMKM, bisa bangkit lebih cepat dan pulih lebih kuat, kalau baru start saja, baru hidup mulai normal, BBM langsung dinaikkan. Imbas dari kenaikan BBM itu, harga harga kebutuhan pokok dan sejenisnya dipastikan naik. Semua sektor juga secara langsung menaikkan harga.
Sementara masyarakat tak otomatis gajinya naik, pendapatannya naik. Yang ada justru keresahan, kegelisahan dan beban hidup yang langsung melonjak naik. BLT versi pemerintah untuk membantu masyarakat akibat dampak kenaikan harga BBM, rasanya tak berpengaruh apa apa. Sebab yang mendapatkan BLT juga tidak merata. Jumlahnya sedikit dan tak bisa merubah turunnya harga BBM.
Ini ketidakadilan yang menyesakkan. Masyarakat sangat sabar diperlakukan apapun oleh pemerintah. Karena itu, harus ada upaya yang seimbang dari masyarakat untuk menekan pemerintah. Mahasiswa harus menjalankan perannya untuk menyalurkan aspirasinya.
Didengar atau tidak didengar, mahasiswa punya kewajiban untuk berteriak. Siapa lagi di era sekarang ini yang peduli? Siapa yang membela dan memperjuangan hak-hak masyarakat ketika pemerintah selalu ‘mengalahkan’ harapan masyarakat?
Kenaikan BBM seperti ‘hantu.’ Kenaikannya dibikin sehalus mungkin sampai masyarakat tidak menyadari dan tidak melihat dengan jelas. Tak ada kesempatan untuk melakukan perlawanan dan penolakan. Padahal fakta di lapangan, masyarakat menjerit sejadi-jadinya. Menolak tak bisa, membeli tak berdaya. Sementara hidup harus berlanjut dengan kekuatan apa adanya.
Apa ini caranya hidup mengajarkan Resiliensi? Apakah tekanan dan kesulitan kesulitan hidup yang disodorkan dalam segala sektor yang memaksa kita harus menerapkan resiliensi? Kalau kenyataannya sudah begini, ketika kita tak mampu melakukan apa-apa, tak ada pilihan lain. Jawabannya kita harus punya resiliensi.
Apa itu resiliensi? Reivich dan Shatte, 2002 dalam The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles mendefinisikan resiliensi adalah kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan.
Definisi lain menyebutkan, resiliensi adalah sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, terutama melalui mental, emosional dan perilaku yang fleksibilitas, baik penyesuaian eksternal dan internal (APA Dictionary of Psychology, VandenBos, 2015 hal 910).
Wolin dan Wolin (1993) mengemukakan tujuh aspek utama yang mendukung individu untuk resiliensi, yaitu: Pertama, Insight: yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat. Kedua, Independence: yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang bermasalah).
Ketiga, Relationships: Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model yang baik. Keempat, Initiative: yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya. Kelima, Creativity: yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup.
Ketujuh, Humor: adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Kedelapan, Morality: adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan.
Banyak orang, instansi dan kalangan bisnis yang mengalami nasib seperti Almeida. Dalam hidup banyak tekanan, tuntutan dan ekspektasi tinggi yang dibebankan pada diri kita, organisasi, instansi, atau bisnis kita. Kecewa atas harapan yang tidak terwujud adalah biasa.
Ekspektasi, harapan dan target dalam hidup memang harus tinggi. Tim dalam kompetisi harus juara. Bisnis harus punya prospek bagus dan untung agar perusahaan berkelanjutan dan karyawan sejahtera. Pemerintah juga harus menyejahterakan masyarakat. Sebagaimana Almeida dan kenaikan harga BBM, semua harus dihadapi dengan jiwa resiliensi. Almeida sudah diturunkan, harga BBM sudah dinaikkan. Semangat hidup tak boleh Berhenti. Resiliensi harga Mati!(*)