Malang Posco Media-Dekadensi moral dan ideologi kebangsaan merupakan suatu bentuk kepincangan yang semestinya mendapatkan prioritas utama dalam kurikulum. Bergantinya kurikulum memberikan peluang kepada semua praktisi pendidikan untuk ikut memikirkan hal ini. Banyak bentuk penyimpangan sosial dan budaya telah mendominasi segala aspek perikehidupan kita. Sangat disayangkan, hal ini tidak kita rasakan sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan.
Harianto (2019: 39) menyatakan bahwa hal tersebut malah kita anggap sebagai suatu bentuk kewajaran yang memang sudah seharusnya terjadi sekaligus merupakan sebuah sistem sosial yang pada akhirnya menjadi sebuah standar budaya yang harus dianut oleh semua orang.
Secara formal kita banyak menggelar berbagai forum ilmiah untuk membahas hal ini. Saat ini para ahli kurikulum, praktisi pendidikan, dan mungkin juga para pemerhati pendidikan mungkin disibukkan dengan berbagai usaha untuk menyukseskan Implementasi Kurikulum Merdeka.
Secara konseptual kajian yang ada tentu saja dapat dikatakan sebagai produk terbaik dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia. Implementasi Kurikum Merdeka baik yang dilaksanakan dalam program Sekolah Penggerak, Pusat Keunggulan, maupun secara Mandiri tidak bisa dipungkiri memang merupakan pertanda baik adanya pergerakan untuk meningkatkan nilai-nilai dasar budi pekerti.
Seiring dengan hal tersebut, seharusnya kita juga harus memikirkan bagaimana hasil nyata semua konsep, baik dan penerapannya di dunia nyata, tidak sekadar dalam tataran pameran dan gelar karya belaka. Kita berharap semua proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik akan menjadi dasar atau pondasi yang kuat bagi mereka untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Bukan sekadar sekali berarti sudah itu mati, dalam arti hanya untuk kepentingan sesaat saja.
Untuk membahas masalah dekadensi moral, karakter bangsa, atau jati diri bangsa ini, tentu saja kita memerlukan referensi yang mendasar. Bahasan ini sebenarnya merupakan materi menarik sejak lama. Kita terus berdebat, berdiskusi panjang berkaitan dengan jati diri kita sebagai bangsa.
Di sekolah kita menyampaikan pentingnya pendidikan karakter secara serius. Bahkan pada Kurikulum Merdeka kita harus menerapkan Proyek Penguatan Profil pelajar Pancasila (P5). Namun terdapat esensi yang terlupakan bahwa untuk dapat mewujudkan semua konsep baik tersebut, selain usaha dan kerja keras juga diperlukan kerja sama dan dukungan dari banyak pihak.
Dalam hal ini kondisi sosial masyarakat, standar budaya dan peradaban, serta norma-norma keagamaan akan menjadi faktor penentu keberhasilan penerapan pendidikan karakter dan budi pekerti di sekolah.
Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikannya menyampaikan bahwa keberhasilan pendidikan itu terletak pada tiga hal yang dikenal dengan Tri Sentra Pendidikan. Dinyatakan bahwa di dalam hidup anak-anak terdapat tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan. Yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda.
Selanjutnya berdasarkan konsep tersebut munculah istilah Tripusat Pendidikan yang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, meliputi tiga hal, yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. Tanpa ketiga hal ini tampaknya kita benar-benar akan menemui hambatan besar untuk membentuk karakter generasi penerus bangsa ini.
Sejarah telah menorehkan fakta besar tentang kehebatan bangsa kita di masa lalu. Harianto (2019:40) menyatakan bahwa dalam sejarah kita mengenal tokoh Ken Arok, Gajah Mada, Panembahan Senopati, dan banyak tokoh besar lainnya yang mampu membentuk bagaimana bangsa Indonesia ini pada setiap masanya.
Namun keberadaan tokoh-tokoh hebat tersebut kadang mengundang kontroversi yang berlebihan. Sebagai satu contoh bahwa sebesar apa pun keagungan Ken Arok, ia tetap dikenal sebagai seorang pencuri di padang Karautan. Sehebat apapun Gajah Mada dengan sumpah saktinya Hamukti Palapa, tetap saja ia dikenal sebagai seorang tokoh yang memicu terjadinya Perang Bubat. Tetapi kadang kita lupa bahwa orang-orang besar itulah yang telah memberi warna hebat pada perjalanan panjang bangsa ini. Orang-orang hebat inilah yang jelas-jelas memberikan bentuk pada karakter bangsa kita yang sebenarnya.
Berdasar pada semua hal tersebut, saat ini kita mulai dikondisikan untuk bisa kembali pada nilai-nilai luhur bangsa ini pada masa lalu. Dalam dunia pendidikan, guru dianggap tokoh sentral pembentukan karakter bangsa ini. Tidak salah memang jika para pendidik harus mampu menjadi contoh dan mampu membentuk karakter generasi ini.
Pada kenyataannya guru memang harus menjadi tokoh yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan pembentukan karakter generasi penerus bangsa ini. Jika guru benar-benar bisa melakukan tugas sesuai dengan amanat yang diembannya, sangat mungkin bangsa ini ke depan akan menjadi bangsa besar yang berbudaya dan beradab.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa wujud jati diri bangsa ini bergantung pada bagaimana polesan yang diberikan kepada generasi penerus melalui pendidikan baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Polesan yang baik sesuai dengan jati diri dan budi pekerti luhur bangsa akan membentuk profil generasi emas 2045. Namun jika generasi ini tercoret oleh sebuah kesalahan, maka tidak menutup kemungkinan generasi emas tidak akan terbentuk sebagaimana harapan. Krisis karakter sedang terjadi dalam proses penyiapan generasi unggul saat ini. Krisis karakter ini terjadi karena pendidikan lebih berorientasi hasil atau manfaat daripada hal yang lebih mendasar dan lebih memanusiakan.
Salah satu contoh karakter sekolah yang berorientasi pada praktis pragmatis adalah “Sekolah atau kampus penuh dengan hiruk pikuk dan ramai seperti pasar karena berbagai “produk” dijual atau dipamerkan di sana” (Darmaningtyas, 2015: 4).
Berkaca dari semua hal tersebut sudah sepantasnya jika semua pihak sebagaimana yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikannya bisa ikut mengimplementasikan Tripusat Pendidikan dengan sungguh-sungguh. Apa pun bentuk kurikulum yang diterapkan oleh sekolah, baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka, konsep dasar pendidikan karakter dan konsep pembentukan jati diri bangsa ini harus menjadi menu utama dalam sajiannya.(*)