MALANG POSCO MEDIA – Menurut rencana tahapan pemilu yang dipublish di website resmi KPU RI, jika tidak halangan maka pesta demokrasi di Indonesia, yakni pemilihan umum akan berlangsung 301 hari lagi. Memang tidak bisa dipungkiri sisa waktu yang nyaris kurang 10 bulan ini membuat suhu politik di bangsa ini semakin hari semakin menghangat.
Mulai dari sidang gugatan model penyelenggaran pemilu menggunakan sistem terbuka atau tertutup yang sedang berlangsung di MK, dinamika partai politik dalam melakukan koalisi untuk mengusung capres, meruncingnya kembali antar kelompok akibat dukung mendukung para kandidat Capres, berita OTT KPK yang menyasar para kepala daerah, pejabat negara dan yang lainnya, serta yang tidak kalah hebohnya kabar transaksi mencurigakan di kementerian keuangan sebesar 349 triliun yang di “rame” kan oleh statement Menko Polhukan Prof. Mahfud MD.
Perhelatan politik yang berlangsung lima tahunan ini memang tidak bisa dipungkiri semakin banyak rona-rona ceritanya pasca reformasi 1998. Kita tahu bersama bahwa semasa jabatan rezim orde baru, dinamika politik terjadi relatif stabil, meskin prokontra akan kelebihan dan kekurangan era itu dibandingkan era sekarang juga masih kerap terjadi. Kebebebasan demokrasi pasca peristiwa 1998 yang ditandai dengan lahirnya banyak partai politik dan berubahnya model partisipasi politik masyarakat, hal ini menimbulkan norma baru di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang hari ini lebih mudah dan memiliki kesempatan yang lebar untuk berinteraksi langsung dengan para kandidat, pada akhirnya menimbulkan kebiasaan baru yang dilakukan oleh para kontestan politik dalam upayanya mendekati konstituennya (masyarakat).
Terlebih pada 14 Mei 2023 mendatang di Kabupaten Malang juga akan berlangsung Pemilihan Kepala Desa serentak yang akan berlangsung di 56 desa. Pemilihan bergengsi di level desa ini tidak kalah menariknya, bahkan tidak jarang dampak dari perhelatan pemilu di level desa ini menimbulkan perpecahan, pertengkaran dan permusuhan sengit antar kandidat dan masanya.
Tentu momentum-momentum hari besar Islam, tidak luput menjadi salah satu sarana yang dimanfaatkan oleh para kandidat untuk mendekatkan dirinya kepada masyarakat. Seperti halnya Ramadan dan Idul Fitri 1444 H yang sebentar lagi akan berlangsung, kita menyaksikan bersama bahwa momentum bulan mulia ini dimanfaatkan dengan baik oleh partai politik dan para kandidat untuk mendekatkan diri kepada masyarakat.
Lebaran tahun ini bisa dikatan sebagai “lebaran politik”, karena keberadaannya yang berlangsung di tengah-tengah tahapan pemilu yang sedang berjalan. Lebaran politik adalah sebuah simbol bahwa politik yang hari ini suhunya tidak bisa dipungkiri semakin hari semakin memanas. Fungsinya harus dikembalikan bahwa esensi dari pesta demokrasi ini ini adalah untuk melakukan suksesi yang seharusnya menjadi perekat bagi persatuan bangsa.
Lebaran yang dijadikan sebagai simbol atas rasa syukur dan ukhuwah antar sesama ummat setelah menjalani ibadah puasa Ramadan selama 30 hari, selayaknya bisa diadopsi dan diimplementasikan maknanya pada tahun politik sekarang ini. Memang kelompok-kelompok politik yang ada memiliki perbedaan ideologi, pengikut dan norma, akan tetapi niat dasar dan prinsip perjuangannya adalah sama. Yakni menjadikan bangsa dan negara yang kita cintai ini menjadi bangsa besar, maju, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana cita-cita para founding fathers bangsa ini yang juga tertuang di dalam UUD 1945.
Salah satu moment yang dinanti-nanti ketika lebaran adalah halal bihalal, agenda silaturahim bersama saudara dan masyarakat lainnya menjadi moment yang dinanti oleh setiap orang. Tradisi yang hanya ada di Nusantara dan sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini bukan hanya menjadi aktivitas untuk melebur khilaf dan salah antar sesama akan tetapi juga berdampak terhadap banyak hal termasuk ekonomi, sosial dan politik.
Halal bihalal dari akar kata halla-yahillu bisa bermakna ‘singgah’, ‘memecahkan’, ‘melepaskan’, ‘menguraikan’, dan ‘mengampuni.’ Acara halal bihalal dimaknai sebagai ajang untuk saling singgah dan menjalin keakraban, memecahkan dan menguraikan masalah bersama, melepas amarah dan kebencian, serta saling mengampuni atau memaafkan kesalahan.
Lebaran politik tahun ini harus menjadi momentum pemersatu bangsa. Situasi sosial, ekonomi, politik dan negara beberapa tahun terakhir ini cukup menyita banyak perhatian. Kontestasi demokrasi dari level pusat sampai desa faktanya banyak menyebabkan komponen anak bangsa in terpecah karena kepentingan politik.
Oleh karenanya gagasan halal bihalal yang dinarasikan oleh tokoh bangsa KH Wahab Chasbullah pada tahun 1948 itu adalah bukti bahwa kecintaan kita terhadap sesama saudara se tanah air adalah menjadi hal yang sangat penting dibandingkan dengan yang lainnya. Tali silaturahim itu lebih berharga dari hanya sekadar kepentingan golongan, entitas, politik, suku, daerah dan yang lainnya. Bahwa lebaran dan halal bihalal adalah sarana yang ampuh untuk menyatukan dan mengeratkan tali silaturahim dan persatuan bangsa.
“Lebaran politik” harus dimaknai sebagai sebuah momentum yang mampu melebur dan mereduksi skat-skat kebencian di antara kita. Berbeda pandangan politik dan keberpihakan pilihan merupakan suatu hal yang wajar dalam demokrasi. Namun persatuan dan kesatuan, kejelasan moral, kejujuran, integritas, keluhuran karakter adalah nilai tertinggi yang harus kita pertahankan dan jaga dalam momentum tahun politik yang sekarang terjadi.
Lebaran politik adalah bukan tentang aku sebagai seorang Muslim yang merayakannya, akan tetapi ini adalah tentang keluruhan nilai dan norma yang harus kita hidupkan di tengah-tengah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar bangsa kita bisa maju dan berkembang di atas kesatuan dan persatuan anak bangsanya.(*)