Cerpen Oleh: Anna Jihan Oktiana
Malang Posco Media – Seandainya aku tahu, mungkin aku tak akan memilih jalan ini. Jika aku tahu pada akhirnya kau akan pergi begitu saja. Bukannya aku berharap, namun setidaknya kau dapat pergi dengan cara perlahan bukan menghilang begitu saja.
Ketika itu, sepulang sekolah aku langsung meletakkan tas di atas kasur. Lalu aku rogoh handphone yang ada di dalam tasku. Aku membuka menu, ada satu pesan masuk entah dari siapa. Nomornya tidak ada di kontak handphoneku. Lantas aku membalas pesan itu. Aku tidak tahu siapa dan bagaimana dia bisa memiliki nomor handphoneku.
Awalnya, aku cuek saja menanggapinya. Toh kami juga belum saling kenal dan belum saling tahu. Namun, seiring berjalannya waktu, meski aku penasaran dengannya, aku yakin pasti dia ada niatan baik padaku. Aku mulai merasa nyaman dan tidak lagi cuek menanggapinya.
Ya, aku sadar. Mungkin aku terlalu bodoh, sebegitu mudahnya menerima orang lain yang jelas-jelas aku tidak tahu bagaimana rupa dan latarbelakangnya. Tapi entahlah, terkadang kebodohan itu berasal dari kenyamanan. Aku tidak terlalu mempedulikannya.
Setiap aku berangkat sekolah, pulang sekolah, ataupun pergi mataku mencoba untuk berkeliling. Untuk mencari tahu, mungkin saja dia lewat atau bahkan ada di samping, depan, atau belakangku ketika lampu merah. Namun, sayangnya aku tak pernah berjumpa dengannya.
Ketika malam tiba, bintang mencoba untuk berbisik pada bulan. Mengatakan jika malam ini sungguh sunyi. Bahkan angin pun seakan enggan untuk bertamu atau sekadar menyapa. Hujan pun bagai tak rela menjatuhkan dirinya ke tanah. Aku tidak tahu kenapa malam ini terasa berbeda.
Malam ini juga dia ingin mengajakku bertemu. Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak mungkin menemui seseorang yang belum jelas asal usulnya. Apalagi aku perempuan dan masa iya harus keluar malam? itu satu perkara mudah yang dapat membunuh diriku sendiri.
Aku sampaikan padanya jika malam ini aku tidak bisa menemuinya, dan dia mengerti. Sungguh, pria macam apa dia? Begitu berbeda dengan pria yang lainnya. Seakan dia mampu mengerti dengan segalanya meski dia pun tidak tahu siapa diriku.
Rasa penasaran itu semakin memuncak dalam pikiranku. Aku ingin tahu bagaimana dia, apakah dia memang benar-benar seperti tulisan-tulisan dalam pesannya padaku? Aku harap demikian.
***
Hari Minggu, aku mengajaknya untuk bertemu di Andhang Pangrenan, sebuah taman kota yang terletak di tengah jantung Kota Satria. Kota Purwokerto. Dan dia menyetujuinya. Baiklah, jika hari ini terjadi, rasa penasaranku akan menghilang dan aku akan merasa lega.
Hatiku serasa berdetak cepat, desir darah dan nafasku berhembus tidak teratur. Bahkan tubuhku serasa bergetar begitu hebat, padahal pertemuan ini hanya pertemuan biasa. Namun sungguh, bagai akan bertemu dengan seorang presiden.
Setelah aku sampai di depan pintu masuk Andhang Pangrenan, aku tidak yakin untuk segera menemuinya. Bahkan hati kecilku memintaku untuk pulang. Namun, aku mencoba untuk mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengannya.
Aku memejamkan mata dan menarik nafas sesaat, kemudian aku buka kembali mataku dan mulai melangkah perlahan memasuki Andhang Pangrenan. Mataku mencoba berkeliling untuk mencari sosoknya. Tapi, aku tidak tahu dia ada dimana. Begitu ramai disini, dan bukan hanya dia yang seorang pria. Ada banyak pria disini. Lantas yang manakah?
Ddrrttt, dddrrttt, dddrrttt, aku segera merogoh handphone yang ada di dalam saku celana jeansku. Ada satu pesan masuk darinya. Dia memberitahuku jika dia sudah tiba dan sedang duduk di sebuah bangku dekat dengan pepohonan. Seketika mataku kembali berkeliling, mencoba mencari tahu kepastian keberadaannya.
Ya, akhirnya aku dapat menemuinya. Ada seorang pria memakai jaket hitam, topi, dan sepatu yang senada dengan penampilannya. Apa mungkin dia ya? Pikirku. Aku mencoba untuk memberanikan diri menemuinya.
“Hai,” kataku kaku. Dia yang semula sibuk dengan handphonenya kini beralih memandangku dengan tajam.
Dia tidak berkata apapun padaku. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jika aku hanya berdiri, kakiku akan merasa pegal. Aku putuskan untuk duduk di sampingnya meski dia belum mempersilahkan untuk duduk.
“Nanda?” tanyaku padanya. Dia hanya mengangguk tanpa melihatku sebentar saja. Sunyi, tidak ada pembicaraan lagi diantara kami. Aku juga bingung harus mengatakan apa padanya.
“Sudah tahu kan sekarang?” katanya yang memecah kesunyian.
“Iya,” kataku pelan. Dia hanya tersenyum kecil dan sesaat memandangku sebelum akhirnya kembali melihat ke depan.
Aku masih terdiam. Aku menggigit bibir bawahku. Apa yang harus aku katakan? Kenapa bisa kaku seperti ini? oh sungguh, membuatku malu. Ayolah, keluarkan kata-katamu Jessy. Pikirku.
“Eeee sudah lama?” kataku yang mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
Dia mengangguk, “sudah. Kamu kemana saja?”
“Maaf telat, aku nggak kemana-mana kok,” kataku.
Dia hanya mengangguk diakhiri dengan senyum. Sungguh, senyum itu berbeda dengan senyum pertamanya. Senyumnya kali ini bisa membuatku terpelongo. Aku hanya diam sembari terus melihatinya. Meski dia tidak melihatiku.
Jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menambah keren penampilannya. Dia tampan. Sangat jarang aku temui bahkan aku dapatkan kenalan seperti dirinya.
“Habis ini kau akan kemana?” tanyanya yang kembali melihatiku.
Aku tersentak. Kaget. “Eeeee a a aku mau beli jajan,” kataku begitu saja. Dia kembali tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia berdiri dan memasukkan handphone ke dalam saku celananya.
“Baiklah, aku mau pulang dulu. Katanya kau habis ini mau beli jajan.” Katanya yang masih diseingi senyum manis di wajahnya yang tampan.
“I i iya,” jawabku singkat.
“Ok, aku pulang dulu ya? Bye.” Katanya sembari melambaikan tangan padaku dan kemudian berjalan menjauh dariku. Aku hanya diam di bangku taman. Aku membiarkannya pergi begitu saja. Hanya punggungnya yang dapat kulihat dan kemudian sosoknya mulai menghilang dari mataku.
Setelah dia pergi, aku pun beranjak dari tempat dudukku. Toh siapa lagi yang akan menemaniku disini? Sungguh, pertemuan ini terbayar lunas. Andaiku bisa menjalankan waktu, mungkin aku ingin detik itu tidak cepat berlalu. Aku ingin waktu yang lama untuk melihat senyumnya. Entah kapan kita akan berjumpa lagi.
***
Malam harinya, ketika rinai-rinai hujan seakan menjadi tirai dan menutup senyum indah dari sang rembulan, membuat malam ini terasa begitu dingin. Beberapa kali aku melihat ke layar handphoneku, namun tidak ada satu pesan masuk darinya. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin dia sedang sibuk. Aku mencoba untuk membiarkannya.
Setelah beberapa jam, aku kembali melihat ke layar handphoneku. Nihil. Tidak ada pesan masuk juga darinya. Kali ini aku mencoba untuk mengirim pesan terlebih dahulu padanya. Terkirim. Tinggal aku tunggu balasannya.
Tapi, setiap kali aku mengharap dia membalas pesanku, hal itu tidak pernah terjadi. Sudah banyak pesan yang aku kirim padanya. Dan dia tak kunjung membalas pesanku. Ada apakah gerangan? Apa mungkin dia sudah punya pacar? Tapi kenapa ketika itu dia bilang belum punya pacar? Oh betapa bodohnya diriku. Mengharapkan seseorang yang baru kutemui.
Aku hanya berpikir, mungkin dia sibuk. Aku akan mencoba untuk menemuinya besok.
***
Sepulang sekolah, aku langsung pergi ke tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Andhang Pangrenan. Ya, disanalah awal pertemuanku dengannya. Aku berlarian kecil untuk segera sampai disana, berharap dia ada disana atau membalas semua pesanku. Namun, setelah aku melihat dari kejauhan, tidak ada siapapun di bangku itu. Hanya terlihat dedaunan kering yang gugur perlahan dari ranting-ranting pohon yang telah membesarkannya. Dan beberapa ekor burung yang terlihat terbang dan asik bermain dengan kawanannya.
Aku memperlambat langkah kaki, ada perasaan tidak enak yang membuat sesak dadaku. Aku berjalan untuk mendekati bangku itu. Kemudian aku duduk sendiri tanpa ada dirinya. Aku mencoba untuk mengecek handphoneku, barangkali ada balasan pesan darinya. Sayang, semua itu hanya sebuah harapan. Semua itu bagai hilang begitu saja.
Rasanya aku ingin menumpahkan air mata yang telah memenuhi sudut mataku. Namun seakan aku tidak berhak untuk hal itu. Ya, siapa dia? Kenapa aku menangisinya? Namun pada akhirnya, aku ingin mensucikan diriku. Biarlah air mata ini terlahir dan mati di bibirku.
Bunga-bunga yang bermekaran seumpama layu dan mati di mataku. Tak ada lagi keindahan warna warninya. Kelopak-kelopaknya seakan mulai gugur meski belum waktunya. Di tengah kota ini aku serasa sendiri, menangis dan merasa sesak. Andhang Pangrenan seolah tak indah lagi. Ada saat keindahan itu akan menjadi kelam.
Mungkin aku terlalu berharap, mungkin aku salah. Namun setidaknya hargailah pertemuan itu. Karena kita tidak akan pernah tahu detik selanjutnya yang akan terjadi.
“Mungkin Tuhan berniat baik. Tidak mempertemukan kita dalam waktu yang cepat. Agar ada sedikit waktu untuk kebersamaan kita. Sebelum akhirnya pertemuan itu menjadi cerita terakhir.” (*/cerpenku/bua)