.
Sunday, December 15, 2024

Cerpen Oleh Purwati

Kukira Martabak Spesial

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sudah tiga bulan aku menjalin hubungan dengan Farah, namun tak ada kemajuan apapun dari hubunganku dan Farah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Bagian mana yang dirasa tidak ada kemajuan serta apa yang membuatku mulai bosan dengan Farah. Ah ternyata jawabannya ada padaku. Ya, perasaanku pada Farah. Perasaanku yang selalu hampa saat bersama Farah dan sikapku yang abu-abu.

Sejujurnya aku tidak menginginkan hubungan seperti ini dengan Farah. Aku menerima Farah menjadi kekasihku hanya karena aku kasian melihat perjuangannya untuk mengejarku. Bahkan aku berpura-pura luluh pada semua yang telah dilakukan oleh Farah padaku.

Mungkin Farah sadar jika aku selama ini berpura-pura mencintainya. Mungkin juga Farah sadar bahwa berpura-pura bahagia saat bersamanya. Padahal sebenarnya perasaanku hampa saat bersamanya. Hingga akhirnya sedikit demi sedikit Farah bersikap cuek padaku. Menjadi sulit bertemu. Dan sering terjadi kesalahpahaman diantara aku dan Farah.

Aku tahu apa yang kulakukan sangatlah jahat. Haruskah aku jujur padanya dan berusaha menjatuhkan hatiku padanya? Ataukah aku putus dengannya? Pilihan mana yang harus kupilih. Aku bingung. Sepertinya aku butuh teman untuk bertanya perihal hubunganku dengan Farah. Oh iya Eri. Eri adalah nama sahabatku. Saat ini aku butuh Eri. Aku langsung mengambil ponselku berada di atas meja. Lantas aku menekan tombol telepon.

Beberapa menit kemudian, Eri mengangkat teleponku.

“Boleh aku meminta pendapatmu?” tanyaku langsung pada intinya.

“Tentang Farah?” tebak Eri. Aku tertawa kecil. Eri menghela napas panjang, lalu “baiklah, akan kudengarkan. Jangan salahkan aku jika saranku salah atau pun tak berguna” katanya. Aku mengangguk mengerti. Kemudian mulai bercerita panjang lebar pada Eri. Sesekali diselingi sedikit canda tawa di sela-sela cerita. Itulah ciri khas Eri. Aku jadi sedikit terhibur ketika bercerita dengan Eri.

“Kalau aku kasih saran supaya kau putus dengan Farah sih, Ton” ujarnya setelah mendengarkan ceritaku dari awal sampai akhir. Toni, namaku. Orang-orang di sekitarku lebih suka memanggilku Ton. Aku mendadak senang dengan saran yang diberikan Eri.

“Itu saran dariku jika dilihat dari perasaanmu sendiri” tambah Eri. Aku tertawa.

“Nggak enak ya ternyata menjalin hubungan hanya karena kasihan, Ri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal” jawabku.

“Ya… kan jauh-jauh hari sudah kukatakan jangan diterima jika kau belum siap. Beginilah jadinya” omelnya di telepon. Omelannya itu ditujukan padaku.

***

Pagi hari ini Farah mendapat pesan dari Toni. Katanya ingin bertemu dengan Farah. Farah mengiyakan ajakan Toni. Entah apa yang ingin dibicarakan Toni saat bertemu dengan Farah. Farah merasa lelah dengan sikap kepura-puraan Toni. Farah juga lelah terus-menerus menjadi pihak yang selalu mengejar dan berjuang duluan. Farah pun memutuskan berubah. Farah ingin tahu usaha apa yang akan dilakukan Toni untuknya. Ternyata Toni tak berusaha sama sekali.

Pukul sebelas lebih lima belas menit Farah sudah sampai di kedai kebab. Toni yang memutuskan untuk bertemu di kedai kebab. Farah juga tak protes sedikit pun. Katanya dia mengajak bertemu pukul sebelas, tetapi Farah tak melihat Toni di sini. Farah sengaja datang terlambat hari ini karena ingin menguji kesabaran Toni. Nyatanya Toni belum datang. Apakah dia datang lebih terlambat dari Farah? Entahlah Farah tak peduli.

Tanpa berpikir panjang, Farah langsung memilih tempat duduk dekat kasir. Sesekali Farah membuka ponselnya untuk memeriksa notif dari Toni. Para pelayan kedai sudah berlalu-lalang dan menawari Farah beberapa menu. Namun Farah menolak dengan halus dengan alasan sedang menunggu teman. Farah menghembuskan napas panjang. Sudah pukul dua belas siang pun belum kunjung datang. Farah dilanda keresahan dan kegelisahan. Takut terjadi sesuatu pada Toni sehingga dia belum kunjung datang.

Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki. Farah menghembuskan napas lega. Akhirnya sudah datang. “Maaf, Far tadi jalanan macet parah” ujarnya sambil menarik kursi, lalu duduk di hadapan Farah. “Udah nunggu berapa lama, Far?” tanya Toni.

“Empat puluh lima menit. Aku kira aku datang terlambat, ternyata kau lebih terlambat” balas Farah. Bibir Toni terperangah lebar. Toni meminta maaf karena membuat Farah menunggu lama.

“Aku mau kita putus, Far” ucapnya setelah meminta maaf pada Farah. Katanya tak mau basa-basi.

***

“Oke, aku setuju jika kita putus. Lagi pula kau tak pernah mencintaiku” sahut Farah setelah terdiam cukup lama. Aku sedang tak ingin basa-basi. Jadi aku mengatakan secara langsung. Aku tahu pasti menyakitkan ketika mendengar ucapanku yang tiba-tiba. Namun aku terkejut mendengar jawaban Farah. Bagaimana Farah tahu bila aku tak pernah mencintainya? Huftt… ternyata firasat wanita selalu benar. Kata Eri hati wanita lebih perasa ketimbang lelaki. Aku menundukkan kepala. Merasa malu.

“Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, lebih baik kita sudahi pertemuan kita” berhenti sejenak. Lalu Farah menambahkan lagi, “ … dan jangan hubungi aku lagi.” Kemudian Farah beranjak dari kursi. Hendak meninggalkan kedai kebab. Sementara aku masih terdiam disini. Sedang memikirkan apakah tindakanku atau mungkin ucapanku menyakiti hati Farah selama ini. Sepertinya ada banyak. Rasanya aku ingin mengucapkan maaf berkali-kali pada Farah, tetapi aku sudah tak sanggup berkata apa-apa.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan merebahkan diri di kasur yang empuk. Sekaligus ingin mengistirahatkan seluruh isi pikiranku serta perasaanku.

***

Usai putus dengan Farah, aku bertemu dengan seorang wanita. Namanya Diana. Diana ini mampu membuatku benar-benar jatuh cinta dengannya. Aku mencintai segala yang ia miliki. Bahkan aku dibuatnya tak bisa kehilangan dirinya. Astaga akhirnya aku sungguh merasakan bagaimana mencintai seseorang. Kali ini aku yakin akan menjatuhkan hatiku padanya. Karena aku sudah yakin, aku pun mencoba mendekatinya perlahan dan tanpa terburu-buru.

Pada hari Sabtu ini aku akan mengajaknya bertemu. Aku hendak mengatakan hal serius padanya. Kurasa sudah waktunya aku menyatakan perasaanku pada Diana. Aku tak berharap perasaanku dibalas olehnya. Aku hanya ingin menyatakan perasaanku supaya lega.

“Diana, boleh aku mengatakan sesuatu padamu?” tanyaku hendak meminta persetujuan pada Diana. Diana mengangguk pelan sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum senang. Kurasa ini waktu yang tepat setelah berbicara panjang lebar dengan Diana. Aku mengikuti saran Eri untuk berbasa-basi terlebih dahulu sebelum mengatakan hal yang serius padanya. Dan ini waktu yang tepat untukku. Aku menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Jantungku berdebar-debar bukan main.

“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba dan akan membuatmu terkejut setelah mendengarnya” ucapku pertama-tama. Diana terlihat masih menyimak. Baiklah akan kulanjutkan ucapanku. Sekali lagi aku merasakan debaran jantungku yang semakin kencang.

“Aku menyukaimu, Diana. Sepertinya lebih dari suka. Aku bahkan mencintaimu, Diana. Sangat” tambahku. Mendadak ekspresi Diana berubah menjadi datar. Dia tidak tersenyum seperti tadi.

“Maafkan aku. Aku hanya menganggapmu teman saja” balasnya. Debaran jantungku berhenti seketika. Apa tadi katanya? Teman? Lalu apa arti semua sikap dan perhatiannya padaku hingga membuatku jatuh cinta padanya.

“Aku benar-benar minta maaf atas sikapku padamu selama ini. Sesungguhnya aku memperlakukan semua orang sama seperti perlakuanku padamu” sesalnya sambil menundukkan kepala. Tanpa hitungan menit, Diana langsung berdiri. Sudah selesai? Kisah kita hanya sebentar rupanya. Aku salah mengira bahwa Diana akan serius padaku. Diam-diam aku tertawa dalam hati. Semenjak kejadian itu, aku tak mau lagi dekat dengan wanita. Aku memilih sendiri meski kesepian. (*/cerpenku/bua)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img