Beras merupakan makanan utama masyarakat Indonesia sehingga perkembangan harganya akan sangat menentukan laju inflasi Indonesia. Beras memiliki bobot inflasi sebesar 3,32 persen yang merupakan bobot tertinggi dari semua kelompok makanan. Maka tidak heran jika kenaikan harganya akan menekan daya beli masyarakat.
Pentingnya komoditas ini menjadikan sebagai acuan dalam menilai kesejahteraan masyarakat serta kadang dijadikan juga sebagai acuan dalam menilai kondisi sosial politik masyarakat. Kenaikan harga beras di tengah cuaca ekstrem El Nino masih terus berlanjut.
Selain permintaan yang mengalami kenaikan, pasokan beras dari daerah sentra produksi terus menurun. Pedagang pasar induk menilai tak mampu membendung kenaikan sehingga hanya pemerintah yang dapat diharapkan untuk menstabilkan harga (Republika, 5/9/23).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) harga gabah dan beras tingkat petani pada Desember 2022 lalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. BPS mencatat rata-rata harga gabah kering panen senilai Rp 5.624 angka ini naik 17,83 persen. Sedangkan untuk gabah kering giling di harga Rp 6.166 naik 21,75 persen yoy.
Dari data ini terlihat jarak harga gabah kering panen dan giling nyaris mencapai Rp 500. Sedangkan untuk harga rata-rata beras, BPS mencatat harga beras di penggilingan senilai Rp 10.604, harga ini naik 13,44 persen. Untuk beras grosir di harga Rp 11.363 naik 8,95 persen, sedangkan untuk beras eceran Rp12.112 naik sebesar 6,23 persen yoy. Data ini memperlihatkan selisih harga beras di penggilingan dengan yang dijual di eceran mencapai Rp 1.500 (BPS, 2023).
Di satu sisi, petani dihadapkan pada persoalan yang membalut untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya seperti sandang, pangan, papan, dan lain-lain. Di sisi lain, petani harus tunduk pada keharusan-keharusan yang dipaksakan pihak lain, terutama para penguasa dan pedagang yang terkadang mengambil alih policy perdagangan di luar ketentuan pemerintah.
Padahal untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya saja, sebagian besar petani sudah mengalami kesulitan karena lahan pertanian yang semakin sempit. Ketidakberdayaan petani ini, menjadi semakin serius karena keterlibatan beberapa faktor seperti kelemahan kelembagaan, pendidikan yang rendah dan lain-lain.
Kemiskinan hingga saat ini kian hangat diperbincangkan bahkan sempat menjadi kontroversi antara sumber dari BPS dengan sumber lain. Namun demikian pada forum kajian ini lebih menyorot masalah paling mendasar yang dihadapi petani. Yaitu persoalan pemberdayaan petani yang secara ekonomi sulit untuk keluar dari permasalahan yang membelitnya.
Mereka ini masih dirundung kemiskinan yakni kelompok rumah tangga pertanian pengguna lahan. Artinya mereka umumnya tidak mempunyai lahan atau hanya berlahan sempit di sektor pangan khususnya padi. Apalagi lebih parah pada mereka yang bekerja sebagai petani tapi status sesungguhnya hanya sebagai buruh tani harian, terkadang satu minggu bekerja satu minggu libur, sehingga minus pendapatan.
Memerhatikan kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa peran sektor pertanian sangat penting sehingga produktivitas sektor ini perlu ditingkatkan. Ironisnya, secara obyektif ada beberapa variabel yang memengaruhi ketidakberdayaan petani sehingga menghambat produktivitas sektor pertanian. Variabel keterbatasan tanah garapan (paradigma tanah/ lahan), produksi, latar belakang pendidikan petani, dan intervensi institusi merupakan empat faktor utama yang menjadikan ketidakberdayaan tersebut.
Strategi Sinergis
Melihat kondisi kemiskinan yang berorientasi pada ketidakberdayaan petani akibat imbas pasca kenaikan BBM sehingga mengubur habis impian petani. Betapa tidak, jangankan untuk mengenyam pendidikan ke sekolah menengah atau perguruan tinggi, bisa untuk makan sehari-hari saja sudah baik.
Mereka justru lebih mengutamakan mempekerjakan anak-anak mereka mencari rumput, menggembala kambing, dan sebagai buruh tani musiman. Rendahnya tingkat pendidikan yang semakin akut, merosotnya harga padi basah, maka usaha-usaha untuk memberdayakan kelompok masyarakat ini mendesak untuk dilakukan.
Untuk mengentas kemiskinan dan mengangkat taraf hidup petani, tidak terlepas pada komitmen pemerintah dan seluruh komponen bangsa, dalam hal ini perlu tindakan konkrit sinergis. Para investor, orang kaya (the have), dan policy pemerintah untuk mengaplikasikan prinsip trickle down effect dengan prinsip colloquial sense (suatu pemikiran akan suatu persahabatan).
Kedua prinsip ini jika diimplementasikan di Indonesia guna mengatasi ketidakberdayaan petani cukup efektif. Artinya, trickle down effect yang sudah berjalan dengan colloquial senseyang sudah diterapkan di beberapa negara maju, pada prinsipnya cocok sekali diterapkan di Indonesia. Arah tujuannya pada sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, di satu pihak pembagian pendapatan akan merata, di pihak lain sangat membantu dalam usaha penciptaan lapangan kerja.
Strategi pemberdayaan petani untuk terlepas dari jerat kemiskinan dapat dilakukan melalui: Pertama, transmigrasi ke luar Jawa merupakan usaha yang logis dalam memperoleh areal pertanian yang memadai sebagai faktor produksinya. Kedua, sebagian besar investasi pendidikan harus diarahkan ke pedesaan.
Ketiga, untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat petani miskin adalah melalui pengaktifan kelembagaan. Hal ini berkaitan dengan banyaknya studi yang menyimpulkan bahwa petani yang berpendidikan mempunyai output yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak berpendidikan (Hendytio, 1996).
Dapat diakui rakyat lebih membutuhkan beras dengan harga murah, terjangkau dan harga stabil dibandingkan dengan program pemberian dan pembagian sembako atau beras dari pemerintah, donator sosial atau pihak lainnya. Secara sinergis kita berharap pemerintah dan pihak lain diminta agar bekerjasama dalam menurunkan harga beras, bukan membagi-bagi sembako.
Strategi lainnya adalah kita harus bergotong royong dalam menghadapi setiap dinamika sosial ekonomi yang terjadi meskipun sekarang dilanda kemarau dan El Nino. Diminta kepada seluruh rakyat untuk tidak melakukan penumpukan beras dalam jumlah besar, justru kita harus membantu pemerintah dalam mengatasi tingginya harga beras agar tidak berdampak pada sektor kehidupan lainnya. Oleh karena itu, kita berharap negara harus memberi jaminan terhadap ketersediaan bahan makanan pokok sepanjang waktu dengan harga yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat.(*)